Jakarta, 24 Januari 2024 – Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) menggelar media briefing dengan tema “Membangun Ketahanan Pangan Indonesia” sebagai salah satu upaya menggali akar permasalahan pangan di Indonesia serta menyebarluaskan hasil studi dan temuan lapangan dari KSPL dan para mitra. 

Prof. Arif Satria memaparkan tentang kondisi pangan di Indonesia pada 24 Januari 2024
Prof. Arif Satria memaparkan tentang kondisi pangan di Indonesia pada 24 Januari 2024 

 

Dalam paparan pembukanya, Rektor IPB University sekaligus Duta KSPL serta Panelis Debat Cawapres Pemilu 2024, Prof. Arif Satria, menyampaikan sejarah permasalahan pangan dan tata guna lahan di Indonesia. Secara khusus, beliau menyoroti menurunnya produksi pangan. Menurutnya, hal ini terkait dengan tingginya konversi lahan sawah, sekalipun UU No. 41 Tahun 2009 telah menjamin perlindungan lahan sawah berkelanjutan. “Konversi ini sebagai konsekuensi dari tumbuhnya industri, tumbuhnya pemukiman, perkotaan, serta pembangunan infrastruktur. Jadi ini masalah yang harus kita atasi,” terangnya. 

Hal lain yang turut menjadi sorotan adalah tingginya ketergantungan Indonesia terhadap gandum dan kedelai. Meskipun tingkat konsumsi beras menurun, tingkat impor pangan lain seperti gandum dan kedelai justru meningkat. Hal ini semakin menunjukkan pentingnya transisi menuju peningkatan konsumsi pangan lokal. “Diversifikasi pangan lokal harus segera didorong untuk bisa meningkatkan permintaan terhadap produk-produk lokal,” tambah Prof. Arif.  

Permasalahan pangan di Indonesia memang perlu dilihat dari kaca mata secara sistem. Engagement Lead dari KSPL, Sri Noor Chalidah, menyampaikan bahwa menurunnya produksi pangan di Indonesia paling besar dipengaruhi oleh penurunan produktivitas lahan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menyebutkan bahwa kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa, sehingga setiap rakyat mestinya berhak atas makanan bergizi, beragam, bermutu, dan terjangkau. “Itu semua diselenggarakan dalam satu sistem yang disebut sistem pangan. Jadi, apa yang masyarakat konsumsi harusnya melihat asas-asas di dalam UU Pangan itu sendiri,” ungkap Noor.  

 

Sesi tanya jawab jurnalis dengan Prof. Arif Satria
Sesi tanya jawab jurnalis dengan Prof. Arif Satria 
​​​​​

 Upaya untuk mendorong permintaan terhadap pangan lokal juga dilakukan KSPL bersama mitra di beberapa daerah di Indonesia. Tidak hanya beragam, pangan lokal pun kaya akan gizi yang dapat mendukung kesehatan masyarakat. “Kita mendorong bagaimana diversifikasi pangan itu bisa menghasilkan pangan-pangan atau makanan yang bergizi yang berbasis alam,” jelas Sri Noor Chalidah. 

Sri Noor Chalidah menyampaikan tentang permasalahan pangan di Indonesia saat ini
Sri Noor Chalidah menyampaikan tentang permasalahan pangan di Indonesia saat ini 

Pangan lokal pun menjadi salah satu solusi dari permasalahan pangan di Indonesia. Mulai dari Dari segi kesehatan, Indonesia masuk dalam 10 negara dengan jumlah pasien diabetes tertinggi. Di saat bersamaan juga menghadapi tiga beban malnutrisi yang terdiri dari obesitas, kekurangan gizi, dan defisiensi mikronutrien. Selain itu, biaya logistik yang tinggi menyebabkan meningkatnya biaya kebutuhan pokok. Proses distribusi pun berpengaruh pada peningkatan food loss and waste (FLW) dan carbon footprint yang dihasilkan. 

Dalam pemaparan yang disampaikan Environmental Policy Specialist dari Yayasan KEHATI, Mohamad Burhanudin, potensi pemanfaatan pangan lokal sangat terbuka luas.  Namun, kebijakan pemerintah masih berorientasi pada pangan pokok utama seperti beras. “Perlu adanya perubahan paradigma kebijakan pangan yang dari sekedar menitikberatkan pada beras menuju pangan berbasis keankearagaman hayati nusantara. Hal ini bisa dilakukan dengan mengarusutamakan pangan lokal dalam kebijakan pangan nasional, dengan memperhatikan ragam jenis pangan lokal dan jenis gizinya, sesuai kondisi lingkungan dan budaya setempat,” ungkap Burhanudin. 

Mengoptimalkan pangan lokal juga turut mendukung keberlanjutan ketersediaan pangan di Indonesia. Upaya ini berpotensi mengurangi kerugian dan emisi yang diakibatkan dari biaya transportasi, serta biaya produksi lainnya, termasuk penggunaan input pertanian seperti pupuk. 

 

Mohamad Burhanudin berbagi informasi tentang keanekaragaman pangan lokal di Indonesia
Mohamad Burhanudin berbagi informasi tentang keanekaragaman pangan lokal di Indonesia  

 

Pemakaian pupuk masih belum signifikan mendukung produktivitas pangan di Indonesia. Dalam pemaparan yang disampaikan Head of Research dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta, subsidi pupuk memang meningkat setiap tahunnya, tetapi produktivitas pertanian cenderung stagnan. “Jadi kita patut mencurigai bahwa ini bukan instrumen yang efektif untuk meningkatkan produktivitas. Kemudian, proses yang panjang dan cenderung birokratis dalam perencanaan pendataan, pendistribusian, hingga pengklaiman subsidi pupuk juga menimbulkan banyak masalah,” kata Aditya Alta. 

 Selain itu kebijakan subsidi pupuk juga berpengaruh terhadap kesehatan tanah dan berdampak pada lingkungan secara luas. “Di Indonesia, beberapa subsidi pupuk ini juga menghasilkan penggunaan input yang suboptimal, di antaranya overdosis urea dibanding dengan penggunaan pupuk organik. Alokasi subsidi juga paling banyak urea. Penggunaan pupuk urea ini berpengaruh pada penurunan kualitas tanah,” tambah Aditya. 

 

Aditya Alta menyampaikan tentang peningkatan subsidi pupuk yang berbanding terbalik dengan tingkat produktivitas pangan
Aditya Alta menyampaikan tentang peningkatan subsidi pupuk yang berbanding terbalik dengan tingkat produktivitas pangan 

Untuk itu, perlu adanya transformasi di ranah kebijakan dalam penanganan pangan di Indonesia, mulai dari peningkatan intensifikasi dengan mengoptimalisasi lahan pertanian yang ada hingga mendorong konsumsi pangan lokal yang beragam. Dalam hal ini, Gina Karina sebagai Kepala Sekretariat KSPL mengungkapkan, “pada akhirnya, KSPL bertujuan untuk menghimpun aksi bersama menuju sistem pangan Indonesia yang lebih lestari, sehat, beragam secara lokal, berkeadilan, dan tangguh.” 

 

Para jurnalis dan pembicara dalam media brief
Para jurnalis dan pembicara dalam media briefing