Latar Belakang

Degradasi lahan gambut di Indonesia, terutama melalui pembakaran gambut, telah menjadi sorotan dunia internasional akibat timbulnya kabut asap serta kontribusi pembakaran gambut yang besar terhadap emisi gas rumah kaca. Sebagai contoh, tahun 2015 lalu, emisi karbon dioksida Indonesia mencapai sekitar 1043 juta metrik ton setara CO2, terbesar sejak tahun 1997. Sebagian besar dari emisi tersebut disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan yang besar, yang dipicu oleh konversi gambut secara besar-besaran untuk perkebunan. Sejak kebakaran tersebut, upaya restorasi lahan gambut yang rusak menjadi landasan strategi bagi Indonesia untuk mencegah terulangnya kebakaran hutan dan lahan serta timbulnya kabut asap.

Pada Januari 2016, Presiden Jokowi mendirikan Badan Restorasi Gambut (BRG), yang diberi mandat untuk merestorasi dua juta hektar lahan gambut sebelum tahun 2020. Upaya restorasi tersebut mencakup pemetaan pada provinsi-provinsi yang rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan, peningkatan muka air lahan gambut, penciptaan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat lokal, dan pengembangan tanaman alternatif untuk lahan gambut. Kompleksitas restorasi gambut menekankan pentingnya peran serta aktor non-pemerintah dalam mendukung upaya pemerintah. Beberapa lembaga sosial masyarakat (LSM), universitas, dan perwakilan pihak swasta telah melakukan kegiatan restorasi gambut, termasuk di provinsi-provinsi prioritas BRG. Kegiatan-kegiatan seperti ini ini melengkapi upaya Tim Restorasi Gambut Daerah (TRG), yang menjadi ujung tombak pelaksanaan proyek-proyek restorasi gambut pemerintah di daerah. Selain itu, dalam berbagai forum regional dan global, Kepala BRG Nazir Foead mengajak negara-negara tetangga dan masyarakat global untuk mendukung upaya restorasi gambut Indonesia dengan memantau kemajuan kegiatan BRG, berinvestasi pada tanaman pertanian alternatif di lahan gambut, dan menciptakan pasar untuk produk-produk alternatif tersebut.

Lokakarya

Dalam upaya mendukung restorasi lahan gambut di Indonesia, Forum Komunikasi Konservasi Indonesia (FKKI) bermaksud mengadakan lokakarya setengah hari yang disebut “Lokakarya Regional Restorasi Gambut”. FKKI adalah sebuah koalisi kelompok masyarakat sipil yang bergerak di bidang konservasi, pengelolaan sumber daya alam, dan tata kelola. Anggota FKKI saat ini meliputi (sesuai urutan abjad) Burung Indonesia, Conservation International Indonesia, Greenpeace Indonesia, Pusat Transformasi Kebijakan Publik, The Nature Conservancy, Wetlands International Indonesia, Wildlife Conservation Society Indonesia, World Resources Institute Indonesia, World Wildlife Fund Indonesia, dan Yayasan Kehati. Singapore Institute for International Affairs, sebuah lembaga kajian (think-tank) nonpemerintah dari Singapura, juga menjadi mitra penyelenggara dalam lokakarya ini.

Lokakarya Restorasi Gambut Regional ini merupakan lokakarya regional pertama yang diprakarsai oleh organisasi masyarakat sipil (CSO) untuk membahas bagaimana pemangku kepentingan dapat bekerja sama mendukung BRG dalam merestorasi lahan gambut yang telah rusak di tujuh provinsi prioritas (Kalimantan Tengah, Jambi, Papua, Riau, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat). Perwakilan pemerintah akan duduk bersama CSO beserta perwakilan sektor swasta dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura untuk mendiskusikan berbagai kegiatan restorasi gambut yang telah berjalan, konsep restorasi bentang alam, hikmah ajar, serta hal-hal lainnya yang memerlukan tindakan serta kolaborasi lebih lanjut.