Menelusuri Perjalanan Minyak Sawit dari Indonesia ke Tiongkok
This article is currently only available in Indonesian.
Ketika Indonesia dibanjiri aneka produk “Made in China”, Tiongkok juga ternyata banyak mengimpor produk minyak sawit “Made in Indonesia”. Bahkan, Tiongkok berkomitmen menambah 1 juta ton impor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dari Indonesia. Komitmen tersebut disampaikan oleh Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Beijing pada Juli 2022 lalu. Selama ini, kedua negara berhasil membangun kemitraan saling menguntungkan dalam perdagangan minyak sawit dan turunannya.
Tentunya ini menjadi kabar positif bagi industri dan pelaku usaha kelapa sawit di Indonesia. Eksistensi Indonesia sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia semakin kuat. Namun, bagaimana sesungguhnya perjalanan minyak sawit dari Indonesia sejak masih berwujud buah di perkebunan hingga menjadi produk siap konsumsi di Tiongkok seperti misalnya mi instan, bahan kosmetik, cokelat, serta bahan-bahan pangan lainnya?
Rantai Pasok Minyak Sawit Indonesia ke Tiongkok
Rantai pasok kelapa sawit sangatlah kompleks karena mencakup banyak pihak di dalamnya. Namun, kompleksitas ini tetap penting dikelola secara profesional dan transparan untuk memastikan keseluruhan rantai pasok kelapa sawit selaras dengan prinsip-prinsip berkelanjutan.
Secara garis besar, rantai pasok kelapa sawit dimulai dari produksi tandan buah segar (TBS) di perkebunan. Setelah itu, TBS dibawa ke pabrik untuk diekstraksi menjadi dua produk utama yaitu minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Selanjutnya, CPO akan diolah kembali menjadi fraksi-fraksi turunan berupa olein dan stearin yang akan digunakan untuk berbagai keperluan mulai dari pangan, oleokimia, hingga bahan bakar nabati.
Merujuk data Palm Oil Analytic tahun 2019 sampai 2021, pengirim minyak sawit terbanyak dari Indonesia ke Tiongkok ternyata didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Apical Group, Musim Mas, Wilmar, Sinar Mas, dan Astra Agro Lestari.
Berdasarkan data riset Huaon Information Network (2013-2021), 70,3% konsumsi minyak sawit di Tiongkok ditujukan untuk industri yang berkaitan dengan makanan. Sebagian kecil sisanya yakni 29,7% konsumsi minyak sawit digunakan oleh industri yang tidak terkait dengan makanan.
Mi instan, snack mi kering, dan mentega putih adalah produk-produk unggulan Sinar Mas di Tiongkok. Produk minyak goreng terlaris dipasarkan oleh Yihai Kerry, anak perusahaan Wilmar di Tiongkok. Tak hanya perusahaan swasta, BUMN Tiongkok seperti China National Cereals, Oils and Foodstuffs (COFCO) pun berlangganan minyak sawit Indonesia sebagai pemasok bahan baku pangan mereka.
Dalam penggunaannya pada sektor industri non-makanan, minyak sawit diolah menjadi kosmetik; produk oleokimia seperti gliserin, asam lemak, alkohol lemak; atau sebagai sumber bahan bakar nabati. Contoh perusahaan yang mengolah minyak sawit pada sektor non-makanan adalah Sinopharm dan Petrochina. Keduanya termasuk BUMN Tiongkok yang bergerak dalam bidang pengolahan minyak sawit industri farmasi dan bahan bakar nabati.
Manfaat Ketertelusuran Rantai Pasok Minyak Sawit
Menurut definisi FAO, ketertelusuran rantai pasok adalah kemampuan untuk melacak pergerakan suatu komoditas sejak tahap produksi, pemrosesan, hingga distribusi. Saat ini, ketertelusuran rantai pasok merupakan prasyarat utama sertifikasi produk yang berkelanjutan karena hanya dengan ketertelusuran-lah perusahaan dapat menjamin bahwa bahan baku yang mereka gunakan sungguh-sungguh berasal dari produksi yang ramah lingkungan dan bebas dari berbagai masalah sosial.
Lebih jauh lagi, ketertelusuran juga sangat bermanfaat bagi pemerintah untuk memastikan tidak adanya penggunaan bahan baku dari sumber-sumber ilegal dalam aktivitas perdagangan kelapa sawit antar negara, sekaligus mengoptimalisasi rantai pasok.
Tantangan Ketertelusuran Rantai Pasok Minyak Sawit Indonesia – Tiongkok
UNDP (2020) mengidentifikasi bahwa salah satu tantangan dalam pengadaan minyak sawit berkelanjutan dan penegakan komitmen Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut, dan Tanpa Eksploitasi (NDPE) di Tiongkok adalah minimnya ketertelusuran rantai pasok minyak sawit.
Hal ini dapat terlihat dari data ketelusuran minyak sawit Wilmar (2014-2022) di bawah ini yang menunjukkan bahwa persentase ketelusuran ke Tiongkok lebih rendah dari negara lain.
Analisis Carbon Disclosure Project (CDP) tahun 2022 menunjukkan 82% perusahaan telah memiliki sistem kemamputelusuran untuk produk minyak sawitnya. 25% perusahaan di antaranya dapat melacak setidaknya hingga tingkat kota/pabrik pengolahan, 9% perusahaan dapat melacak hingga tingkat Pabrik Kelapa Sawit (PKS), dan 4% perusahaan dapat melacak hingga unit terkecil, perkebunan.
Sebanyak 39 persen perusahaan konsisten melaporkan rumitnya rantai pasok minyak kelapa sawit sebagai masalah utama dalam menghapus deforestasi dari model bisnisnya.
Selain itu, laporan Forum Multipihak (Multi Stakeholder Forum, MSF) SIPKEBUN (Sistem Informasi dan Pemantauan Perkebunan Berkelanjutan) mengidentifikasi rendahnya kesanggupan para pelaku untuk menerapkan sistem kemamputelusuran sebagai penghambat terwujudnya kemamputelusuran penuh.
Yang Dapat Dilakukan Indonesia
Di tengah momentum komitmen penambahan 1 juta metrik ton permintaan minyak kelapa sawit Indonesia dari Tiongkok, pemerintah Indonesia sesungguhnya memiliki peluang mendorong terbukanya perdagangan minyak sawit yang lebih berkelanjutan ke Tiongkok melalui penelusuran rantai pasok kelapa sawit yang optimal.
Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah Indonesia dapat mengawalinya dengan menyelaraskan standar sertifikasi yang digunakan di Indonesia seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dengan menggunakan kerangka etika rantai pasok komoditas yang berlaku umum dari segi standar, inisiatif, ketertelusuran, pelaporan, penilaian, maupun keterbukaan data seperti Accountability Framework initiative (AFi), Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO), dan International Sustainability & Carbon Certification (ISCC).
Di sisi lain, pemerintah dan para para pihak harus memastikan keterlibatan seluruh aktor dalam rantai pasok tanpa kecuali, termasuk pengepul dan petani kecil.
Pendampingan kepada petani swadaya (smallholder) penting diprioritaskan mengingat luas perkebunan rakyat pada tahun 2020 mencapai 6,04 juta hektar atau 41,44% dari luas total perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Indonesia juga perlu melibatkan wadah seperti Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) dalam melakukan pendampingan dan memberi pelatihan pada petani swadaya untuk menerapkan praktik kelapa sawit berkelanjutan.
Upaya-upaya membangun sistem ketertelusuran rantai pasok kelapa sawit ini sejalan dengan tujuan ISPO dalam memastikan pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia. Optimalisasi sistem ketertelusuran rantai pasok sawit juga dapat mendorong para pemangku kepentingan lebih mempercayai sistem ISPO sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan ISPO di pasar global.