Synopsis

Catatan praktik ini mendiskusikan pembelajaran tentang praktik pengelolaan hutan dengan skema perhutanan sosial yang dilakukan oleh masyarakat lokal sebagai contoh kasus praktik baik.

Key Findings

Berdasarkan hasil temuan dan pembelajaran dari contoh kasus di Beringin Tinggi, kami menemukan bahwa keterlibatan aktif masyarakat lokal dapat mendorong praktik yang baik dalam pengelolaan perhutanan sosial. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa keterlibatan aktif tersebut tidak dapat dilepaskan dari dinamika keterhubungan antar variabel yang relevan dengan pengelolaan perhutanan sosial setempat, khususnya dalam konteks kerangka teoretis IAD.

Aspek karakteristik masyarakat, biofisik dan rules-in-use dalam implementasi perhutanan sosial berperan menciptakan praktik yang baik dalam pengelolaan perhutanan sosial. Secara karakteristik sosial, masyarakat Desa Beringin Tinggi memiliki sistem kekerabatan yang erat dan hidup berdasarkan nilai-nilai budaya tradisional. Hal ini memengaruhi sistem pengambilan keputusan dalam pengelolaan perhutanan sosial setempat. Penghidupan berbasis agrikultur dari masyarakat desa saat ini lebih banyak bergantung pada kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) mengingat faktor ketersediaan lahan yang relatif besar. Pemanfaatan hutan untuk mendukung penghidupan sehari-hari masyarakat masih relatif terbatas. Musyawarah adat desa merupakan mekanisme penting dalam proses pengelolaan dan pengambilan keputusan terkait perhutanan sosial di Beringin Tinggi. Salah satu hasil musyawarah adalah ditetapkannya Peraturan Desa (Perdes) No. 2 tahun 2016 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Desa.

Terdapat beberapa kelompok kepentingan utama terkait pengelolaan perhutanan sosial di desa, antara lain pemerintah desa, Kelompok Pengelola Hutan Desa (KPHD), Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Merangin dan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi. Setiap kelompok memiliki peran masing-masing. Pemerintah desa berperan dalam perumusan kebijakan serta pendanaan untuk pengelolaan HD. KPHD bertanggung jawab atas implementasi kebijakan pengelolaan HD. KPHP Merangin memiliki tupoksi yang relevan dengan pengelolaan perhutanan sosial di Kabupaten Merangin, termasuk Desa Beringin Tinggi. Sementara, KKI Warsi memberikan dukungan untuk pengelolaan HD di tingkat tapak, termasuk perencanaan kelola hutan dan resolusi konflik.

Selain itu, penjagaan HD juga tidak lepas dari peran keseluruhan masyarakat. Masyarakat dapat berperan melaporkan kejadian perambahan kepada KPHD dan pemerintah desa. Elemen masyarakat juga dilibatkan dalam musyawarah pengambilan keputusan di desa.

Masyarakat desa Beringin Tinggi telah membuat dan menerapkan berbagai aturan landasan terkait pengelolaan HD pasca diperolehnya izin pengelolaan. Peraturan Desa (Perdes) No. 2 tahun 2016 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Desa menjadi landasan utama pengelolaan HD. Beberapa unsur kunci terkait perlindungan HD di dalam peraturan ini termasuk terkait patroli pengawasan hutan dan pembatasan pembukaan hutan, telah diterapkan oleh masyarakat dan didukung oleh pemerintah desa dan KPHD. Penetapan zona lindung dan zona pemanfaatan HD secara tradisional oleh masyarakat membatasi area hutan yang dapat ditebang dan digarap. Aktivitas agrikultur diakomodasi dalam kawasan zona pemanfaatan dengan tetap memperhatikan aspek konservasi; sementara pada zona lindung, area hutan tidak boleh ditebang maupun digarap, salah satunya untuk menjaga daerah tangkapan air.

Studi yang dilakukan menemukan beberapa tantangan ke depan yang dapat memengaruhi proses pengelolaan HD setempat, khususnya terkait dinamika tutupan pohon kawasan hutan. Pertama, implementasi peraturan desa mengenai pengelolaan HD secara keseluruhan masih bersifat parsial. Contohnya terkait pendataan pengambilan kayu. Karenanya, dibutuhkan pendampingan masyarakat yang efektif agar pasal-pasal tersebut dapat diterapkan secara optimal.

Kedua, masih ada persepsi di masyarakat bahwa meningkatkan taraf hidup dari pemanfaatan nonkayu dari HD sulit. Jika dibiarkan, persepsi ini berpotensi mengancam kelestarian hutan di kemudian hari. Pasalnya, keterbatasan ekonomi berpotensi mendorong masyarakat untuk berpaling kepada penjualan kayu hutan sebagai sumber pendapatan alternatif.

Ketiga, lanskap hutan yang secara administrasi berbatasan dengan desa tetangga (Jangkat) menuntut upaya yang lebih terkoordinasi antar kedua desa untuk memperkuat upaya preventifperlindungan kawasan HD dari kedua belah pihak.

Terakhir, akses informasi, infrastruktur dan sumber daya manusia yang tersedia masih terbatas, sehingga memengaruhi kemampuan inovasi ekonomi berbasis hutan yang berkelanjutan. Karenanya, dibutuhkan peran multisektor dalam mendorong: 1) peningkatan kapasitas dasar dan infrastruktur desa yang memperhatikan prinsip kelestarian hutan dan sumber daya alam serta 2) proses transfer pengetahuan dan pemberdayaan intensif untuk mendorong peningkatan ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Dari studi kasus di HD Beringin Tinggi, penulis merefleksikan beberapa temuan kunci yang dapat mendorong pengelolaan perhutanan sosial, khususnya HD, yang lebih optimal dalam meminimalkan deforestasi. Pertama, sumber penghidupan alternatif bagi masyarakat sangat penting, terutama di area-area dimana pemanfaatan sumber daya hutan masih terbatas. Kedua, pengelolaan hutan di tingkat tapak perlu melibatkan masyarakat setempat sebagai aktor utama. Ketiga, pendampingan masyarakat dalam pengelolaan hutan penting untuk menjembatani akses informasi dan logistik serta pemberdayaan yang dibutuhkan. Keempat, dalam konteks lanskap hutan lintas batas administrasi wilayah/desa, pengelolaan dan pengawasan area batas hutan yang terkoordinasi berpeluang mencegah perambahan hutan khususnya di area perbatasan tersebut. Kelima, pelibatan anggota masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan perlu memperhatikan modal sosial yang berada di dalam kelompok masyarakat tersebut.

Executive Summary

  • Dengan target alokasi izin sebesar 12,7 juta ha, perhutanan sosial memberikan potensi keuntungan ekonomi dan ekologi bagi masyarakat di wilayah hutan dengan memberikan kuasa pengelolaan kepada mereka.
  • Dari target keseluruhan tersebut, sampai dengan Desember 2020 capaian alokasi skema Hutan Desa mencapai 1.792.253 ha, lebih luas dari capaian skema perhutanan sosial yang lain.
  • Secara umum, perbandingan rerata laju kehilangan tutupan hutan antara sebelum dan sesudah turunnya izin pengelolaan perhutanan sosial di skema Hutan Desa Beringin Tinggi, Jambi, menunjukkan tren yang relatif membaik.
  • Kerangka kerja Institutional Analysis and Development (IAD) memberikan kesempatan untuk menganalisis pengelolaan Hutan Desa Beringin Tinggi, Jambi, sebagai salah satu contoh praktik baik pengelolaan perhutanan sosial.
  • Berbagai variabel, seperti variabel eksogen, posisi dan peran pemangku kepentingan, aturan-aturan formal dan informal, serta keluaran dan kriteria evaluasi perhutanan sosial, merupakan variabel yang saling berhubungan dan berinteraksi satu sama lain dalam suatu konstelasi pengelolaan Hutan Desa sebagai faktor-faktor pendukung terjadinya praktik baik pengelolaan kawasan perhutanan sosial.