Ringkasan

Permintaan global atas kayu, komoditas pertanian dan produk ekstraktif merupakan pendorong utama deforestasi di seluruh dunia. Sebagian besar hutan di dunia dimiliki oleh pemerintah, yang seringkali membuat kesepakatan kontrak dengan perusahaan swasta atau perorangan untuk kegiatan eksploitasi atau konversi sumberdaya pada suatu wilayah tertentu selama waktu yang ditetapkan. Data konsesi yang transparan untuk kegiatan komersil skala besar ini penting untuk memahami faktor pendorong hilangnya hutan, mengawasi dampak lingkungan dari kegiatan yang berjalan, dan memastikan alokasi lahan yang efisien dan berkelanjutan. Akan tetapi banyak negara yang tidak memiliki data menyeluruh tentang lokasi, cakupan dan kepemilikan konsesi lahan secara tepat, sehingga menyulitkan memahami bagaimana sumberdaya hutan dieksploitasi, mengidentifikasi tumpang tindih pemanfaatan lahan, dan memonitor kegiatan perusahaan. Dokumen hidup ini menyajikan ikhtisar ketersediaan informasi mengenai konsesi lahan di 14 negara berhutan (Brazil, Kanada, Kamboja, Kolombia, Indonesia, Liberia, Madagaskar, Malaysia, Meksiko, Myanmar, Papua Nugini, Peru, Republik Demokratik Congo, dan Rusia), dengan fokus khusus pada informasi spasial terbuka. Laporan ini mengkaji keberadaan hukum yang mengatur keterbukaan data konsesi dan meninjau kelengkapan dan kualitas data konsesi di berbagai negara dan sektor, sebagaimana dilaporkan oleh jaringan peneliti dalam negara-negara tersebut. Secara keseluruhan kami menemukan bahwa data spasial mengenai konsesi kehutanan, pertambangan, dan jika relevan, pertanian yang lengkap tidak tersedia bagi publik, dan tingkat keterbukaan data beragam di setiap negara. Laporan ini mencakup temuan utama sebagai berikut:

  • Tingkat keterbukaan data konsesi sangat beragam di setiap negara dan sektor. Contohnya, walaupun data spasial lengkap tersedia di Republik Kongo dan Kanada, namun Myanmar, Madagaskar dan Rusia hanya memberikan akses terbatas. Selain itu, pada umumnya data konsesi lebih mudah diakses untuk pertambangan dibandingkan untuk kehutanan atau pertanian industri.

  • Masyarakat sipil dapat menjadi sumber penting untuk informasi mengenai konsesi apabila data resmi tidak tersedia. Walaupun data konsesi penting untuk perencanaan pemanfaatan lahan yang partisipatif dan adil, dalam studi ini hanya ada sangat sedikit pemerintah yang memberikan data konsesi secara proaktif dan memenuhi standar keterbukaan data (seperti misalnya data tersedia untuk diunduh, digunakan, digunakan ulang, dan disebarluaskan ulang). Masyarakat sipil, termasuk diantaranya lembaga aktivis dan penelitian, berperan penting melengkapi atau mengkompensasi kurangnya data resmi dari pemerintah. Seringkali hal ini terjadi secara ad hoc, seperti misalnya membuat salinan digital dari laporan cetak, mengumpulkan informasi yang bocor, dan menerbitkan hasil data kepada publik melalui portal web independen.

  • Pemerintah yang memiliki peraturan perundangan mengenai Keterbukaan Informasi seringkali lebih proaktif memberikan informasi tersebut dibandingkan negara-negara yang tidak memiliki peraturan tersebut, akan tetapi tantangan terkait akses dan kualitas data tetap ada. Banyak peneliti di negara-negara yang dikaji berhasil memperoleh setidaknya sebagian data konsesi (misalnya data tidak lengkap secara geografis) melalui permintaan pembagian informasi, namun ada tidaknya peraturan perundangan Keterbukaan Informasi belum tentu dapat menjamin akses terhadap data. Saat permintaan resmi untuk Keterbukaan Informasi gagal, peneliti menyatakan kurangnya kerjasama antara lembaga kementerian atau kurangnya kesadartahuan mengenai prosedur permintaan informasi sebagai kendala untuk memperoleh informasi melalui jalur tersebut.

  • Tidak ada hubungan konsisten antara keikutsertaan dalam kemitraan sukarela atau panduan terkait transparansi data konsesi pertanian, kehutanan dan pertambangan, dengan penerbitan data konsesi secara proaktif. Walaupun partisipasi dalam kemitraan menunjukkan korelasi medium dengan keterbukaan data secara proaktif, kemitraan ini tidak menjadi faktor pendorong dalam semua kasus. Ini terjadi walaupun beberapa kemitraan, seperti Inisiatif Transparansi dalam Industri Ekstraktif atau Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), secara khusus mendukung disebarluaskannya dokumen kesepakatan kontrak, perizinan dan data spasial terkait, yang mempertanyakan efektivitas kemitraan seperti yang telah disebutkan dalam mencapai tujuan transparansi.

  • Belum ada standar internasional yang disepakati terkait keterbukaan data konsesi kehutanan, pertambangan atau pertanian. Bahkan jika pemerintah secara proaktif membuka informasi mengenai konsesi, masih ada masalah kualitas data. Beberapa pemerintah dalam studi ini telah membuka data konsesi untuk publik, akan tetapi peneliti seringkali melaporkan bahwa data yang tersedia bukan data paling mutakhir, tidak lengkap, atau tidak akurat.Atribut data dan metadata sangat bervariasi dan akan dapat terbantu dengan adanya pedoman atau standar internasional yang menggambarkan praktik-praktik terbaik.

  • Ketersediaan data spasial digital serta peraturan perundangan terkait akses terhadap informasi tersebut sangat cepat berubah. Beberapa tautan ke peraturan atau data yang disampaikan oleh peneliti tidak dapat ditelusuri atau keluar jaringan hanya beberapa bulan setelah studi ini selesai. Pada kasus lainnya, pemerintah dan kelompok masyarakat sipil menerbitkan portal informasi baru pada saat yang bersamaan. Pengumpulan data konsesi adalah suatu proses yang membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Laporan ini diakhiri dengan rekomendasi spesifik untuk pembuat kebijakan, lembaga donor, kelompok masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya untuk meningkatkan transparansi dan keterbukaan informasi mengenai konsesi. Laporan ini juga menyampaikan saran topik untuk kajian lebih lanjut, termasuk diantara kondisi yang memungkinkan dan tantangan yang menghalangi transparansi konsesi lahan.