Sebelum COVID-19 menerjang, upaya peningkatan kesehatan dan kekayaan laut internasional sedang mendapatkan momentum dari peluncuran Panel Tingkat Tinggi untuk Ekonomi Laut Berkelanjutan (Panel Laut), Special Report on the Ocean and Cyrosphere in a Changing Climate IPCC tahun 2019, 1.615 komitmen tercatat untuk mencapai Tujuan 14 SDG (Menjaga Ekosistem laut) pada Konferensi Laut PBB, dan komitmen sebesar US$500 juta untuk melakukan aksi nyata yang dikemukakan di Our Ocean Conferences pada tahun 2018 yang diselenggarakan di Indonesia. Sayangnya, masih banyak potensi kemunduran. Resesi ekonomi global akibat pandemi COVID-19 menjadi ancaman baru bagi laut. Investasi stimulus yang digelontorkan bagi sektor-sektor berpolusi tinggi dan penurunan standar lingkungan berpotensi menjadi langkah mundur dalam upaya keberlanjutan laut dan mitigasi perubahan iklim.

Keputusan-keputusan yang diambil sebagai respons atas krisis COVID-19 untuk menstimulasi ekonomi laut dan industri-industri terkait – seperti perikanan, akuakultur, eksplorasi mineral, transportasi dan infrastruktur – harus dibarengi dengan komitmen transisi industri laut menuju praktik-praktik yang lebih cerdas dan berkelanjutan untuk mewujudkan manfaat kesehatan, sosial, ekonomi dan lingkungan jangka panjang.

Tindakan ini tidak hanya akan meringankan krisis ekonomi yang sedang terjadi, namun juga membantu pelestarian eksosistem laut, mendorong kesejahteraan manusia, serta membangun ketahanan sosial dan ekonomi dalam menghadapi krisis di masa depan. Investasi ekonomi laut berkelanjutan juga membawa banyak manfaat lain. Analisis terbaru dari World Resources Institute menunjukkan keuntungan sebesar lima dolar AS untuk setiap satu dolar AS yang diinvestasikan di beberapa sektor ekonomi berbasis laut seperti angin lepas pantai untuk energi terbarukan, penghijauan armada kapal, atau solusi iklim berbasis alam.

Sebagai anggota G20, Indonesia memiliki peran penting terkait ekonomi laut dunia. Bukan saja sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia. Indonesia juga menjadi anggota Panel Laut yang menghubungkan 14 pemimpin dunia yang memiliki ambisi untuk membangun ekonomi laut berkelanjutan yang didasari oleh perlindungan bersama yang efektif, produksi berkelanjutan dan kesejahteraan untuk semua. Tahun lalu, pemerintah Indonesia memberikan komitmennya untuk menerapkan tiga aksi kunci untuk memajukan ekonomi laut global yang berkelanjutan.

Pertama, mengurangi sampah plastik laut. Indonesia dilaporkan sebagai penghasil polusi sampah terbesar kedua di dunia. Kapasitas pengumpulan sampah Indonesia diperkirakan hanya mencapai 39 persen dengan kapasitas daur ulang hanya 8 persen. Akibatnya, pembuangan sampah tidak terkelola dengan baik dan berisiko terbuang ke laut.

Sampah dan plastik di laut merusak ekosistem laut dan biasanya berakhir di makanan masyarakat. Studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa 89 persen dari ikan teri yang ditangkap di perairan Indonesia telah terkontaminasi mikroplastik. Studi ini juga menunjukkan bahwa setiap penduduk Indonesia diperkirakan mengonsumsi sekitar 1.500 partikel mikroplastik dari konsumsi ikan setiap tahunnya. Eksposur masyarakat Indonesia terhadap mikroplastik pun meningkat sehingga berpotensi memperburuk permasalahan kesehatan masyarakat.

Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk mengurangi 70 persen sampah plastik laut Indonesia pada tahun 2025 dan menjadi negara bebas polusi plastik pada tahun 2040. Kementerian Lingkungan dan Kehutanan pada tahun 2019 meluncurkan peta jalan bagi industri manufaktur untuk mengurangi sampah dan mencapai target untuk memproduksi plastik yang dapat didaur ulang pada tahun 2030. Selain itu, perusahaan dan pemberi modal terus meningkatkan kontribusi mereka dalam upaya penanggulangan sampah laut serta penciptaan kegiatan ekonomi dan lapangan pekerjaan ekonomi sirkuler baru. Upaya ini didukung oleh Kemitraan Aksi Plastik Nasional yang mencakup pihak pemerintah dan nonpemerintah.

Kedua, memberantas penangkapan ikan ilegal, tak dilaporkan, dan tak diatur (IUU fishing). Menurut Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya di tahun 2017, hampir setengah dari sumber daya ikan liar di Indonesia menghadapi penangkapan berlebihan. IUU fishing merupakan salah satu penyebabnya, mengakibatkan kerugian $4 miliar setiap tahunnya dengan kerugian dunia yang diperkirakan mencapai $10-23 miliar per tahun.

Ada berbagai bentuk IUU fishing di Indonesia, termasuk: kapal asing yang tidak memiliki izin untuk menangkap ikan, namun memberikan laporan yang tidak akurat mengenai ukuran dan jenis kapal untuk menghindari pengawasan dan pajak; kapal asing yang menyembunyikan kepemilikannya dengan memakai nama lokal dan pelaporan tangkapan yang tidak benar.

Indonesia telah meningkatkan pengawasan di perairan dan zona ekonomi ekslusifnya melalui perbaikan sistem perizinan untuk kapal penangkap ikan agar jumlah kapal yang beroperasi di laut dapat terdata dengan baik dan eksploitasi sumber daya ikan dapat diawasi. Upaya Indonesia untuk mengendalikan IUU fishing oleh kapal berbendera asing akan membantu pemulihan sumber daya ikan yang mengalami penangkapan berlebih dan pada akhirnya meningkatkan produksi dan keuntungan industri perikanan. Upaya ini, dibarengi dengan pengelolaan industri perikanan terus menerus, akan menghasilkan sumber mata pencaharian dan lapangan pekerjaan baru dalam jangka panjang serta membantu penanggulangan ketahanan pangan melalui penyediaan akses protein bagi masyarakat rentan.

Terakhir, mengintegrasikan agenda karbon biru ke dalam rencana mitigasi dan adaptasi iklim. Indonesia merupakan pemilik stok karbon biru terbesar di dunia di tingkat 17 persen. Tutupan mangrove Indonesia mencapai 22,6 persen dari total mangrove dunia yang merupakan tutupan mangrove terluas di dunia.

Mangrove memiliki peran signifikan dalam mendukung upaya mitigasi dan adaptasi untuk menghadapi ancaman perubahan iklim. Mangrove juga menjadi area pembenihan ikan serta pelindung daerah pesisir dari badai atau tsunami yang efektif. Selain itu, mangrove juga menjadi sumber mata pencaharian masyarakat pesisir. Pelestarian dan restorasi mangrove tidak hanya meningkatkan ketahanan industri perikanan namun juga menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat pesisir serta menjadi peluang pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi dalam jangka panjang. Sebagai contoh, restorasi suatu area bekas pertambangan menjadi Belitung Mangrove Park di Sumatera telah berhasil menciptakan 164 lapangan pekerjaan bagi masyarakat, menghasilkan pendapatan sekitar Rp50-65 juta setiap bulan dan menarik investasi sebesar Rp22 miliar.

Indonesia mendukung diikutsertakannya potensi tanaman mangrove untuk mitigasi emisi gas rumah kaca dalam negosiasi perubahan iklim. Indonesia telah menggarisbawahi pentingnya inventarisasi dan rehabilitasi mangrove dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Selain itu, Indonesia juga menargetkan untuk merehabilitasi 1,82 juta hektar hutan mangrove dan melindungi 1,67 juta hektar hutan mangrove primer pada tahun 2045. Jika berhasil, Indonesia dapat mengembalikan wilayah mangrovenya ke 3,49 juta hektar (luas hutan mangrove yang tercatat di tahun 2015) dan meningkatkan Komitmen Kontribusi Nasional (NDC).

Komitmen Indonesia untuk mewujudkan laut yang bermanfaat secara global, sehat dan berkelanjutan bisa saja dilakukan tanpa perlu mengorbankan pemulihan ekonomi. COVID-19 memang membawa banyak tantangan, namun juga dapat menjadi peluang ekonomi dan menjadi kesempatan untuk membangun fondasi pengembangan ekonomi yang tahan uji tanpa mengorbankan ekosistem laut.