Pada tahun 2020, anak muda Indonesia yang termasuk dalam kelompok umur 15 hingga 24 tahun mencakup 24 persen populasi. Kelompok umur ini merupakan bagian dari populasi produktif Indonesia (umur 15-64 tahun), yang akan mencapai 67 persen dari total populasi pada tahun 2035. Dengan jumlah yang besar ini, setengah dari populasi Indonesia akan memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengontribusikan nilai bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Konsep ini dikenal sebagai bonus demografi, yang dapat menjadi peluang besar bagi ekonomi Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa anak muda yang ada saat ini atau di masa depan menjadi kunci pembangunan ekonomi Indonesia.

Namun pada kenyataannya, melihat tingkat pengangguran anak muda di tahun 2020, tingkat pengangguran mencapai 43,05 persen, meningkat 1,29 persen dari tahun 2019. Sekitar setengah anak muda yang memiliki pekerjaan bekerja di sektor informal sehingga mereka tidak memiliki kepastian. Krisis COVID-19 ini semakin memperburuk ketidakpastian yang dihadapi anak-anak muda ini. Kurangnya bantuan dari pemerintah selama pandemi ini menunjukkan berbagai lapisan tantangan yang dihadapi anak muda dalam bertahan hidup. Akan tetapi, anak muda yang tidak mampu, khususnya anak muda di daerah-daerah tertinggal, menghadapi tantangan yang jauh berbeda dibandingkan dengan anak muda dari latar belakang ekonomi yang lebih baik dan di perkotaan. Apalagi ketika kita mempertimbangkan tingkat kemiskinan di pedesaan serta angka pengangguran dan kurangnya lapangan pekerjaan yang jauh lebih tinggi di daerah-daerah yang belum berkembang dibandingkan dengan perkotaan.

Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengakui otonomi dan kemampuan anak muda untuk berpikir dan membuat keputusan bagi diri mereka sendiri. Dengan begitu, mereka memiliki akses untuk ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait isu-isu publik. Berbagai pergerakan anak muda seperti Jaga Rimba, Bye Bye Plastic Bags, Youth for Peatland, Surplus dan lainnya telah ikut serta menyuarakan praktik-praktik berkelanjutan dalam pembangunan Indonesia. Untuk mendorong pergerakan anak muda yang terfragmentasi ini menjadi keterlibatan sistemik dibutuhkan proses yang inklusif. Berikut tiga cara untuk mendorong keterlibatan anak muda dalam transformasi keberlanjutan:

Pertama, pahami berbagai kelompok anak muda yang ada.

Anak muda terbagi ke dalam berbagai kelompok yang berbeda-beda berdasarkan latar belakang dari gender, kelompok umur, sosial ekonomi hingga budaya. Semua ini menentukan tingkat kerentanan anak muda terhadap berbagai risiko sosial dan lingkungan. Namun latar belakang ini juga dapat menghalangi keterlibatan mereka dalam pembangunan berkelanjutan.

Mengakui dan memahami berbagai perbedaan dan variasi yang ada di antara berbagai kelompok sosial anak muda dapat membantu pemerintah memberikan dukungan dan intervensi yang tepat untuk meningkatkan keterlibatan anak muda dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Sebagai contoh, kurangnya pengakuan bagi anak muda kurang mampu sebagai pemain kunci dalam pembangunan ekonomi Indonesia telah menciptakan kesenjangan, terutama di beberapa sektor seperti agrikultur dan perikanan. Pada tahun 2018, laporan menunjukkan bahwa jumlah petani dengan usia di bawah 25 tahun masih di bawah 1 persen, sementara 64 persen berusia di atas 45 tahun. Keterlibatan anak muda di bidang agrikultur di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah dapat menjadi peluang untuk mengendalikan kurangnya lapangan pekerjaan, migrasi urban, kekecewaan anak muda, kerusuhan sosial serta membantu individu dan masyarakat keluar dari kemiskinan dan kelaparan.

Kedua, menciptakan ruang yang aman bagi anak muda dan program bimbingan.

Ada banyak cara anak muda dapat berkontribusi pada keberlanjutan, mulai dari menciptakan kampanye berbasis daring, memobilisasi dan menciptakan aksi kolektif, mengatasi ketidakadilan lingkungan di tingkat desa, mengomunikasikan pesan keberlanjutan kepada orang tua dan masyarakat hingga menginisiasi inovasi-inovasi keberlanjutan. Contohnya adalah Aruna, startup e-commerce di bidang perikanan yang menyediakan platform penjualan ikan digital untuk membantu nelayan menjual hasil tangkapan mereka dengan harga yang wajar. Dalam kasus Aruna, mereka mengimplementasikan Local Heroes, anak muda setempat yang berinteraksi langsung dengan nelayan untuk membantu mereka serta bertanggung jawab untuk menerima hasil tangkapan nelayan, memastikan kualitas ikan dan lain-lain.

Menjaga kreativitas dan inovasi anak muda dapat dilakukan melalui berbagai program bimbingan dan kesempatan pengembangan jaringan. Namun perlu ditekankan bahwa bimbingan dan kesempatan pengembangan jaringan ini harus diberikan secara terstruktur dengan memprioritaskan perspektif anak muda. Dengan begitu, program-program ini dapat terus berjalan di masa depan.

Ketiga, memfasilitasi pembelajaran lintas generasi.

Pembelajaran bersama sudah lama dilihat sebagai suatu pendekatan yang dapat menjembatani dinamika kekuasaan yang tidak seimbang antara anak muda dan orang dewasa. Contohnya antara anak muda desa dengan para pemimpin yang biasanya berasal dari kelompok umur yang lebih tua. Oleh karena itu, pembelajaran bersama lintas generasi sangat penting dalam menjawab berbagai permasalahan lingkungan mengingat pengetahuan lingkungan setempat seringkali diturunkan dari generasi yang lebih tua ke generasi yang lebih muda.

Kelompok sosial anak muda Lakoat.Kujawas di Mollo, Nusa Tenggara Timur contohnya, didirikan untuk menjawab keterbatasan akses dan kesulitan generasi muda untuk mempelajari pengetahuan tradisional dan setempat Mollo. Lakoat.Kujawas menjembatani kesenjangan antara anak muda dan anggota masyarakat yang lebih tua. Lebih lagi, inisiatif ini juga mencoba untuk menjembatani keterkaitan antara identitas budaya, edukasi dan penciptaan kesempatan ekonomi.

Langkah ke depan

Kesimpulannya, untuk menjawab tantangan dalam mencari solusi pembangunan berkelanjutan, diperlukan keterlibatan aktif anak muda dalam proses pembuatan keputusan publik. Akan tetapi, perlu diingat bahwa anak muda tidak dapat dilihat sebagai satu kelompok homogen besar saja. Latar belakang gender, usia, sosial ekonomi dan budaya yang berbeda berperan penting dalam menentukan kemampuan mereka untuk berpartisipasi. Memahami berbagai kelompok sosial anak muda yang ada, menciptakan ruang aman dan program bimbingan serta memfasilitasi proses pembelajaran bersama lintas generasi dapat menjadi titik balik dan mendorong partisipasi anak muda dalam pembangunan berkelanjutan.