3 Cara untuk Mengatasi Deforestasi Hutan Tropis Hingga 2020
Artikel ini disusun bersama Carita Chan, intern di Forest Initiative WRI.
Semenjak krisis deforestasi hutan tropis mencapai tingkat urgensi yang baru akibat kebakaran hutan yang meluas di Indonesia, sebuah pertanyaan penting muncul ke permukaan, bagaimana dunia dapat memenuhi permintaan yang semakin meningkat akan produk hutan sementara di waktu yang bersamaan masih melestarikan ekosistem hutan? Minggu ini, beberapa perusahaan terbesar di dunia akan bergabung bersama para pejabat pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia di Jakarta dalam pertemuan Tropical Forest Alliance 2020 (TFA 2020) untuk membahas permasalahan tersebut.
Pertemuan ini terjadi tiga tahun setelah Consumer Goods Forum (CGF), sebuah forum yang beranggotakan 400 perusahan barang konsumsi terbesar di dunia dari 70 negara, mengumumkan komitmen mereka untuk menggunakan hanya komoditas yang bebas deforestasi (deforestation-free) dalam rantai pasokan mereka dan membantu usaha untuk mencapai tingkat deforestasi sebesar nol persen pada tahun 2020. TFA 2020, sebuah kemitraan pemerintah-swasta yang dibentuk pada Rio+20 Summit tahun 2012, bertujuan untuk menyediakan pedoman yang jelas dalam mengimplementasikan komitmen forum. Komitmen CGF dapat secara signifikan mempengaruhi cara komoditas tersebut diproduksi: perusahaan-perusahaan di dalam forum tersebut jika digabungkan mempunyai total penjualan lebih dari $3 triliun setiap tahunnya, dan termasuk di dalamnya merek-merek ternama seperti Unilever, Johnson&Johnson, Walmart, dan IKEA. Pertemuan TFA 2020 akan mendiskusikan beberapa cara yang dapat dilakukan CGF untuk mencapai tujuannya dan mengembangkan industri secara umum. Beberapa cara yang paling signifikan untuk dibicarakan meliputi:
1. Lahan yang Terdegradasi
Salah satu isu yang paling mendesak di Indonesia adalah pembukaan hutan primer dan lahan gambut untuk mengembangkan pertanian. Analisis yang dilakukan oleh WRI menemukan bahwa terdapat peluang yang besar untuk memindahkan pengembangan agrobisnis ke lahan-lahan yang telah terdegradasi yang telah terbuka, dan memiliki keanekaragaman hayati dan cadangan karbon yang rendah. Konsep ini telah mendapatkan perhatian, namun pertanyaan tetap muncul mengenai bagaimana mendefinisikan lahan yang terdegradasi, demikian pula tantangan dan peluang dalam mengembangkan lahan tersebut.
WRI dan mitra kerjanya telah bekerja untuk mengidentifikasi lahan yang terdegradasi yang cocok untuk produksi kelapa sawit, menggunakan kriteria biofisika, ekonomi, sosial, dan hukum. Kami telah mengembangkan metodologi riset di Pulau Kalimantan, Indonesia. Hasil yang kami peroleh mengindikasikan bahwa secara potensial terdapat 14 juta hektar lahan terdegradasi di Kalimantan yang cocok digunakan untuk mengembangkan kelapa sawit. Ini merupakan kesempatan yang sangat luar biasa untuk memenuhi target produksi komoditas sekaligus menghormati komitmen CGF untuk mengatasi deforestasi.
Sejak 2010, mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono telah menyatakan komitmennya untuk memanfaatkan lahan yang telah terdegradasi untuk pengembangan komoditas, yang telah memunculkan ketertarikan awal dari industri kelapa sawit dan membantu menyebarluaskan kebijakan-kebijakan pemerintah seputar isu tersebut. Wadah multi-stakeholder seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) turut mengeluarkan pedoman mengenai bagaimana mengembangkan kelapa sawit tanpa mengkonversi hutan lebih lanjut.
2. Pengawasan Hutan
Produsen komoditas yang memiliki komitmen untuk mengatasi deforestasi dapat turut memanfaatkan perkembangan teknologi terbaru dalam pengawasan hutan dan teknologi satelit. Teknologi tersebut dapat meningkatkan transparansi di dalam rantai pasokan perusahaan. Program seperti Forest Cover Analyzer, Eyes on the Forest, dan Global Forest Watch 2.0 yang akan segera diluncurkan, memungkinkan setiap orang dengan koneksi internet untuk melihat di mana dan kapan perubahan tutupan hutan terjadi di suatu wilayah tertentu. Pemerintah Indonesia juga memiliki berbagai inisiatif pengawasan hutan di dalam badan-badan pemerintah yang berbeda.
Selama kabut asap minggu lalu, sebagai contohnya, WRI mempublikasikan data yang menunjukkan bahwa kebakaran di Indonesia kemungkinan berhubungan dengan pembukaan lahan yang dilakukan oleh komoditas terbesar di Indonesia, kayu pulp dan kelapa sawit. Ini bukanlah tren yang baru – terdapat peningkatan permintaan secara global terhadap kedua komoditas tersebut, dan di masa lalu, produksi seringkali mengorbankan hutan. Perkiraan menunjukkan bahwa 57 persen deforestasi di Indonesia disebabkan oleh perkebunan kelapa sawit, dengan 20 persen berasal dari pulp dan kertas. Kemampuan untuk menunjukkan secara cepat di mana dan kapan kebakaran hutan terjadi dan menentukan siapa yang bertanggung jawab, belum pernah terjadi sebelumnya. Inovasi-inovasi tersebut dapat membantu pemerintah, perusahaan, dan masyarakat dalam mengawasi dan mengurangi deforestasi secara cepat dan efektif.
3. Sertifikasi Hukum dan Sukarela
Usaha penting lainnya dalam mencapai tingkat deforestasi nol persen adalah memanfaatkan secara efektif berbagai mekanisme sertifikasi dan persyaratan hukum yang mewajibkan praktik-praktik yang berkelanjutan. Standar-standar tersebut meliputi kriteria dan prinsip-prinsip yang disusun secara seksama yang menjadi pedoman dalam mengolah dan memproduksi komoditas dan dituangkan ke dalam seperangkat best practices, seperti melarang pembakaran dan deforestasi di hutan primer dan lahan gambut. Sebagai imbalan dari mematuhi persyaratan tersebut, sebuah produk dapat ditandai sebagai produk yang berkelanjutan (sustainable). Perusahaan menggunakan skema-skema sertifikasi tersebut untuk memastikan bahwa sebuah produk dibuat dengan cara-cara yang bertanggung jawab. Banyak perusahaan yang tergabung ke dalam CGF telah berkomitmen untuk memenuhi larangan deforestasi yang mereka janjikan dengan menggunakan hanya produk-produk yang bersertifikat.
Di sisi produksi komoditas, terdapat beberapa standar seperti sertifikasi RSPO yang dilakukan secara sukarela atau versi Indonesia (ISPO) yang serupa namun diwajibkan secara hukum. Untuk pulp dan kertas, Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia menjadi sistem verifikasi hukum kayu secara nasional. Di tingkat internasional, Forest Stewardship Council (FSC) dan Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) merupakan standar sertifikasi yang cukup dikenal dan dilakukan secara sukarela yang menjadi pedoman perusahaan untuk mencapai best practices.
Pertemuan TFA 2020 merupakan peluang yang sangat menarik. Perusahaan-perusahaan komoditas terbesar di dunia akan bergabung bersama para pembuat kebijakan untuk mendiskusikan cara-cara praktis dan terjangkau untuk mencapai tingkat deforestasi nol persen pada tahun 2020. Mengumpulkan mereka bersama-sama dapat membantu mengidentifikasi solusi-solusi yang telah berhasil dijalankan dan mengembangkannya untuk menghasilkan perubahan global yang lebih berarti.