Bayangkan Lagos, sebuah kota di Nigeria dengan populasi 22 juta jiwa, yang beberapa dekade lalu hanyalah sebuah kota pesisir kecil. Kini, Lagos telah berkembang menjadi sebuah megacity seluas 727 km2. Karena pertumbuhan yang begitu pesat, kota ini mengalami penurunan kualitas sarana dan prasarana yang signifikan: Kurang dari 10 persen rumah memiliki saluran pembuangan; kurang dari 20 persen rumah memiliki akses ke air leding. Ditambah, semakin menjamurnya rumah-rumah yang terletak di pemukiman kumuh dan informal di pinggiran kota.

Sekarang, bayangkan Lagos tumbuh dua kali lipat lebih besar.

Lagos hanyalah satu dari sekian banyak kota yang disinyalir akan tumbuh pesat dalam tiga dekade mendatang, baik dari segi populasi maupun luas wilayah. Menurut data terbaru, luas area perkotaan kemungkinan akan meningkat 80 persen secara global dari tahun 2018 sampai 2030, dengan asumsi tingkat pertumbuhan tahunan tidak berubah. Apabila kota-kota ini berkembang secara horizontal, bukan vertikal, seperti halnya pertumbuhan di Lagos, maka kesenjangan ruang dan ekonomi serta akses terhadap sumber daya alam akan semakin buruk.

<p> Luas wilayah Lagos diperkirakan akan tumbuh dua kali lipat pada 2050. Kredit foto oleh Heinrich-Böll-Stiftung/Flickr </p>

Luas wilayah Lagos diperkirakan akan tumbuh dua kali lipat pada 2050. Kredit foto oleh Heinrich-Böll-Stiftung/Flickr

Pada makalah Laporan World Resources terbaru, Upward and Outward Growth: Managing Urban Expansion for More Equitable Cities in the Global South, kami menganalisis pola pertumbuhan di 499 kota menggunakan metode pengindraan jauh. Saat kota-kota makmur di belahan Amerika Utara, Eropa dan Asia Timur tumbuh vertikal dengan gedung-gedung pencakar langitnya, kota-kota di sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan justru tumbuh secara horizontal. Sejumlah kota yang tumbuh horizontal ini bisa dibilang adalah kota-kota dengan dana pengelolaan pertumbuhan paling sedikit, namun dengan proyeksi pertumbuhan populasi yang cukup besar yakni hingga 2 miliar pada tahun 2050 mendatang. Data PBB terkini menunjukkan bahwa 35 persen pertumbuhan populasi perkotaan global antara tahun 2018 dan 2050 akan dikontribusikan oleh tiga negara saja—India, Tiongkok dan Nigeria. Seiring bertambahnya populasi dan berlanjutnya pertumbuhan pesat secara horizontal, pada akhirnya kota-kota tersebut pun akan menemui krisis baru.


To embed:
<iframe src="https://public.flourish.studio/story/24697/embed" scrolling="no" style="width: 800px; height: 600px; border: 0"></iframe>

3 Konsekuensi Perluasan Wilayah Perkotaan yang Tidak Terkelola

Kegagalan dalam mengelola perluasan wilayah bukan hanya akan memperburuk kesenjangan, namun juga akan mengakibatkan dampak risiko ekonomi dan lingkungan hidup yang lebih besar bagi kota tersebut secara keseluruhan. Dari Mumbai sampai Mexico City, melihat daerah kumuh yang luas dan padat tumbuh berdampingan dengan gedung bertingkat dengan haga yang tidak terjangkau dan sering kali kosong tak berpenghuni sudah tidakaneh lagi. Masalahnya, ketika jaringan layanan kota tidak dapat mengimbangi pertumbuhan perkotaan, kota-kota dengan sumber daya terbatas justru cenderung mengikuti tren pembangunan bukannya meminta bantuan agen pembangunan untuk merencanakan pertumbuhan secara proaktif.

Beberapa implikasi dari pertumbuhan yang tidak terkelola ini termasuk:

  • Kesenjangan yang Semakin Besar: Sama halnya dengan Lagos, banyak kota tengah berjuang melawan kesenjangan, penyediaan layanan yang tidak memadai dan kapasitas kota yang tidak lagi memadai. Perluasan wilayah yang tidak terkelola justru semakin memperburuk keadaan ini. Alhasil, keluarga berpenghasilan rendah pindah ke pinggiran kota untuk mencari perumahan yang terjangkau. Walaupun semakin jauh dari pusat kota, kehidupan keluarga berpenghasilan rendah ini justru akan semakin sulit. Keluarga di pinggiran kota harus menghabiskan uang dua kali lebih banyak dan waktu tempuh tiga kali lipat lebih lama menuju kantor, sekolah dan tempat hiburan di pusat kota. Semakin luas kota ini bertumbuh, dinas layanan kota semakin kesulitan menyediakan air, layanan sanitasi dan listrik. Hingga akhirnya penduduk harus bergantung pada layanan informal—seperti truk air pribadi dan pengepul sampah dengan biaya 30 kali lebih mahal dari dinas layanan kota—atau terpaksa hidup tanpa ketiga layanan mendasar tersebut, yang kemudian berdampak terhadap kesehatan serta kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Hanya penduduk berada yang mampu menjangkau biaya layanan yang tinggi tersebut, sehingga banyak penduduk perkotaan hidup tanpa layanan yang memadai. Pola pertumbuhan tanpa pengelolaan yang jelas ini memiliki efek jangka panjang terhadap akses kepada peluang, produktivitas dan kualitas hidup.

  • Tekanan Ekonomi di Seluruh Kota: Penelitian menunjukkan bahwa jika kota tumbuh secara horizontal, kepadatan populasi akan menurun namun biaya layanan publik meningkat. Pada kota-kota di India dan Afrika, sarana seperti jalan beraspal, drainase dan air leding menurun drastis begitu mencapai 5 kilometer dari pusat kota. Investasi untuk infrastruktur baru dan biaya sosial untuk menutupi defisit ini akan terus meningkat seiring bertambahnya perluasan wilayah perkotaan. Perluasan kota juga turut menambah kemacetan, polusi serta waktu tempuh. Udara kotor, yang sebagian besar disebabkan oleh penggunaan mobil pribadi dan truk secara berlebih, mengakibatkan biaya sosial dan ekonomi membengkak, seperti dampak kesehatan dan kerusakan panen. Di Chengdu, Tiongkok, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh polusi udara terkait transportasi mencapai US$3 miliar di tahun 2013.

  • Masalah Lingkungan Hidup: Secara global, tingkat pertumbuhan wilayah perkotaan jauh melampaui pertumbuhan populasi. Namun biasanya, hal ini tercapai dengan mengorbankan lahan pertanian utama, ekosistem dan keanekaragaman hayati, yang memengaruhi produksi pangan dan ketahanan iklim. Saat ini, beberapa wilayah perkotaan dengan pertumbuhan paling pesat berada di wilayah pesisir dataran rendah, dataran banjir, titik-titik keanekaragaman hayati dan wilayah dengan tekanan air yang tinggi. Pertumbuhan tidak terkendali pada ekosistem-ekosistem sensitif di atas dapat semakin membebani sumber daya alam dan menyebabkan bencana banjir di sejumlah kota di Asia Selatan saat musim hujan datang. Penggalian sumur tidak resmi di kota-kota seperti Mexico City, Bangalore dan Jakarta, yang tumbuh pesat secara horizontal dengan air leding yang terbatas dan tekanan air yang tinggi, dapat menyebabkan seluruh kota terendam banjir. Khusus di Jakarta, kondisi ini sangat meresahkan. Menurut para ahli, berdasarkan perhitungan kenaikan permukaan air laut, Jakarta hanya memiliki waktu satu dekade untuk menghentikan kondisi ini, sebelum akhirnya jutaan rumah tenggelam.

Mengendalikan Perluasan yang Tidak Terkelola

Dampak-dampak yang telah dikemukakan di atas diperparah oleh kenyataan bahwa sebagian besar pertumbuhan horizontal yang saat ini tengah berlangsung di Afrika dan Asia Selatan adalah pertumbuhan yang tidak terencana dan tidak resmi, atau berlangsung di lokasi-lokasi yang tidak memberlakukan peraturan tata guna lahan perkotaan. Sebagian perluasan ini berada di luar kendali kota, sejalan dengan peningkatan populasi alami dan migrasi penduduk dari pedesaan menuju perkotaan demi meraih peluang ekonomi. Namun, masih ada beberapa tantangan lain yang dapat dikelola oleh kota secara proaktif.

Sebagai contoh, pasar tanah yang sudah terdistorsi dapat menyebabkan pembangunan seara spekulatif dan terpecah-belah, sehingga pemilik lahan pribadi, pengembang real estat dan pejabat pemerintah yang korup dapat mendulang keuntungan yang tidak seharusnya dari kenaikan harga tanah. Perencanaan yang lemah, peraturan penggunaan lahan yang tidak efektif dan kondisi pasar tertentu diketahui dapat memicu perluasan, kemudian menggeser perumahan terjangkau ke lokasi yang tidak memiliki akses layanan atau memiliki akses layanan yang buruk di pinggiran kota. Selain itu, lahan pertanian dan desa-desa pinggiran secara serampangan beralih fungsi menjadi pemukiman informal atau daerah kumuh yang tidak memiliki akses terhadap layanan kota.

Meskipun dihadapkan pada tantangan yang berat, beberapa kota telah menerapkan pendekatan inovatif dengan mengutamakan akses layanan dan mengelola perluasan wilayah perkotaan. Kota-kota di Meksiko, Brasil dan Afrika Selatan berusaha menggeser pembangunan baru ke wilayah-wilayah yang telah terhubung dan memiliki akses layanan yang baik, dibandingkan membangun secara horizontal ke pinggiran kota. Kota-kota di Kolombia, Korea Selatan dan India secara bertahap menambah lahan baru di lokasi yang telah terhubung dan memiliki akses layanan yang baik dengan menggandeng sarana publik dan perusahaan swasta untuk mendukung pembiayaan. Sejumlah kota juga telah bekerja sama dengan masyarakat di pemukiman informal untuk menjaga kepadatan di tingkat yang masuk akal dengan standar perencanaan dan upaya peningkatan yang lebih fleksibel.

Dampak perubahan kebijakan penggunaan lahan di kota dapat dirasakan selama beberapa dekade. Kota-kota di Afrika dan Asia punya pilihan untuk mulai mengelola perluasan secara horizontal yang tidak berkelanjutan dari sekarang atau menerima dampak yang lebih buruk di kemudian hari.