Buenos Aires akan menjadi tuan rumah Konferensi G20 2018 pada 30 November. Ketika perhatian semua orang tertuju pada dinamika kebijakan dagang AS dan Cina, G20 sebagai forum penting untuk isu-isu lingkungan dan iklim tidak boleh dilupakan. "G20 bukan hanya satu momen dimana kita membicarakan isu-isu lingkungan dan iklim, namun suatu proses yang berjalan sepanjang tahun sebagai kunci untuk mengatasi masalah penting ini," kata David Waskow, Direktur Inisiatif iklim Internasional WRI.

Tidak banyak badan internasional yang memiliki kekuatan yang sama dengan Group of Twenty (G20). Sebagai forum bagi negara-negara ekonomi terbesar di dunia untuk membahas stabilitas keuangan internasional, G20 telah melampaui Group of Seven (G7) dalam perannya sebagai dewan ekonomi internasional. Anggota G20 terdiri dari sekitar dua pertiga populasi dunia, 85 persen produk bruto dunia – dan 75 persen emisi gas rumah kaca.

Forum ini tidak hanya berpengaruh pada pasar keuangan, namun juga sektor-sektor penting terkait lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, seperti komoditas, infrastruktur dan energi. Tahun ini, semua masalah-masalah ini telah dibahas oleh G20 melalui suatu proses yang berujung pada pertemuan di Buenos Aires. Namun pertemuan ini bukanlah akhir dari proses ini. (Tentu saja, berbagai organisasi termasuk WRI telah memberikan masukan kepada G20 sepanjang tahun.)

Argentina, presiden G20 saat ini, menyebutkan bahwa keberlanjutan merupakan “nilai inti yang seharusnya berfungsi sebagai kerangka pemersatu untuk memenuhi tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan,” dan mengungkapkan bahwa "merawat tempat tinggal kita bersama adalah kepentingan semua orang, karena kita semua memiliki tanggung jawab terhadap generasi mendatang. Sekarang waktunya untuk bertindak."

Jika G20 ingin mengambil tindakan, berikut lima cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan langkah-langkah yang telah kita ambil terkait iklim dan pembangunan berkelanjutan. Seperti yang digambarkan oleh contoh-contoh di bawah ini, kebijakan ekonomi dan keuangan merupakan satu kesatuan dengan kebijakan lingkungan:

1. Apa yang Diperlukan untuk Mencapai Masa Depan Pangan Berkelanjutan?

Masa Depan Pangan Berkelanjutan menjadi salah satu prioritas Argentina pada pertemuan G20 ini, bersama dengan Cara Kerja di Masa Depan (konsep yang dikenal sebagai The Future of Work) serta Infrastruktur untuk Pembangunan dan Pengarusutamaan Gender. Adapun isu-isu yang dibahas mencakup erosi tanah dan ketahanan pangan.

Kita tidak tahu apa yang akan dihasilkan dari diskusi mengenai keberlanjutan ini, namun banyak tindakan yang dapat dilakukan. "Kerugian dan pemborosan pangan rupanya termasuk dalam agenda," kata Craig Hanson, Direktur Pangan Kehutanan dan Air di World Resources Institute. "G20 memiliki kesempatan unik untuk menegaskan komitmen para anggota untuk mengurangi separuh kerugian dan pemborosan pangan pada tahun 2030."

Mengurangi separuh kerugian dan pemborosan pangan akan berdampak sangat besar dalam upaya untuk menciptakan masa depan pangan berkelanjutan, menghasilkan manfaat ekonomi dan membantu mengurangi kelaparan.

2. Dapatkah Kita Mewujudkan Infrastruktur Berkelanjutan dan Tahan Iklim?

Agenda Finance Track yang diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan Argentina dan Bank Sentral menekankan “infrastruktur untuk pembangunan” dan “keuangan berkelanjutan.” Hal ini sangat diperlukan: jumlah investasi infrastruktur dalam 15 tahun ke depan diperkirakan akan mencapai U$90 triliun, dua kali lipat lebih besar dari nilai infrastruktur yang ada di dunia saat ini.

Sebelumnya, negara-negara G20 mendukung gagasan bahwa mereka harus berinvestasi pada infrastruktur yang “berkualitas”. Namun sejauh ini, definisi infrastruktur berkualitas masih belum benar-benar mencakup keberlanjutan atau ketahanan iklim. "Kita perlu bersama-sama membuat definisi ‘infrastruktur berkelanjutan’ yang mencakup pendekatan rendah karbon serta ketahanan terhadap dampak perubahan lingkungan," kata Leonardo Martinez-Diaz, Direktur Pusat Keuangan Berkelanjutan di World Resources Institute. Satu lokasi yang dipantau dapat menjadi program kerja adaptasi baru dari Kelompok Kerja Iklim Berkelanjutan. Dengan tujuan untuk "menjadi tempat bagi negara-negara untuk berbagi pengalaman dan mempromosikan upaya yang lebih besar untuk meningkatkan adaptasi dan ketahanan”, program ini dapat mendorong terciptanya fondasi yang kuat dari pembicaraan terkait infrastruktur. Saat ini, Jerman sedang memimpin kajian studi kasus di bidang studi ini yang akan berlanjut hingga 2019. Kita hanya bisa menunggu untuk melihat apakah diskusi ini akan dapat berkembang ke arah infrastruktur Keuangan.

Isu ini juga menimbulkan pertanyaan pelik bagi presiden tahun depan, Jepang, yang terus mengekspor infrastruktur bahan bakar fosil (dengan membiayai proyek bahan bakar fosil di luar negeri atau mengekspor teknologi yang digunakan dalam infrastruktur berbahan bakar fosil). "Kita telah melihat pergeseran bank-bank pembangunan multilateral (seperti Bank Dunia) dan pembiayaan swasta dari investasi batu baru yang berisiko. Ini saatnya negara-negara G20 maju dan menunjukkan kepemimpinan mereka," tambah Helen Mountford, Direktur Ekonomi WRI.

3. Seperti Apa Jadwal yang Telah Kita Tetapkan untuk Peghapusan Subsidi Bahan Bakar Fosil?

Pengumuman G20 di Pittsburgh pada tahun 2009 menyatakan komitmen penting untuk “menghapuskan dan memperbaiki subsidi bahan bakar fosil jangka menengah yang tidak efisien sambil memberikan dukungan bagi masyarakat miskin." Subsidi ini tidak masuk akal secara ekonomi maupun lingkungan, namun bisa mencapai miliaran dolar setiap tahunnya—setidaknya mencapai $373 miliar dari 2010 hingga 2015, menurut ulasan OECD.

Hampir satu dekade setelahnya, hanya ada sedikit kemajuan. Apa masalahnya? "Kita tidak pernah mendefinisikan jangka menengah," kata Mountford, "dan kini, 10 tahun kemudian, sejumlah negara masih menunda penghapusan subsidi yang merugikan ini." Salah satu langkah yang dapat kita ambil adalah menetapkan jadwal untuk mengukur urgensi pengurangan emisi karbon. Penjadwalan ini mungkin dapat dikaitkan dengan laporan terbaru 1,5°C IPCC.

Bukannya tidak ada kemajuan sama sekali. Negara-negara G20 telah setuju untuk melakukan peer review secara sukarela atas subsidi bahan bakar fosil mereka masing-masing. Langkah ini merupakan batu loncatan menuju penghapusan penggunaan subsidi yang tidak bermanfaat. Tahun ini, Indonesia dan Italia akan ikut serta.

Indonesia merupakan kasus yang menarik. Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo membatasi subsidi solar dan “menghapus subsidi bensin”. Sayangnya, upaya ini lalu terhenti menjelang pemilu yang sangat ketat. Hasil peer review dapat menjadi pembelajaran bagi negara-negara lain yang sedang berusaha untuk memperbaiki subsidi konsumen mereka.

4. Apakah Rencana Jangka Panjang Akan Dirilis oleh Lebih Banyak Negara G20?

Argentina juga melihat satu hal lagi yang perlu diprioritaskan oleh Kelompok Kerja Iklim Berkelanjutan: strategi jangka panjang. Biasa disebut sebagai "strategi pengembangan rendah emisi gas rumah kaca jangka panjang pada pertengahan abad," dokumen ini menguraikan bagaimana sebuah negara dapat mencapai emisi nol pada paruh kedua abad ini, target yang ditentukan dalam Perjanjian Paris terkait perubahan iklim. Dengan merilis dokumen ini, negara-negara dapat menyelaraskan rencana ekonomi mereka dengan transisi rendah karbon. Langkah ini dapat mempercepat transisi tersebut dengan mengirimkan pesan kuat kepada pemain-pemain lain, seperti negara tetangga, investor dan masyarakat.

Awal tahun ini, kami menerbitkan sebuah blog yang menyoroti bahwa hanya enam negara G20 yang telah merilis strategi jangka panjang untuk aksi iklim mereka. Katherine Ross, seorang associate Program Iklim World Resources Institute, mengatakan "Negara-negara G20 yang belum mempelajari strategi jangka panjangnya akan tertinggal. Merilis strategi jangka panjang menunjukkan kepada dunia bahwa negara-negara ekonomi terbesar telah menyadari bahwa perkembangan dan aspirasi ekonomi mereka sangat tergantung pada aksi iklim."

Singkatnya, Argentina memprioritaskan pengembangan jalur rendah karbon dan kita akan melihat lebih banyak lagi sinyal kuat di level atas terkait iklim, namun kita perlu menunggu hasilnya.

5. Apakah Pengumuman yang Dihasilkan Akan Menunjukkan Kesepakatan atau Perbedaan?

Setiap pertemuan G20 akan menghasilkan pengumuman publik berisikan prioritas bersama dan komitmen-komitmen baru dari para anggotanya. Laporan Khusus IPCC mengenai 1,5°C baru-baru ini menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan dan menekankan pentingnya - serta peluang untuk - mengambil tindakan segera untuk mengatasi tantangan iklim. Pada konferensi G20 tahun lalu, pengumuman ini mencakup satu bagian mengenai perubahan iklim yang mencatat perbedaan pandangan AS dengan anggota G20 lainnya, termasuk seputar Perjanjian Paris.

Argentina akan berusaha untuk menghindari terulangnya skenario ini, dan akan mencoba mendorong suatu pengumuman dimana semua anggota mencapai kesepakatan. Jika mereka berhasil merilis pengumuman yang mengirim pesan kuat terkait iklim dan disetujui oleh perwakilan AS, keberhasilan ini akan menentukan arah kerja sama iklim internasional ke depan. "Luar biasa jika Amerika Serikat dapat mendukung Perjanjian Paris. Semoga dalam prosesnya, upaya ini tidak akan mengurangi dukungan dari pihak lain," kata Andrew Light, Distinguished Senior Fellow dalam Program Iklim Global WRI.

Dapatkah G20 Mengkatalisasi COP—dan Lebih Lagi?

G20 adalah suatu proses berkelanjutan. Pekerjaan tahun ini akan dilanjutkan tahun depan di Jepang, dan Shinzo Abe telah menyatakan bahwa iklim akan lebih ditekankan dalam agenda tahun 2019. Mereka memiliki kesempatan untuk menarik perhatian dunia pada peluang-peluang baru untuk mempercepat aksi iklim, termasuk isu-isu seperti adaptasi (Jepang adalah pemimpin industri terkait data meteorologi; bagaimana kita dapat menyebarkan data ini ke negara berkembang dan usaha kecil menengah?) serta praktik dan standar terbaik untuk teknologi rendah karbon.

G20 membuka banyak peluang bagi para pemimpin dunia untuk menunjukkan keseriusan mereka untuk mengatasi masalah perubahan iklim kepada rekan-rekan mereka. Pembangunan berkelanjutan dan aksi iklim tidak akan efektif jika ekonomi – dan kontributor pencemaran - terbesar di dunia tidak dimobilisasi sepenuhnya untuk pembangunan berkelanjutan dan aksi iklim.