Sebagian besar lahan di dunia, hingga sekitar 50 persen, ditempati dan dimanfaatkan oleh lebih dari 2.5 miliar orang dari Masyarakat Adat. Namun tanah leluhur yang menjadi sumber mata pencaharian, pendapatan dan identitas sosial kelompok-kelompok masyarakat in semakin berkurang dari hari ke hari.

Pemerintah, perusahaan dan kaum elit setempat berlomba-lomba untuk menguasai lahan untuk mengeruk sumber daya alam yang terkandung di dalamnya; menanam bahan makanan, serat dan bahan bakar hayati; atau sekadar menyimpannya untuk tujuan yang masih tidak pasti. Sebagian besar masyarakat memiliki lahan di bawah sistem kepemilikan secara adat tanpa adanya sertifikat resmi. Meskipun banyak negara memiliki hukum nasional yang mengakui keberadaan hak-hak adat, perlindungan hukum terhadap hak adat itu sendiri sering kali masih lemah dan tidak ditegakkan dengan baik, menyebabkan lahan masyarakat begitu rentan dirampas oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa.

Meskipun begitu, masyarakat tidak tinggal diam. Mereka terus berjuang untuk melindungi tanah mereka.

Berikut adalah lima bentuk perjuangan masyarakat dalam melindungi hak tanah mereka:

<p>Potret anak-anak yang hidup di Hutan Mau, Kenya. Foto oleh Patrick Shepherd/CIFOR</p>

Potret anak-anak yang hidup di Hutan Mau, Kenya. Foto oleh Patrick Shepherd/CIFOR

1. Proses Pengadilan

Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai hak-hak mereka, semakin banyak Masyarakat Adat yang menuntut haknya ke pengadilan. Di tahun 2008, pemerintah Kenya berkampanye untuk mengusir Ogiek, kelompok adat berisikan para pemburu dan pengumpul untuk makan, dari tanah leluhur mereka di Hutan Mau, Lembah Rift. Setahun kemudian, Ogiek mengajukan pengaduan terhadap pemerintah melalui Komisi Hak Asasi Manusia dan Rakyat Afrika, yang kemudian memberikan rujukan ke Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Rakyat Afrika, pengadilan kontinental yang berlokasi di negara tetangganya Tanzania. Bulan lalu, Pengadilan menyampaikan putusannya, yang menyatakan bahwa pemerintah Kenya telah melanggar beberapa pasal yang tercantum dalam Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Rakyat, yang telah ditandatangani pemerintah Kenya. Putusan pengadilan tersebut mengakui status Ogiek sebagai masyarakat adat sekaligus hak mereka atas Hutan Mau, serta memberikan ganti rugi atas penggusuran paksa yang terjadi. Keputusan dari badan hak asasi manusia tertinggi di Afrika ini memberikan pesan yang kuat kepada seluruh pemerintahan di Afrika akan pentingnya menghormati hak-hak adat.

<p>Pengunjuk rasa di Ekuador. Foto oleh Pato Chavez/Flickr</p>

Pengunjuk rasa di Ekuador. Foto oleh Pato Chavez/Flickr

2. Demonstrasi dan Unjuk Rasa

Anggota masyarakat berunjuk rasa menuju ibukota negara, menyampaikan protes dan meminta bertemu langsung dengan para pimpinan pemerintahan. Akhirnya, pada Desember 2017, usai aksi unjuk rasa dua minggu penuh yang diikuti oleh ratusan masyarakat adat di Quito, Ekuador, Presiden Lenin Moreno menyetujui moratorium pelelangan konsesi minyak dan tambang baru tanpa persetujuan masyarakat setempat. Kemudian saat pemerintah mengumumkan pelelangan minyak baru dan mengeluarkan beberapa konsesi tambang baru pada Februari 2018, mereka kembali berunjuk rasa. Pada bulan Maret, hampir 100 perempuan adat menginap selama lima hari di depan istana kepresidenan, di alun-alun pusat Quito. Ketika Moreno akhirnya menemui mereka, para perempuan adat kembali mendesaknya untuk membatasi pengeboran dan penambangan minyak di wilayah adat mereka serta memerangi praktik kekerasan yang biasanya menyertai industri-industri tersebut. Moreno memastikan akan memenuhi seluruh tuntutan mereka. Para perempuan adat lalu berjanji akan kembali jika masalah ini tidak segera ditangani.

<p>Tampak atas Sungai Amazon, Brasil. Foto oleh Neil Palmer/CIAT</p>

Tampak atas Sungai Amazon, Brasil. Foto oleh Neil Palmer/CIAT

3. Pemantauan dan Patroli

Karena kurangnya dukungan pemerintah, banyak komunitas mengatur sistem patroli mereka sendiri untuk memantau dan mengusir penyusup lahan. Brasil dan sejumlah negara lain telah lama berjuang melawan penebangan liar. Di negara bagian Maranhão, timur laut Brasil, hanya 20 persen dari tutupan hutan asli yang tersisa. Hampir seluruh hutan ini berada di wilayah kekuasaan masyarakat adat dan cagar alam yang dilindungi, di mana eksploitasi komersial dilarang, tetapi para penebang yang terkait dengan sindikat kriminal tetap terus menebang pohon. Pada tahun 2014, setelah pemerintah terus mengabaikan tuntutan yang dilayangkan, masyarakat adat Guajajara dan Ka’apor akhirnya mengatur sistem patroli mereka sendiri untuk menyingkirkan para penebang liar dari lahan mereka. Mereka telah menangkap penebang yang menebang pohon atau sengaja membakar tanah mereka, sampai menyita gergaji dan truk para penebang ini. Pemerintah Maranhão mengapresiasi jerih payah patroli masyarakat adat dan membekali mereka dengan pelatihan dan peralatan untuk membantu penegakkan peraturan lingkungan yang berlaku.

<p>Penebangan hutan di Kalimantan Timur, Indonesia. Foto oleh Josh Estey/AusAID</p>

Penebangan hutan di Kalimantan Timur, Indonesia. Foto oleh Josh Estey/AusAID

4. Pemetaan Lahan

Banyak lahan masyarakat adat yang tidak tercatat pada peta resmi pemerintah, sehingga tidak dapat teridentifikasi. Oleh karena itu, banyak masyarakat adat yang membuat peta lahan mereka sendiri secara akurat menggunakan Global Positioning Systems (GPS) dan beberapa alat lain. Peta-peta ini memberikan gambaran yang berbeda dengan gambaran yang diberikan oleh pemerintah. Di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, Indonesia, para penebang dan perusahaan minyak kelapa sawit telah lama mengincar hutan adat masyarakat Dayak. Saat sebuah perusahaan minyak kelapa sawit mulai menebangi hutan di Desa Setuland, penduduk desa mulai bertindak. Setelah mengancam untuk memaksa perusahaan keluar dari tanah mereka, perusahaan itu akhirnya mundur. Masyarakat Dayak menyadari bahwa mereka membutuhkan sebuah peta wilayah mereka untuk mendokumentasikan batas-batas wilayah, hutan adat, pemukiman dan beberapa rumah panjang (rumah adat Dayak), termasuk hutan-hutan yang telah rusak akibat penebangan liar oleh perusahaan. Dengan bantuan seorang ahli geografi asal Indonesia penduduk desa memanfaatkan teknologi drone untuk memetakan sekaligus memantau lahan yang mereka miliki. Kini, Setuland memiliki peta mereka sendiri sebagai penunjang untuk menghadapi perusahaan penebangan atau minyak kelapa sawit yang memasuki tanah mereka.

<p>Anggota masyarakat di Filipina menjelaskan secara rinci dokumentasi Sertifikat Wilayah Leluhur mereka. Foto oleh Jason Houston/USAID</p>

Anggota masyarakat di Filipina menjelaskan secara rinci dokumentasi Sertifikat Wilayah Leluhur mereka. Foto oleh Jason Houston/USAID

5. Mendaftarkan dan Membuat Sertifikat Tanah

Masyarakat Adat juga mendaftarkan hak tanah adat mereka ke sistem informasi kepemilikan tanah (kadaster) pemerintah untuk memperoleh sertifikat tanah yang resmi. Inisiatif ini mengintegrasikan hak adat mereka ke dalam sistem hukum, menetapkan hak tanah secara resmi dan membantu masyarakat melindungi tanah mereka. Higaonon, kelompok adat di daerah Mindanao, Filipina, memilliki lahan secara adat. Akan tetapi, ketiadaan batas-batas wilayah yang jelas menyebabkan terjadinya perselisihan dengan masyarakat sekitar, yang mulai merambah ke wilayah adat Higaonon. Menanggapi kejadian tersebut, Higaonon mengajukan Sertifikat Wilayah Leluhur (CADT), sebuah sertifikat tanah resmi. Meskipun Undang-Undang tahun 1997 mewajibkan Komisi Nasional untuk Masyarakat Adat memfasilitasi penentuan batas pemisah dan pencatatan tanah leluhur, lembaga ini baru mengeluarkan 182 CADT, sedangkan banyak pengajuan lain masih menunggu untuk diproses. Selain itu, kurang dari 50 CADT terdaftar secara resmi, sehingga efektivitas perlindungan tanah adat masih terbatas.

<p>Seorang perempuan Dayak asal Indonesia tengah menenun keranjang. Foto oleh Rainforest Action Network/Flickr</p>

Seorang perempuan Dayak asal Indonesia tengah menenun keranjang. Foto oleh Rainforest Action Network/Flickr

Meskipun tidak ada langkah apa pun yang dapat menjamin keamanan tanah, langkah-langkah ini telah membantu masyarakat adat melindungi tempat tinggal mereka. Namun, mengembangkan langkah-langkah ini terbukti merupakan tantangan tersendiri.

Masyarakat membutuhkan bantuan untuk menerapkan teknologi yang tepat seperti perangkat GPS atau menjalankan proses sertifikasi tanah yang begitu rumit. Selain itu, pemerintah harus memperbarui dan meningkatkan penerapan hukum untuk meningkatkan perlindungan tanah adat dan tanah masyarakat.

Bersikap tegas demi melindungi tanah mereka juga menimbulkan risiko baru bagi masyarakat. Bentrokan antara masyarakat adat dan pihak-pihak yang mengincar tanah mereka telah meningkat selama beberapa tahun terakhir. Tahun lalu merupakantahun paling berdarah sejak Global Witness mulai mendokumentasikan isu ini, di mana sebanyak 197 aktivis tanah dan lingkungan tewas dibunuh. Kita semua harus bekerja lebih keras, bukan hanya untuk melindungi tanah adat, tetapi juga para aktivis pembelanya.

Simak serial blog ini dalam beberapa minggu ke depan, untuk memahami lebih dalam tantangan dan solusi bagi masyarakat dalam memperjuangkan lahannya.