Alasan Mengapa Hutan Rakyat Tidak Boleh Diabaikan
Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di The Jakarta Post pada 27 Desember 2018.
Sekitar 120,6 juta hektar atau 63 persen lahan di Indonesia ditetapkan sebagai kawasan hutan milik negara. Namun, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 26 persen dari hutan tersebut telah terdegradasi.
Meskipun sebagian besar upaya mempertahankan tutupan hutan dikerahkan untuk hutan negara, namun sebenarnya ada areal penggunaan lain yang juga merupakan rumah bagi ekosistem hutan. Sebagian lahan hutan ini merupakan milik pribadi atau petani kecil.
Keberadaan ekosistem hutan pada lahan pribadi ini sebagian merupakan hasil program rehabillitasi pemerintah pada tahun 1950-an. Program penanaman pohon di ‘halaman belakang’ rumah penduduk tersebut berhasil menumbuhkan tutupan lahan layaknya hutan, yang beberapa di antaranya dikategorikan sebagai hutan rakyat.
Pada tahun 2014, KLHK memperkirakan hutan rakyat seluas 34,8 juta ha atau hampir setara dengan luas negara Jerman.
Bahkan, pada Peraturan Menteri tahun 2016 tentang kehutanan sosial, hutan rakyat menjadi salah satu skema kehutanan sosial. Program yang merupakan inisiatif khusus dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo ini bertujuan untuk menyelesaikan konflik tenurial sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keutuhan hutan.
Terlepas dari statusnya, hutan rakyat tetap memiliki kontribusi signifikan terhadap tujuan besar kehutanan sosial. Studi mengenai hutan rakyat menunjukkan potensi luas dan ekonomi yang dimiliki hutan rakyat. Sebuah kelompok bernama Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (ARuPA) memperkirakan bahwa hutan rakyat telah menyumbang sebesar 90 persen dari total produksi kayu di Jawa Tengah.
Walaupun begitu, pengelolaan efektif hutan rakyat masih terkendala oleh berbagai hal.
Tidak seperti skema kehutanan sosial lain yang didukung oleh peta indikatif, data yang menunjukkan letak kawasan hutan rakyat masih sedikit. Oleh karena itu, keberadaan peta pendukung ini sangat bergantung pada kesediaan atau inisiatif dasar masyarakat untuk mendaftarkan lahannya sebagai hutan rakyat, mengingat terbatasnya arahan strategis dan komitmen dari pemerintah pusat.
Selain itu, status kepemilikan lahan dan pengelolaan tradisional atas hutan rakyat membuat skema kehutanan ini menjadi kurang menarik bila dibandingkan dengan skema kehutanan sosial lainnya. Dalam beberapa kasus, rumitnya pendaftaran lahan pribadi untuk mendapatkan status hutan rakyat seringkali menyulitkan pemilik dalam mendapatkan hak kepemilikan atas lahan tersebut. Belakangan ini, pemilik lahan bahkan diwajibkan lebih lanjut oleh regulasi untuk mempertahankan fungsi hutan dan menyerahkan surat pernyataan atas kesediaannya untuk melepaskan status lahan mereka sebagai hutan rakyat.
Dengan status hutan rakyat, petani kecil sebenarnya dapat menikmati keuntungan seperti pembebasan pembayaran kontribusi serta akses fasilitas kredit dan pasar yang lebih mudah. Sayangnya, tidak semua petani mengetahui sejumlah manfaat tersebut.
Permasalahan lainnya adalah praktik kehutanan tradisional yang umumnya digunakan di hutan rakyat dinilai tidak berkelanjutan. Contohnya, para petani kecil di Desa Terong, Yogyakarta. Mereka menebang pohon hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mendesak, seperti uang sekolah anak.
Praktik semacam ini dikenal dengan nama tebang butuh. Ketika perekonomian tidak stabil, hutan rakyat berpotensi kehilangan tutupan secara masif.
Tantangan lain yang ditemui petani kecil adalah kurangnya akses ke pasar yang tepat untuk mendapatkan harga yang sesuai, khususnya untuk komoditas kayu. Rantai pasokan kayu untuk hutan rakyat masih didominasi oleh tengkulak yang mengendalikan harga kayu bagi petani kecil. Studi kementerian mengenai hutan rakyat di Bulukumba, Sulawesi Selatan, mengungkapkan bahwa ketergantungan tinggi kepada tengkulak dalam penjualan kayu dapat mengurangi potensi pendapatan petani kecil hingga 70-80 persen.
Ada tiga langkah yang harus dilakukan untuk memperbaiki praktik kehutanan di hutan rakyat saat ini.
Pertama, data mengenai kawasan hutan rakyat, baik yang ada sekarang maupun yang berpotensi ada, harus tersedia. Dengan keberadaan data ini, seluruh pemangku kepentingan dapat ikut memajukan hutan rakyat. Lebih penting lagi, data ini akan mendukung upaya pemerintah untuk menyusun arahan strategis hutan rakyat sekaligus memantau deforestasi serta penebangan liar.
Kedua, memastikan petani menerima bantuan teknis. Bantuan penting ini dapat dilakukan dengan meningkatkan perencanaan bisnis terkait pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Namun, langkah penting pertama yang harus dilakukan adalah membangun kelompok tani hutan atau organisasi sejenis. Kelompok tani ini berhak untuk menerima bantuan teknis dari kelompok kerja kehutanan sosial provinsi, yang mencakup topik-topik seperti perencanaan bisnis dan sertifikasi kayu.
Terakhir, mekanisme insentif harus dikembangkan dan diterapkan. Salah satu insentif yang cukup dikenal adalah kredit tunda tebang (KTT), yang membuka peluang bagi petani kecil untuk memperoleh kredit berbunga rendah dengan pohon sebagai jaminan.
KTT seharusnya tidak hanya dirancang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang mendesak, tetapi juga untuk membiayai tujuan produktif seperti sertifikasi kayu. Seiring meningkatnya kesadaran konsumen untuk membeli kayu legal, perolehan sertifikasi kayu dapat membantu petani kecil menjangkau pembeli premium.
Contohnya, kredit berbunga rendah dari biro umum kementerian yang dapat menjadi alternatif pembiayaan pengelolaan hutan rakyat.
Oleh karena itu, sebagai bagian penting dari bentang alam, sudah selayaknya hutan rakyat mendapatkan perhatian yang sama dengan skema kehutanan sosial dan kebijakan konservasi lain secara umum. Mengumpulkan data, merancang bantuan teknis dan menyediakan mekanisme insentif untuk hutan rakyat adalah beberapa langkah awal yang dapat dilakukan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan tersebut.
Dimas Fauzi adalah seorang analis penelitian kehutanan sosial dan energi. Kenny Cetera merupakan analis legalitas hutan. Keduanya bekerja di World Resources Institute Indonesia.