Artikel ini awalnya dimuat di The Jakarta Post.

Tiga anak muda dari Myanmar keluar sebagai pemenang pertama pada kompetisi Global Pulse Lab’s Big Ideas yang diadakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun ini, dengan tema utama aksi iklim. Mereka mengembangkan sebuah aplikasi yang memungkinkan pengguna mengukur emisi metana dari makanan yang dikonsumsi, termasuk daging sapi, ayam, babi, dan serangga.

Agak mengejutkan bahwa ketiga murid sekolah lanjutan ini memahami besarnya dampakperubahan pola makan bagi mitigasi perubahan iklim, misalnya perubahan pola makan dari protein hewani seperti daging sapi, yang dihasilkan menggunakan sumber daya yang banyak (resource intensive), menjadi protein hewani lainnya yang lebih ramah lingkungan, seperti serangga.

Nyatanya, perubahan pola makan kita tidak dapat dihindari. Studi oleh WRI menunjukkan bahwa seorang individu rata-rata mengonsumsi protein sepertiga kali lebih banyak daripada kebutuhan protein orang dewasa per harinya.

Studi tersebut selanjutnya menunjukkan bahwa jika seorang individu yang mengonsumsi protein hewani secara berlebihan mengurangi asupannya, kita dapat menghemat lahan pertanian kira-kira dua kali lipat dari luas wilayah India dan menghindari emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Akan tetapi, perubahan pola makan saja tidak cukup. Di Indonesia, data dari survei nasional tahun 2016 menunjukkan bahwa orang Indonesia mengonsumsi 2.037 kilokalori dan 56,67 gram protein setiap harinya, dan jumlah tersebut lebih rendah dari kebutuhan asupan gizi harian berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 75/2013.

Angka ini bertolak belakang dengan sisi pasokan makanan, di mana Indonesia telah menghasilkan sumber energi dan protein dua kali lipat lebih banyak dari asupan gizi harian yang direkomendasikan. Hal ini menunjukkan bahwa berlebihnya produksi pangan, distribusi yang tidak merata, dan kehilangan dan pemborosan pangan telah menciptakan kesenjangan antara pasokan dan asupan makanan.

Jika persoalan ini terus berlanjut, berbagai dampak negatif akan terjadi, termasuk meningkatnya penggunaan sumber daya pertanian, makin buruknya masalah lingkungan, dan terhambatnya upaya penyediaan pangan yang cukup bagi segenap masyarakat.

Untuk menangani masalah ini, anak muda memegang peranan yang penting. PBB memproyeksikan populasi penduduk perkotaan secara global akan meningkat sebesar 2,5 miliar jiwa, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sekitar 60 persen penduduk perkotaan ini juga diperkirakan adalah anak muda. Bahkan di Indonesia, lebih dari setengah populasi pada tahun 2010 meliputi segmen umur di bawah 30 tahun.

Dengan profil penduduk demikian, anak muda akan sangat rentan terhadap kerawanan pangan. Generasi muda dengan demikian perlu dijadikan sebagai bagian integral untuk menemukan solusi terhadap ketahanan pangan dan perlindungan lingkungan.

Pertama, anak muda perlu memiliki motivasi kuat untuk mendorong pola makan berkelanjutan. Kepemimpinan anak muda saat ini tengah menanjak, sebagai contoh, murid sekolah lanjutan di Myanmar yang mendorong masyarakat untuk beralih mengonsumsi serangga hingga anak muda di Amerika Serikat yang membentuk masa depan pangan berkelanjutan.

Untuk mengatasi tingginya prevalensi limbah pangan di kalangan anak muda di Indonesia, anak muda harus dilibatkan agar suara mereka didengar dan difasilitasi untuk menciptakan gerakan dan kampanye yang berkelanjutan.

Kedua, menciptakan sistem pendukung bagi anak muda untuk mengambil bagian dalam pola makan sehat dan berkelanjutan melalui berbagai program intervensi di rumah, sekolah, dan tempat makan. Hal yang menarik tentang pola makan adalah perubahannya dapat dilakukan mulai dari tingkat individu hingga tingkat nasional.

Sejumlah besar studi telah menunjukkan bahwa jenis makanan yang tersedia di rumah, sekolah, dan tempat makan berpengaruh secara signifikan terhadap pola makan anak-anak dan anak muda.

Media, khususnya televisi, dan faktor individu seperti misalnya pengetahuan, sikap, dan preferensi makanan juga merupakan penentu yang kuat dari kebiasaan makan pada anak-anak dan remaja. Hal ini menunjukkan bahwa edukasi mengenai pola makan sehat dan berkelanjutan juga perlu ditargetkan kepada orang tua dan sekolah.

Ketiga, pola makan di setiap wilayah pasti bervariasi, sehingga dibutuhkan alternatif di daerah. Di tengah malnutrisi dan anemia yang merajalela di Indonesia, konsumsi pangan yang dihasilkan di daerah diperlukan karena seringkali pangan lokal dapat menawarkan manfaat yang besar dari segi nutrisi, ketersediaan, dan keberlanjutannya.

Selain protein nabati seperti serealia, tahu, dan tempe, masyarakat di Gunung Kidul, Jawa, misalnya mengonsumsi belalang sebagai sumber proteinnya. Di Papua, ulat sagu bakar adalah makanan yang sangat disukai. Beberapa orang di Jawa pun mengonsumsi laron. Nyatanya, serangga telah diusulkan oleh para ilmuwan sebagai solusi masalah seputar perubahan iklim dan nutrisi. Serangga kaya akan protein dan mikronutrien penting seperti zat besi dan seng.

Serangga hanya membutuhkan ruang/kandang yang jauh lebih kecil daripada hewan ternak, melepaskan GRK dengan tingkat yang lebih rendah, mengonsumsi lebih sedikit air, dan hanya membutuhkan sedikit pakan untuk menghasilkan protein tinggi. Produksi 1 kilogram protein sapi menghasilkan 2.850 g emisi GRK, sedangkan untuk menghasilkan 1 kg protein dari jangkrik hanya menimbulkan 1 g emisi GRK.

Meskipun demikian, pola makan berkelanjutan tidak akan bertahan tanpa adanya intervensi struktural oleh pemerintah. Pola makan berkelanjutan adalah tentang perubahan perilaku yang harus disertai dengan kebijakan untuk menciptakan pasar demi keberlanjutan perilaku ini.

Sebagai contoh, manusia tidak akan mampu mengganti pola makan secara sistematis jika biaya pangan alternatif yang diusulkan terlalu tinggi dan pasokannya langka. Akses terhadap dan distribusi makanan juga merupakan dua masalah signifikan yang perlu diperhatikan.

Terakhir, mungkin sulit bagi kita untuk memahami gagasan mengonsumsi serangga sebagai alternatif sumber protein, akan tetapi menangani masalah penggantian pola makan dan pola makan berkelanjutan nyatanya membutuhkan perubahan struktural dan perubahan pola pikir yang dramatis.

Seperti halnya para remaja Myanmar yang percaya pada aplikasinya untuk memitigasi perubahan iklim, kita juga dapat berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim melalui perubahan pola makan.