Oleh Thontowi Suhada, Peneliti Muda WRI Indonesia.

Tengah hari, saya dan rekan peneliti saya Dwiki, bersiap di depan gerbang masuk perkebunan kelapa sawit. Hari itu, kami berencana melakukan penelitian awal mengenai tata kelola lahan di sebuah lanskap hutan lindung di Riau. Bersama Pak Icam, sekretaris desa, dan Pak Wafisri, seorang tetua adat, kami memverifikasi temuan penginderaan jauh yang mengindikasikan tumpang tindih lahan perkebunan sawit rakyat dengan kawasan hutan lindung.

Dengan berkendara motor, kami menelisik perkebunan sawit hingga masuk ke perbatasan hutan. Kondisi jalan yang kami lewati sangat beragam, dari jalan berbatu, berlumpur, hingga turunan dan tanjakan yang sebelumnya tak terpikir untuk bisa dilewati sepeda motor konvensional. Tak jarang, saya yang membonceng Dwiki harus turun dari sepeda motor ketika motor tak kuat untuk menanjak, atau bahkan ikut mengangkat ketika motor terjebak lumpur. Ternyata membonceng tak selamanya hanya duduk manis.

Melihat kondisi jalan dan lahan yang sulit dilalui, kami tak menyangka akan melihat perkebunan sawit. Dengan kondisi kemiringan lahan dan kontur tanah yang berbukit-bukit, kami tidak bisa membayangkan bagaimana sulitnya para pekebun mengangkut panen buah sawit mereka. Sebegitu menjanjikannya-kah sawit hingga para pekebun ini rela menempuh jalan yang sesulit ini? Atau mungkin, sesulit apakah mencari penghasilan alternatif hingga mereka sangat bergantung kepada sawit?

Berdasarkan tutur penduduk, dulu bukit ini masih berupa hutan lebat. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dikarenakan tekanan ekonomi, hutan mulai ditebangi dan terkadang dibiarkan terbengkalai. Sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya perusahaan, lahan perkebunan di daerah luar kawasan hutan semakin sempit dan mahal. Mulailah masyarakat menjual atau menggunakan lahan bekas hutan tersebut sebagai perkebunan, baik gambir, karet, maupun sawit. Mempertimbangkan tingginya harga dan kemudahan menjual hasil, pohon-pohon sawit menjadi pengisi utama lahan-lahan tersebut. Praktik tersebut masih bertahan hingga kini.

<p>Gambar 2. Pokok-pokok pohon yang setengah terpotong dan ditinggalkan pembalak liar Foto oleh Thontowi Suhada</p>

Gambar 2. Pokok-pokok pohon yang setengah terpotong dan ditinggalkan pembalak liar Foto oleh Thontowi Suhada

Di satu titik, motor kami sudah tidak bisa masuk lebih jauh dan kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Dari titik ini pula vegetasi tanaman mulai berganti, dari lanskap sawit ke lanskap hutan. Dari atas citra satelit, daerah ini masih memiliki tutupan hutan baik. Namun ketika kami masuk ke dalam hutan dan melihatnya dari bawah, kondisinya ternyata sangat memprihatinkan. Banyak tegakan pohon besar yang telah ditumbang. Beberapa pohon ditinggalkan begitu saja dengan kondisi setengah terpotong karena bagian tengah pohon sudah rusak berlubang. Kami juga menemukan beberapa papan kayu yang siap untuk diangkut. Yang lebih menyedihkan lagi adalah, pohon-pohon yang ditumbang adalah jenis pohon Sialang yang dilindungi secara hukum undang-undang maupun adat. Pohon Sialang adalah jenis pohon yang dihuni oleh kawanan lebah dan menurut adat, dihuni oleh roh halus. Masyarakat yang mengetahui tentu tidak akan menebang pohon tersebut, karena selain dilindungi oleh hukum adat dan kepercayaan mistis, pohon tersebut juga memiliki nilai ekonomi lebih tinggi bila dibiarkan tumbuh. Dalam satu pohon Sialang, dapat berisi lebih dari 15 sarang lebah hutan yang dapat menghasilkan 5-10 liter madu per sarangnya.

<p>Gambar 3. Pak Icam sedang membuat tanda larangan menebang Foto oleh Thontowi Suhada</p>

Gambar 3. Pak Icam sedang membuat tanda larangan menebang Foto oleh Thontowi Suhada

Melihat kondisi tersebut, Pak Wafisri dan Pak Icam berinisiatif membuat penanda larangan dari papan kayu yang belum terangkut oleh pembalak liar. Berbekal spidol dan cat, mereka menuliskan “Dilarang Membuka Lahan/Hutan Ini Karena Ada Pohon Sialang Yang Dilindungi”. Inisiatif ini sangat menarik, karena di sini kami melihat contoh kecil bagaimana perangkat desa dan masyarakat adat bekerja sama menjaga hutan di wilayah mereka.

Perambahan hutan dan alih fungsi lahan yang tidak berkesinambungan sebenarnya adalah hasil dari pembiaran dan absennya penegakan hukum yang menahun. Sebagai pemangku kepentingan terdekat dengan hutan, pemerintah desa dan pemangku adat memiliki potensi yang sangat tinggi untuk menjaga kelestarian hutan dan tata guna lahan yang berkelanjutan. Bila dikembangkan dan diarahkan dengan baik, kerja sama antar dua pihak ini dapat menjaga hutan dari dua sisi, baik legal formal, maupun hukum adat. Namun bila pembiaran ini terus terjadi, tinggal menunggu waktu saja sebelum bukit dan hutan ini hilang dan berubah menjadi perkebunan.