Artikel ini awalnya terbit di TechCrunch.


Pada akhir September, London menjadi berita utama ketika pemerintah kota mengeluarkan kebijakan yang membatalkan izin operasi Uber, aplikasi transportasi daring (online) populer. Pemberitaan yang sangat masif dan lengkap setelah keputusan tersebut dikeluarkan terang saja menjadi sebuah pertanda, bahwa saat ini kita sedang berada di titik penting revolusi mobilitas perkotaan.

Popularitas transportasi daring, jaringan berbagi mobil dan sepeda, dan aplikasi perencana perjalanan serta berbagai layanan inovatif lainnya yang mengandalkan perkembangan terkini dalam hal komunikasi mobile, pembayaran tanpa uang tunai, dan pemantauan jarak jauh menjadi semakin besar di seluruh dunia. Para penggunanya mengapresiasi — dan di beberapa tempat bahkan telah mulai bergantung pada — kenyamanan dan fleksibilitas yang ditawarkan layanan-layanan tersebut di berbagai tingkatan harga. Berbekal smartphone dengan fitur dasar, pengguna dapat berangkat ke tempat kerja, tempat rekreasi, atau ke bandara pada pukul 5 pagi semudah mengetukkan jari ke layar.

Akan tetapi, dihadapkan dengan gelombang baru pilihan layanan transportasi yang dimungkinkan oleh teknologi jaringan dan mobile, pemerintah-pemerintah kota mulai mengalami kesulitan menyesuaikan diri. Para kritikus dengan tepat mengemukakan bahwa isu-isu yang berkaitan dengan peraturan, keselamatan, dan kemacetan masih jauh dari penyelesaian. Lebih lanjut lagi, meskipun valuasi senilai miliaran dolar AS atau potensi tenaga kerja yang masif menjadi berita utama yang menarik, hal-hal tersebut malah mengaburkan kemungkinan nyata dari revolusi mobilitas perkotaan.

Sederhananya: mobilitas baru merupakan perkembangan yang cukup menarik dengan sendirinya, tetapi apabila pemanfaatannya lebih efektif dan digabungkan dengan pilihan transportasi yang telah ada, potensinya dapat menjadi benar-benar transformatif.

<p>Kereta bawah tanah di Vancouver. Flickr/Ted McGrath</p>

Kereta bawah tanah di Vancouver. Flickr/Ted McGrath

Tentu saja, ada peluang yang jelas untuk mengintegrasikan layanan mobilitas baru ini ke dalam sistem transportasi perkotaan yang ada agar transportasi menjadi lebih terjangkau, nyaman dan ramah lingkungan untuk semua. Telah ada lebih dari 70 kota yang bermitra dengan layanan mobilitas pribadi baru untuk mendorong layanan angkutan umum, sekaligus mengurangi tekanan kenaikan biaya angkutan umum, penuaan aset, dan mengatasi peningkatan pesat pengguna layanan transportasi.

Kota-kota beserta penduduknya dapat menuai manfaat dari layanan mobilitas baru — jika mereka dapat memahami dan menghindari potensi kegagalan. Dalam survei global pertama mengenai layanan mobilitas baru yang dirintis oleh Koalisi untuk Transisi Perkotaan (Coalition for Urban Transitions), analisis terbaru menunjukkan bagaimana kota dapat mengevaluasi pilihan mobilitas baru dan mengintegrasikannya ke dalam sistem transportasi perkotaan mereka. Ada tiga aplikasi spesifik yang bisa mendapatkan keuntungan dari kolaborasi semacam ini.

Layanan mobilitas baru berpotensi melengkapi angkutan umum, namun juga dapat memperparah kemacetan lalu lintas, menyebabkan lebih banyak kecelakaan lalu lintas dan polusi udara, serta berbagai efek tak diinginkan lainnya jika tidak dikelola dengan baik.

Pertama, bermitra dengan para pengembang aplikasi perencanaan perjalanan dan pembelian tiket dapat menawarkan sebuah platform terpadu untuk merencanakan dan membayar berbagai jenis angkutan bagi para pengguna. Hal ini akan mempermudah penumpang untuk mengakses moda transportasi yang paling mudah, menarik atau hemat biaya — semua melalui satu perangkat. Aplikasi GoLA, misalnya, membantu penduduk Los Angeles membandingkan biaya, waktu, kalori yang terbakar dan emisi yang disimpan untuk berbagai pilihan transit mulai dari bersepeda hingga naik bus dan mobil pribadi. Aplikasi ini mencakup sebanyak 24 penyedia layanan transportasi, dan bahkan beberapa layanan telah memungkinkan pembayaran melalui aplikasi tersebut.

Kedua, mengintegrasikan minibus listrik on-demand yang dioperasikan secara pribadi dengan bentuk angkutan umum lainnya dapat membantu kota-kota mempertahankan atau memperluas jangkauan ke wilayah-wilayah yang belum terlayani dan pada saat yang sama menurunkan biaya layanan. Minibus memainkan peran penting di banyak kota yang tumbuh cepat, dan perusahaan seperti RideCell dan TransLoc menawarkan platform pemberi rute yang dapat digunakan agen transit untuk menjalankan armada on-demand mereka sendiri. Melakukan hal itu akan memberi kota kemampuan untuk mengubah rute dan kapasitas dengan cepat sesuai dengan fluktuasi permintaan penumpang.

Ketiga, memberikan subsidi untuk kendaraan angkutan bersama (ride-sharing) dari dan menuju pusat transit di tempat-tempat di mana penduduk mungkin tidak memiliki akses yang baik terhadap pilihan transit, termasuk penduduk berpenghasilan rendah atau individu penyandang cacat. Beberapa program semacam ini sudah mulai beroperasi. Sebagai contoh, sebuah kota di New Jersey diperkirakan dapat menghemat sebesar 5 juta dolar AS selama 20 tahun ke depan dengan memberikan subsidi untuk kendaraan angkutan bersama alih-alih membangun lebih banyak tempat parkir di dekat stasiun kereta.

Layanan mobilitas baru berpotensi melengkapi angkutan umum, namun juga dapat memperparah kemacetan lalu lintas, menyebabkan lebih banyak kecelakaan lalu lintas dan polusi udara, serta berbagai efek tak diinginkan lainnya jika tidak dikelola dengan baik. Di samping itu, perhatian lebih harus diberikan untuk memastikan bahwa layanan mobilitas baru dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Akan tetapi, secara keseluruhan, mengintegrasikan layanan-layanan mobilitas baru tersebut dengan benar ke dalam sistem transit yang ada adalah peluang yang harus dimanfaatkan para pemerintah kota. Saat ini mungkin kita masih berada pada masa awal revolusi mobilitas baru, tetapi daripada melarang masa depan, kita sebaiknya harus lebih kreatif dalam memanfaatkannya.