Kiriman blog ini adalah bagian pertama dari seri Struggle for Land series oleh WRI.

Sepuluh tahun yang lalu, pemerintah Kamboja memberikan sekitar 20.000 ha lahan kepada sebuah perusahaan Thailand untuk menanam tebu. Namun ternyata lahan tersebut bukan lahan kosong.

Terdapat 600 keluarga hidup di sana. Mereka menanam padi dan sayuran, serta mencari makan dan bahan-bahan baku lainnya dari hutan masyarakat sekitar. Beberapa tahun kemudian, perusahaan tersebut memangkas lebih dari setengah hutan. Ketika melakukan penggusuran, para pekerja dan petugas keamanan menjarah sawah dan menghancurkan atau membakar lebih dari 300 rumah. Banyak orang kehilangan tanah dan seluruh harta benda mereka. Tidak dapat bertani dan membayar biaya sekolah, banyak orang tua yang mengirim anak-anak mereka ke Thailand untuk bekerja.

Penduduk desa mencoba meminta ganti rugi melalui gugatan kelompok. Sayangnya, penggantian yang akan mereka dapatkan untuk kerugian mereka akibat kerusakan hutan, rumah yang hancur dan kehidupan masyarakat yang terganggu jika gugatan tersebut berhasil tidak signifikan.

<p>Penduduk desa di Kamboja kehilangan rumah, tanah dan mata pencaharian mereka karena perkebunan tebu. Foto oleh gaetanku/Flickr</p>

Penduduk desa di Kamboja kehilangan rumah, tanah dan mata pencaharian mereka karena perkebunan tebu. Foto oleh gaetanku/Flickr

Bagi 2,5 miliar orang yang hidup di tanah adat, cerita ini adalah hal biasa. Pada dasarnya, lahan yang sangat penting untuk mata pencaharian masyarakat adat ini dilindungi oleh undang-undang hak asasi manusia serta standar sosial dan lingkungan internasional: Masyarakat Adat tidak boleh direlokasi dari tanah mereka tanpa persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksanaan, serta hak tanah adat tidak resmi harus dihormati. Prinsip-prinsip ini telah diadopsi oleh berbagai hukum nasional. Sayangnya, karena banyak masyarakat yang tidak memiliki hak hukum atas lahan mereka, pemerintah menganggapnya lahan kosong dan mengalokasikannya kepada beberapa perusahaan. Korporasi dan instansi lain dapat menganggap lahan itu tidak bertuan atau tidak terurus.

Kenyataannya, tanah masyarakat merupakan tulang punggung kehidupan di pedesaan. Kehilangan tanah—entah karena konflik, proyek infrastruktur, investasi swasta atau bencana alam—akan berakibat buruk, termasuk:

Kehilangan Mata Pencaharian

Masyarakat bergantung pada lahan kolektif untuk pertanian, penggembalaan ternak dan air. Lahan tersebut menyediakan bahan pangan utama seperti ikan, binatang buruan, madu dan sayur mayur serta tanaman obat, bahan bakar dan bahan bangunan. Ketika masyarakat kehilangan tempat tinggal dan tidak memiliki akses kepada sumber daya tersebut, mereka tidak dapat melakukan kegiatan pertanian atau peternakan tradisional, seperti membiarkan lahan tidak ditanami, karena lahan tidak mencukupi. Akibatnya, ketahanan pangan menurun dan sumber air semakin langka.

Perusahaan atau pemerintah bisa saja menjanjikan pekerjaan dan layanan sosial untuk masyarakat telantar, namun hal tersebut jarang terwujud. Proyek pemerintah memang banyak membuka lapangan pekerjaan saat tahap awal (untuk membuka lahan atau membangun infrastruktur), namun tidak dalam jangka panjang. Para petani kecil yang kehilangan lahan untuk proyek-proyek yang lebih besar mengalami kerugian pendapatan bersih sekitar 28 persen hingga 75 persen.

Proyek transmigrasi biasanya tidak bisa mengganti kehilangan sumber pendapatan semacam itu. Pengalaman masyarakat Mozambik, yang dipindahkan dari kawasan lindung sering terjadi. Di lokasi yang baru, mereka tidak memiliki lahan yang memadai, baik untuk bertani maupun berternak, sementara pekerjaan yang dijanjikan tak kunjung datang. Mereka malah harus membayar untuk air dan makanan, yang sebelumnya bisa mereka peroleh gratis dari lahan sendiri. Hal yang sama juga terjadi di Zambia. Penduduk yang telantar akibat pertanian komersial melaporkan bahwa lahan baru mereka tidak subur, mereka kehilangan akses untuk memperoleh ikan dan hewan buruan, sementara bantuan pangan dari pemerintah tidak mencukupi.

Meningkatnya Risiko Konflik

Relokasi penduduk menimbulkan tekanan baru pada lahan dan sumber daya di sekitar pemukiman, menyebabkan persaingan dan risiko konflik meningkat. Akibatnya, ketegangan antar penduduk mungkin terjadi atau memperkeruh masalah yang lebih besar di tengah konflik kekerasan seperti yang terjadi pada pemilu 2008 di Kenya, di mana keberatan masyarakat akan relokasi dan pengerusakan lahan memicu kekerasan antar partai politik.

Sementara itu, dua pertiga dari perselisihan antara investor dan masyarakat di Afrika terjadi karena masyarakat dipindahkan dari lahan mereka. Sebuah studi atas 174 perusahaan kelapa sawit di Indonesia menunjukkan bahwa sengketa tanah merupakan faktor utama yang menyebabkan konflik sosial. Pada beberapa kasus, konflik-konflik ini disertai oleh pertikaian antara penduduk setempat dengan petugas keamanan, ancaman dan pembunuhan aktivis masyarakat, atau perselisihan sengit terutama ketika polisi atau tentara militer turun tangan melakukan penggusuran paksa terhadap masyarakat setempat.

<p>Perkebunan kelapa sawit di sekitar Bengkulu, Sumatera. Foto oleh James Anderson/WRI</p>

Perkebunan kelapa sawit di sekitar Bengkulu, Sumatera. Foto oleh James Anderson/WRI

Hilangnya Identitas dan Kebudayaan

Bagi masyarakat pada umumnya, terutama Masyarakat Adat, tanah merupakan sumber identitas dan budaya yang sama pentingnya dengan sumber ekonomi. Pemindahan pemukiman dapat mengganggu struktur dan tradisi masyarakat serta hilangnya situs-situs sakral dan budaya. Faktor-faktor tak kasat mata seperti ini tidak dapat tergantikan: Sebuah perusahaan tambang di Peru setuju untuk membangun tempat pemukiman bagi masyarakat adat yang direlokasi. Memperhatikan kepentingan masyarakat yang direlokasi, kota ini dilengkapi dengan jalan beraspal serta sistem pipa dan listrik. Praktik seperti ini jarang sekali dilakukan. Tiga tahun kemudian, penduduk mengeluhkan penurunan pekerjaan dan hilangnya tradisi yang selama ini dijunjung. Tingkat kecanduan alkohol meningkat dan, dalam satu tahun, empat penduduk tewas bunuh diri dengan mengonsumsi pupuk kimia. Menurut salah satu mantan petani, para penduduk merasa mereka seperti terkurung “di dalam sangkar.”

Begitu juga di Kanada dan Brazil, Beberapa antropolog mengaitkan tingginya angka bunuh diri masyarakat adat tertentu dengan hilangnya sejumlah lahan asli. Di Australia, Masyarakat Adat yang tinggal di lahan mereka sendiri memiliki tingkat harapan hidup 10 tahun lebih lama dibandingkan mereka yang direlokasi. Sementara di Ekuador, setelah tentara militer berhasil menggusur paksa sebuah desa untuk lahan tambang, para psikiater mencatat permasalahan kesehatan mental pada 42 persen penduduk desa, terutama anak-anak yang mengalami trauma akibat suara helikopter militer.

<p>Penggantian lahan dan pemukiman kembali biasanya memiliki dampak yang lebih besar bagi perempuan. Foto oleh SEMARNAT/Flickr</p>

Penggantian lahan dan pemukiman kembali biasanya memiliki dampak yang lebih besar bagi perempuan. Foto oleh SEMARNAT/Flickr

Kerusakan Lingkungan dan Sosial yang Lebih Luas

Penggusuran dari lahan adat juga dapat memperburuk isu kesenjangan. Kelompok masyarakat yang terpinggirkan menghadapi kemungkinan penggusuran yang lebih besar dan umumnya tidak mampu menuntut hak-hak mereka. Di India contohnya 40 persen masyarakat yang mengalami penggusuran karena proyek pengembangan merupakan masyarakat adat, meskipun mereka hanya 8 persen dari total populasi. Penggusuran memiliki dampak yang lebih besar bagi perempuan, terutama mengingat penggunaan lahan kolektif tidak terlalu dipertimbangkan saat relokasi.

Terlebih lagi, akuisisi lahan skala besar yang mengakibatkan terjadinya penggusuran, pada umumnya adalah proyek pertanian dan pertambangan, yang membutuhkan air dalam jumlah besar atau menyebabkan deforestasi. Di sisi lain, Masyarakat Adat dan pedesaan pada dasarnya adalah penjaga lingkungan yang baik. Contohnya, menanggapi penebangan yang menghancurkan hutan mereka, masyarakat adat Huay Hin Lad Nai di Thailand membangun sistem penggunaan lahan dan hutan berkelanjutan, termasuk membuat aturan pemulihan hutan dan pelestarian praktik-praktik tradisional.

<p>Penduduk desa di Chatikona, India. Foto oleh Rita Willaert/Flickr</p>

Penduduk desa di Chatikona, India. Foto oleh Rita Willaert/Flickr

Intinya, perubahan bisa dilakukan. Alih-alih melakukan penggusuran, proyek dapat mengikutsertakan masyarakat agar dapat mengakomodasi berbagai penggunaan lahan dengan lebih baik dan menghindari penggunaan sumber daya alam secara berlebihan. Masyarakat tentu paham betapa pentingnya keberadaan lahan mereka dan dapat mencari cara-cara yang lebih kreatif untuk melindunginya.


Simak serial blog ini dalam beberapa minggu ke depan, untuk memahami lebih dalam tantangan dan solusi bagi masyarakat dalam memperjuangkan lahannya.