Aceh merupakan rumah bagi hutan hujan utuh terakhir di Sumatera, tempat tinggal spesies penting asli Indonesia seperti harimau, gajah, orangutan dan badak. Sayangnya, menurut data, Global Forest Watch kejadian kehilangan tutupan pohon di Aceh pada tahun 2001 hingga 2016 tercatat sebesar 560.249 hektar, setara dengan 8 kali luas wilayah Jakarta. Namun belakangan, tingkat deforestasi di Aceh mulai menurun, seiring dengan meningkatnya kebijakan lingkungan hidup yang dikeluarkan pemerintah. Kesempatan ini perlu dimaksimalkan dengan penggunaan sistem pengawasan Near-Real-Time (NRT) untuk memberantas deforestasi di daerah tersebut.

<p>Sumber: dianalisis bersama Global Forest Watch</p>

Sumber: dianalisis bersama Global Forest Watch

Penurunan Tingkat Deforestasi setelah Moratorium Hutan

Pemerintah Indonesia dan Aceh telah menetapkan sejumlah kebijakan lingkungan hidup sebagai salah satu wujud komitmennya kepada perlindungan hutan, termasuk pembangunan Ekosistem Leuser sebagai inisiatif pemerintah untuk melindungi lanskap paling penting di Aceh. Terletak di utara Pulau Sumatera dengan luas 2,6 juta hektar, Ekosistem Leuser merupakan hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Hutan Amazon dan Zaire yang terdiri dari hutan hujan dataran rendah, rawa gambut, padang rumput dan hutan pegunungan. Ekosistem Leuser juga terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO dan Kawasan Strategis Nasional karena Fungsi Perlindungan Lingkungan yang dimilikinya. Untuk mendukung sederet upaya tersebut, pemerintah nasional memberlakukan moratorium untuk mencegah penerbitan izin di kawasan hutan primer. Pemerintah Aceh menindaklanjuti kebijakan tersebut dengan menetapkan tiga moratorium terkait izin usaha penebangan, perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.

Moratorium tersebut terbukti cukup efektif dalam menekan tingkat deforestasi di Aceh. Menurut GeRAK Aceh, sebuah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) terkait pengawasan korupsi setempat, penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) telah menurun dari 138 IUP untuk kawasan seluas 841.000 hektar di tahun 2014 menjadi 37 IUP untuk kawasan seluas 156.000 hektar di tahun 2017. Tingkat deforestasi juga ikut menurun. Berdasarkan analisis HAkA, tahun 2016-2017 merupakan mencatatkan tingkat deforestasi paling rendah sepanjang masa di tingkat 17.820 hektar. Dalam periode yang sama, tingkat deforestasi Ekosistem Leuser juga menurun sebesar 7.066 hektar dari 13.700 hektar di tahun 2015.

Meskipun hasilnya telah terlihat, kebijakan lingkungan hidup yang ada saat ini dinilai masih belum mencukupi. Deforestasi tidak hanya disebabkan oleh sektor industri ekstraktif seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, tetapi juga perkembangan praktik pertanian atau perkebunan skala kecil yang terjadi dimana-mana secara cepat dan sulit dipetakan. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem pengawasan yang cepat tanggap bila kita ingin melangkah maju dalam menghentikan deforestasi.

Sistem Pengawasan Hutan Near-Real-Time

Pengawasan hutan cepat tanggap dapat dilakukan lebih efektif dengan sistem Near Real Time (NRT), termasuk GLAD Alerts, peringatan deforestasi mingguan yang dikembangkan oleh University of Maryland dan tersedia di aplikasi Global Forest Watch serta Forest Watcher Dengan akses gratis dan mudah, aplikasi ini membantu masyarakat terlibat lebih jauh dalam upaya pengawasan hutan.

<p>Pelatihan Global Forest Watch, Aceh, 28 Februari-2 Maret 2018. Foto: Umi Purnamasari/WRI Indonesia</p>

Pelatihan Global Forest Watch, Aceh, 28 Februari-2 Maret 2018. Foto: Umi Purnamasari/WRI Indonesia

Sejak awal tahun 2018, HAkA dan WRI Indonesia telah menyelenggarakan pelatihan terkait pengawasan hutan dengan Global Forest Watch dan Forest Watcher bagi pejabat pemerintah, polisi hutan dan OMS setempat, terutama pihak-pihak yang terlibat langsung dalam patroli hutan. Selama pelatihan, kami melihat belum ada sistem untuk membantu mereka mengidentifikasi kawasan yang baru terpapar deforestasi. Oleh karena itu, kebanyakan kawasan deforestasi sudah benar-benar gundul ketika mereka temukan. GLAD Alerts, alat pendeteksi kawasan deforestasi melalui satelit, dapat mengirimkan informasi indikasi kehilangan tutupan hutan melalui notifikasi Global Forest Watch dan Forest Watcher. Selanjutnya, petugas patroli hutan dipandu untuk memeriksa kawasan gundul yang dimaksud dan mengidentifikasi penyebabnya. Dengan demikian, deforestasi dapat dikendalikan lebih awal sebelum terlambat.

Kebijakan nasional dan daerah terkait pengendalian deforestasi juga harus didukung oleh jalinan kerja sama yang lebih erat antara pemerintah, polisi, polisi hutan dan OMS, terutama untuk mendukung penegakan hukum. Di Aceh, penegakan hukum terkait deforestasi masih bergantung pada laporan langsung dari masyarakat dan OMS. Dengan sistem pengawasan kawasan hutan near-real-time yang masih terbatas, penegak hukum kesulitan menangani kasus deforestasi secara efektif meskipun Unit Penegakan Hukum – penegak hukum khusus hutan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan – telah dibentuk. Dengan tersedianya sebuah sistem pengawasan, masyarakat dapat melaporkan deforestasi di hutan terdekat kepada polisi hutan sebagai bukti untuk menangkap pelaku yang merusak hutan. HAkA dan Forum Konservasi Leuser (FKL), contohnya, dua OMS di Aceh yang sebagian besar beroperasi di Ekosistem Leuser, telah menunjukkan peningkatan dalam kegiatan pengawasan hutan. Menggunakan GLAD Alerts sebagai peta pengawasan utama, mereka dapat mengidentifikasi kawasan yang terpapar deforestasi untuk dilaporkan kepada polisi. Dengan data kebakaran dari Global Forest Watch, HAkA dan FKL juga dapat mengidentifikasi kebakaran di kawasan lindung dan pada akhirnya dapat membantu penangkapan pembakar hutan.