Berpikir Jangka Panjang dalam Pembangunan akan Melindungi Hutan
Artikel ini diterbitkan oleh The Jakarta Post pada tanggal 29 Mei 2020.
Salah satu prioritas Presiden Joko Widodo pada masa jabatannya yang kedua tetap berfokus pada upaya untuk meningkatkan investasi bagi pembangunan infrastruktur di seluruh nusantara: membangun lebih banyak jalan tol, pelabuhan, dan bandara untuk mendukung pertumbuhan industri dan ekonomi.
Pemerintah wajib berinvestasi secara bijaksana mengingat kebutuhan fiskal yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19. Idealnya, hutan diintegrasikan ke dalam rencana jangka panjang yang berkaitan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan mata pencaharian dalam iklim yang berubah.
Kertas kerja baru yang diterbitkan oleh World Resources Institute (WRI) menganalisis implikasi dari strategi iklim jangka panjang, yang melampaui periode umum yakni 5-10 tahun, bagi Indonesia.
Penggeseran cakrawala perencanaan ke pertengahan abad - sesuai dengan yang disarankan Perjanjian Paris tentang perubahan iklim kepada negara-negara - mengubah jenis investasi dan pembangunan infrastruktur yang menjadi visi Indonesia.
Secara khusus, investasi dalam infrastruktur fisik harus dilengkapi dengan strategi untuk memelihara dan melindungi infrastruktur alami Indonesia, terutama hutan. Indonesia memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Hutan-hutan tersebut menyediakan barang dan jasa lingkungan dalam jumlah signifikan yang secara langsung menjadi sumber mata pencaharian bagi puluhan juta penduduk, termasuk masyarakat termiskin di Indonesia. Sayangnya, manfaat semacam ini seringkali tidak terlihat dan tidak dihargai hingga tidak lagi tersedia karena hutan dikonversi untuk tata guna lahan lainnya.
Integrasi infrastruktur alami Indonesia ke dalam strategi investasi jangka panjang akan memberikan setidaknya tiga manfaat.
Pertama, penyusunan kerangka kerja jangka panjang untuk pengelolaan dan tata guna lahan akan melindungi ekonomi dan masyarakat Indonesia dari kerugian di masa mendatang.
Rencana relokasi ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan yang diumumkan oleh Presiden Jokowi adalah contoh penting yang memperlihatkan biaya tinggi yang timbul dari kegagalan berinvestasi pada pemeliharaan infrastruktur alami. Hutan mangrove di pesisir, daerah aliran sungai di dataran tinggi yang berhutan utuh, dan penambahan ruang hijau di dalam kota akan membantu mengendalikan banjir yang membuat warga Jakarta kesulitan dan mendorong pelaksanaan langkah-langkah yang diusulkan.
Di sisi lain, kebakaran hutan dan kabut asap yang melanda Indonesia tahun lalu merupakan yang terburuk sejak tahun 2015. Walaupun investasi pada peralatan pemadam kebakaran tentunya diperlukan, dalam jangka panjang kita perlu beralih dari pemadaman kebakaran ke pencegahan kebakaran, termasuk menyediakan insentif fiskal untuk reboisasi dan restorasi lahan gambut Indonesia yang terdegradasi.
Strategi investasi di sektor lahan dan sektor lainnya yang berisiko mempercepat kehilangan dan degradasi hutan juga perlu dipikirkan kembali terkait upaya pencegahan dalam jangka panjang. Sebagai contoh, manfaat ekonomi dari produksi minyak kelapa sawit Indonesia - rata-rata 11 persen per tahun selama satu dekade sejak tahun 2004 - berkurang setelah memperhitungkan dampak ekologis dari perluasan perkebunan kelapa sawit, seperti kenaikan suhu, cuaca yang lebih kering, peningkatan risiko kebakaran, dan penurunan permukaan tanah di area lahan gambut.
Selain itu, desain infrastruktur fisik harus meminimalkan dampak langsung dan dampak tidak langsung terhadap hutan. Misalnya, pembangunan jalan melalui hutan dapat memfasilitasi pembalakan liar dan menimbulkan fragmentasi yang meningkatkan kerentanan terhadap kebakaran. Kegagalan upaya lintas sektoral pun akan menimbulkan kerugian yang besar.
Kedua, Indonesia dapat membangun ketahanan terhadap iklim di masa mendatang melalui pemeliharaan dan pemulihan ekosistem tata guna lahan dari saat ini.
Laporan *Global Risk 2019 *dari World Economic Forum menyebutkan bahwa tiga ancaman paling serius bagi dunia saat ini adalah cuaca ekstrem, bencana alam besar, dan kegagalan untuk mengatasi krisis iklim. Di Indonesia, perubahan iklim diperkirakan akan menimbulkan cuaca ekstrem yang lebih intens dan lebih sering terjadi, seperti hujan deras dan gelombang badai yang disertai oleh kenaikan permukaan laut yang lambat dan masa kekeringan yang kronis.
Frekuensi dan tingkat keparahan banjir di Indonesia telah meningkat dalam satu dekade terakhir karena perubahan iklim, kondisi ini memengaruhi masyarakat di kota-kota pesisir, wilayah delta, dan pulau-pulau kecil.
Selain menyediakan jasa ekosistem seperti air bersih untuk keperluan minum, sanitasi, irigasi untuk pertanian, dan pembangkit listrik tenaga air, hutan juga menjadi faktor kunci dalam pencegahan bencana. Daerah aliran sungai yang berhutan mengurangi banjir dan longsor, hutan mangrove melindungi makhluk hidup dan harta benda dari badai pesisir, hutan pedalaman menurunkan suhu dan curah hujan yang ekstrem serta mengurangi dampak terhadap pertanian dan kesehatan. Selain itu, sebuah studi terbaru dari Universitas Stanford menemukan bahwa perlindungan hutan akan mengurangi kemungkinan penularan penyakit zoonosis, yang ditularkan hewan ke manusia, seperti COVID-19.
Ketiga, dengan berinvestasi pada upaya pengurangan emisi berbasis lahan yang berbiaya rendah dari sekarang, Indonesia tidak perlu memilih opsi mitigasi yang lebih mahal dan lebih mengandalkan teknologi di masa mendatang.
Pada bulan Oktober 2017, Indonesia mengumumkan rencananya untuk beralih ke pembangunan rendah karbon yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024. Indonesia harus menerapkan langkah-langkah mitigasi perubahan iklim yang lebih ambisius untuk mewujudkan transisi ke ekonomi rendah karbon. Laporan Khusus tentang Perubahan Iklim dan Lahan Tahun 2019 yang diterbitkan oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB menyebutkan bahwa prioritas tertinggi untuk mengurangi emisi idealnya dilakukan dengan melindungi hutan penyerap emisi karbon, lahan gambut, dan hutan bakau yang tak tergantikan.
Indonesia harus melihat hutan sebagai aset utama untuk menarik pendanaan iklim internasional, selain sebagai penyerap emisi karbon yang dihasilkan. Indonesia baru-baru ini memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pembayaran berbasis hasil senilai 56 juta dolar AS atau lebih dari Rp840 miliar melalui perjanjian dengan Norwegia sebagai bagian dari upaya global untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, disertai dengan pengelolaan hutan lestari, serta konservasi dan peningkatan cadangan karbon hutan (REDD+). Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) merupakan kerangka kerja yang ditetapkan di bawah UNFCCC sebagai mekanisme yang dapat digunakan oleh negara-negara industri untuk memberikan insentif bagi negara-negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi berbasis hutan dan meningkatkan penyerapan.
Selain itu, seperti yang tercermin dari perselisihan perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa terkait penggunaan biodiesel berbasis minyak sawit sebagai bahan bakar terbarukan, kesadaran pasar global untuk memastikan rantai pasok komoditas bebas deforestasi semakin meningkat. Manfaat tambahan dari perencanaan jangka panjang untuk melestarikan infrastruktur alami adalah bahwa Indonesia dapat menjadi pemasok yang dipilih oleh negara-negara tersebut. Hutan Indonesia sangat penting bagi masyarakat, khususnya dalam sektor ketahanan pangan, produksi pertanian, kesehatan, keamanan, dan mata pencaharian.
Saat kita membahas tentang investasi pada infrastruktur, kita seharusnya tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek, melainkan pada investasi untuk mewujudkan pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan dan adil bagi generasi yang akan datang.
Frances Seymour is distinguished senior fellow at World Resources Institute (WRI), Nirarta Samadhi is director of WRI Indonesia and Hanny Chrysolite is a former analyst of WRI Indonesia.