Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di Koran Jakarta pada 15 Maret 2019.

Diskursus lingkungan pada debat capres kedua lalu terpecah ke dalam beberapa topik di sejumlah sektor. Namun begitu, perubahan iklim sebagai masalah penting tidak disinggung sama sekali. Masalah lingkungan seperti perubahan iklim disebabkan sebagai persoalan lintas sektoral dan menyebabkan dampak kompleks seperti banjir, kekeringan, dan gagal panen. Permasalahan lingkungan harus dibahas dalam kerangka konsep sustainability yang mempertimbangkan trade off antarsektor.

Sustainability adalah sebuah proses menjaga arah pembangunan dalam koridor ketahanan lingkungan di mana eksploitasi sumber daya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi dan institutsi dalam tujuan mendukung pembangunan berkelanjutan. Komitmen terhadap sustainability membutuhkan strategi tata kelola ekosistem. Strategi ini mengatur empat jenis jasa ekosistem, sebagai penyedia produski pangan, air, dan energi, menjaga iklim, mendukung siklus nutrient, oksigen, serta fungsi kultural.

Di bawah pemerintahan saat ini, setidaknya sudah ada dua capaian yang mendukung sustainability. Pertama, penurunan jumlah kebakaran hutan hingga 95 persen dan pengurangan laju deforestasi hingga 60 persen, sejak 2015. Kedua, program Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria berkontribusi mengurangi dominasi penguasaan lahan oleh korporasi dan berpindah ke masyarakat, seluas 2,5 juta hektare. Tugas bagi presiden selanjutnya membuat capaian ini berlanjut dan meningkat.

Yayasan Madani Berkelanjutan (YMB) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengaji komitmen lingkungan kedua capres dari visi misi mereka. Keduanya menemukan, Jokowi punya 20 persen program terkait lingkungan dan Prabowo 17,6 persen. Selisih kedua calon relatif tipis. Namun, sejauh mana mereka memahami keterkaitan antarprogram-program lingkungan dalam kerangka sustainability, belum diketahui.

Dalam visi misi Jokowi, komitmen terhadap lingkungan ditemui pada poin pembangunan yang merata, keberlanjutan lingkungan, dan perlindungan HAM. Misi keberlanjutan lingkungan mengandung program aksi tentang rencana tata ruang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim, dan rehabilitasi lingkungan. Jokowi fokus terutama memperbaiki tata kelola penggunaan lahan hutan dan gambut dengan menyediakan akses yang lebih merata Ini termasuk juga penegakan hukum. Prioritas tersebut diselaraskan dengan strategi pembangunan desa.

Sama dengan Jokowi, Prabowo juga berjanji untuk memperbaiki tata kelola hutan penegakan hukum. Capres nomor dua ini memandang reforma agraria sebagai program untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat dan mendukung produktifitas perkebunan atau industri kehutanan.

Masyarakat Adat

Terkait tata kelola hutan, Jokowi berjanji untuk melanjutkan program pada masyarakat adat untuk mendukung aspek legal, pemberdayaan ekonomi, perlindungan hukum, manajemen sumber daya berkelanjutan, dan pendidikan konservasi. Sementara itu, Prabowo tidak membahas sedikit pun terkait perlindungan terhadap masyarakat adat dalam penguasaan lahan.

Mengenai energi terbarukan, selain program biofuel, Jokowi memprioritaskan program pengembangan energi terbarukan berbasis potensi daerah. Hal ini membuka peluang untuk pengembangan desentralisasi energi. Namun ini tentu harus didukung oleh kondisi finansial dari BUMN terkait dan support regulasi terkait harga bahan bakar dan iklim investasi.

Di sisi lain, Prabowo konsisten pada pengembangan biofuel melalui penanaman aren, ubi, sagu, sorgum, dan kelapa di 10 juta hektare lahan kritis di hutan. Sayangnya, program ini tidak mempertimbangkan risiko emisi dari konversi lahan skala besar, trade off dengan ketahanan pangan dan potensi konflik lahan.

Kedua capres mestinya melihat tata kelola sumber daya alam sebagai bagian dari tata kelola jasa ekosistem. Mengelola jasa ekosistem penting untuk membangun ketahanan ekosistem yang mendukung semua jenis kehidupan. Hal ini membutuhkan pemahaman cara ekosistem merespons masalah lingkungan dalam rangka mencari solusi terintegrasi guna mendukung sustainability sistem sosio-ekologis.

Contoh, pengembangan energi terbarukan harus teriintegrasi dalam kerangka transisi energi, mitigasi perubahan iklim, dan diversifikasi ekonomi. Mitigasi perubahan iklim dapat juga dihubungkan dengan praktik pertanian berkelanjutan.

Contoh integrasi seperti tadi sulit ditemui pada visi misi kedua capres. Mereka juga tidak mempertimbangkan polusi lingkungan, sawit, konflik lahan, dan hubungan antarpersoalan-persoalan tersebut. Akar konflik agraria seringkali karena tumpang tindih regulasi agraria, hutan, dan pertanian.

Harmonisasi regulasi-regulasi tersebut dibutuhkan untuk melengkapi 51 juta hektare sertifikasi lahan oleh Jokowi saat ini. Terkait sawit, praktik pengelolaannya yang berkelanjutan juga penting bagi ekonomi dan lingkungan. Prabowo-Sandi mestinya memanfaatkan kepemilikan mereka terhadap beberapa perusahaan sawit untuk mendukung sertifikasi sawit berkelanjutan. Sementara itu, Jokowi juga seharusnya mempertimbangkan trade off antara moratorium sawit dan program biofuelnya.

Misi lingkungan Prabowo kontradiktif dengan program aksinya. Mengonversi lahan kritis menjadi hutan industri berpotensi menambah masalah ketimpangan penguasaan lahan dan masalah tumbuhan monokultur. Ketimpangan tersebut bisa memicu kembali aksi deforestasi. Prabowo harus mempertimbangkan trade off ini.

Lebih jauh, tata kelola jasa ekosistem membutuhkan transparansi terhadap informasi dan data tentang sistem perizinan, monitoring, serta evaluasi. Pemerintah sudah mewujudkannya melalui peluncuran geoportal Satu Peta. Kedua capres harus mengintegrasikan platform tersebut ke dalam program-program lingkungan.

Terakhir, tata kelola ekosistem membutuhkan kerja sama lintas sektoral. Lemahnya koordinasi dan ego sektoral harus diatasi melalui mekanisme kordinasi yang tersentralisasi. Komitmen terhadap sustainability membutuhkan kemauan politik dan kolaborasi dari semua pihak untuk mengelola jasa ekosistem menuju pertumbuhan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial.