Artikel ini awalnya dipublikasikan di The Jakarta Post

Saripah, kala itu tahun 2015 berusia 22 tahun, berkata lirih “Ibu mengapa begini, sulit sekali bernafas.” Ibunda Saripah, Siti, segera membawanya ke rumah sakit, namun anaknya wafat karena gagal paru-paru. Organ pernafasannya hitam dan kotor walaupun Saripah tidak pernah merokok. Siti mengatakan bahwa asap kebakaran lahan gambutlah yang menyebabkan anaknya tewas.

Cerita tentang Saripah dan masyarakat lainnya dapat dipelajari pada laman Yayasan Ranu Welum yang didirikan oleh anak muda Dayak, Emmanuela Shinta, untuk menggugah perhatian masyarakat luas atas bencana asap dan menyudahi kebakaran hutan dan lahan terutama di Kalimantan Tengah. Cerita tersebut adalah strategi baru untuk membawa fakta dan peristiwa ke ruang nyaman individu-individu yang peduli untuk bergerak bersama sebagai crowd untuk melakukan perubahan.

Seiring berkembangnya teknologi dan perangkat komunikasi dan informasi, gerakan masyarakat (crowd) pun tumbuh dengan memanfaatkan teknologi tersebut. Istilah urun daya (crowdsourcing) mulai diperkenalkan pada tahun 2006 oleh Jeff Howe dan Mark Robinson untuk menjelaskan suatu bisnis model berbasis situs web yang memanfaatkan solusi yang diusulkan oleh suatu jaringan individu. Saat ini, konsep urun daya telah diaplikasikan dalam berbagai bentuk, mulai dari crowdfunding seperti Kitabisa, di mana sekelompok individu menyumbangkan dana untuk mendukung projek atau isu tertentu, hingga platform yang memungkinkan individu untuk memverifikasi citra satelit untuk membantu kampanye lingkungan dan kegiatan kemanusiaan seperti Tomnod.

Berkat keterhubungan yang semakin meningkat, sangatlah mudah bagi setiap individu untuk secara kolektif memberi sumbangan terhadap suatu projek atau isu tertentu baik dalam bentuk ide, waktu, keahlian, ataupun dana. Akan tetapi, keterhubungan tersebut sepatutnya diimbangi dengan pemberdayaan yang setara antar individu.

Padahal, internet dan urun daya sejatinya dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk menjaring dan mengintisarikan aspirasi masyarakat, tetapi juga untuk mencapai pemberdayaan yang setara. Konsep ini disebut crowdempowering, yakni suatu keadaan di mana suatu wadah dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk memecahkan masalah publik yang jadi kepedulian pemilik inisiatif tetapi juga dapat digunakan bagi jaringan masyarakat yang telah teredukasi di dalam wadah tersebut untuk secara kolektif memecahkan permasalahan secara bottom-up.

Nyatanya, di era globalisasi saat ini yang cenderung memperlebar kesenjangan, crowdempowering dapat memainkan peran nyata. Platform seperti Coursera, misalnya, dapat memudahkan masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam hal lokasi, usia, dan dana untuk dapat belajar, di luar ruang kelas, melalui pendidikan terbuka. Dengan platform yang membuka ruang bagi terjadinya crowdempowering, setiap individu dapat memenuhi kebutuhannya untuk belajar dan memahami informasi yang benar dimanapun berada.

Salah satu permasalahan serius yang dapat diatasi secara kolektif melalui pendekatan crowdempowering adalah di bidang lingkungan. Deforestasi dan perubahan tata guna lahan (47.7%) dan energi (35%) berkontribusi besar bagi emisi gas rumah kaca Indonesia. Di sektor perubahan tata guna lahan, lahan gambut khususnya perlu mendapat perhatian khusus karena gambut di Indonesia menyimpan 22,5-43,5 gigaton karbon, setara dengan emisi yang dilepaskan 17-33 miliar kendaraan pribadi dalam kurun waktu satu tahun.

Ironisnya, gambut seringkali dikonversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Pada tahun 2015, lebih dari setengah (52%) kebakaran terjadi di lahan gambut, mengeluarkan emisi yang besar dan kabut asap yang berbahaya bagi masyarakat.

Di sinilah pendekatan urun daya dapat berperan sebagai fungsi pemberdayaan (crowdempowering) untuk mengedukasi dan melibatkan masyarakat dari berbagai tataran untuk bersama-sama melindungi lahan gambut. Pengalaman dan penelitian telah menunjukkan bahwa jika sistem pengelolaannya berjalan baik, urun daya dapat mencapai pemecahan masalah secara kolektif dengan hasil memuaskan. Namun, pertanyaannya adalah, bagaimana masyarakat dapat saling memberdayakan dengan pendekatan urun daya untuk mencapai tujuan secara kolektif?

Pertama, dengan memberi wadah untuk saling mengedukasi dan berbagi informasi. Sebagai contoh, Pantau Gambut (pantaugambut.id), suatu platform daring yang dibentuk oleh koalisi organisasi masyarakat sipil, memberi wadah bagi pemerintah, pelaku usaha, organisasi masyarakat sipil, dan publik untuk bersama-sama melihat perkembangan upaya perlindungan gambut yang dilakukan segenap pihak serta berpartisipasi aktif melalui sumbangan berbentuk analisis, cerita, dan pengalaman. Platform tersebut dapat dimanfaatkan sebagai wadah crowdempowering bagi masyarakat untuk saling menginformasikan keadaan gambut di lokasi masing-masing, untuk berbagi mengenai pentingnya gambut dalam konteks perlindungan lingkungan hidup, bagaimana komunitas lokal dapat memanfaatkan gambut sembari melindunginya, serta untuk menceritakan perkembangan kegiatan restorasi gambut dan tantangan yang dihadapi oleh para pihak.

Dengan adanya sebuah wadah dimana semua pihak dapat berkontribusi, masyarakat dapat mengabarkan ancaman lokal perlindungan gambut, organisasi masyarakat sipil dapat berkolaborasi mengerjakan program pemulihan gambut, dan media dapat merujuk kepada informasi akurat yang disampaikan di wadah tersebut untuk menulis berita seputar gambut. Lebih utamanya lagi, crowdempowering dapat melahirkan gagasan-gagasan solutif untuk mendukung tercapainya perlindungan dan pemulihan lahan gambut.

Kedua, dengan menumbuhkan rasa urgensi. Suatu wadah crowdsourcing tidak akan cukup untuk memberdayakan masyarakat tanpa adanya rasa urgensi dari masyarakat untuk menggunakan wadah tersebut dan memecahkan masalah bersama. Oleh karena itu, crowdempowering tidak berhenti di ranah daring (online) tetapi juga luring (offline). Pemangku kepentingan, organisasi masyarakat sipil, dan media perlu berupaya bersama mengedukasi dan merangkul masyarakat untuk peduli pada isu perlindungan lingkungan.

Ketiga, dengan merangkul masyarakat yang tidak dapat mengakses teknologi dan menyuarakan aspirasi mereka. Meskipun penetrasi internet di Indonesia terus meningkat hingga tahun 2016 di angka 20%, masih banyak masyarakat yang tidak mendapat akses terhadap internet dan teknologi, padahal mereka seringkali hidup berdampingan dengan hutan dan lahan gambut. Program peningkatan kapasitas masyarakat dapat dilakukan agar internet dan teknologi dapat digunakan secara positif dan mendorong terciptanya suatu gerakan.

Pada akhirnya, crowdempowering hanya akan berhasil jika ada itikad baik dari pemilik inisiatif untuk menginvestasikan sumber daya untuk memulai proses, menyediakan wadah yang mudah penggunaannya bagi suatu jaringan individu untuk memecahkan masalah, dan program pemberdayaan secara luring untuk meningkatkan kesadartahuan dan partisipasi masyarakat dalam isu perlindungan lingkungan. Tanpa kehadiran prasayarat tersebut, crowdempowering tinggallah suatu konsep tanpa makna dan daya.