Artikel ini awalnya dimuat di The Jakarta Post edisi cetak (5 Oktober 2017) and daring.

Perasaan bahwa “kita hidup di masa depan” dirasakan oleh banyak orang Indonesia yang bangga akan rencana pemerintah untuk mengembangkan Kendaraan Listrik (Electric Vehicle; EV). Bersama dengan Inggris, Prancis dan India, Indonesia berencana untuk melarang penjualan kendaraan berbahan bakar fosil di tahun 2040.

Langkah maju ini sejalan dengan prediksi Morgan Stanley Bank bahwa pada tahun 2050, setengah dari mobil yang beroperasi di seluruh dunia akan menggunakan tenaga baterai.

Sesungguhnya, penggunaan EV sudah hampir menjadi kenyataan. Pemerintahan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo saat ini tengah menyiapkan Peraturan Presiden mengenai EV.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan baru-baru ini mengatakan bahwa EV adalah strategi utama dalam menggenjot penggunaan energi terbarukan di bidang transportasi.

Terlihat jelas bahwa pemerintah melihat EV sebagai kesempatan untuk mewujudkan komitmennya mengurangi emisi bahan bakar fosil sebesar 29 persen pada tahun 2030, seraya meningkatkan inovasi industri otomotif.

Akan tetapi, pembahasan mengenai pengurangan emisi tersebut kurang terdengar di tengah perdebatan mengenai komponen kendaraan impor dan lokal terkait draf peraturan tentang perkembangan dan komersialisasi industri domestik.

Kita tidak boleh melupakan pertanyaan penting ini: Apakah EV memang lebih ramah lingkungan?

Sayangnya, tidak semudah itu menjawab pertanyaan ini.

EV dapat dianggap mobil nihil emisi karena tidak membakar gas dan tidak menghasilkan asap. Akan tetapi, ada polusi dalam bentuk lain yang tidak terlihat hanya dari knalpot.

Untuk mewujudkan kendaraan nihil emisi, kita harus benar-benar mempertimbangkan seluruh emisi yang ditimbulkan dari rantai pasokan dan proses manufaktur dari hulu ke hilir.

Pertama, apakah EV dapat dikatakan ramah lingkungan tergantung dari sumber tenaganya. Sumber tenaga yang akan digunakan kemungkinan besar masih berasal dari batu bara. Ketergantungan Indonesia yang luar biasa besar terhadap batu bara terlihat dari rencana pemerintah untuk menyalurkan 20 gigawatt (GW) dari kapasitas listrik 35 GW yang berasal dari 117 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang baru.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, kementerian ESDM meminta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk meningkatkan produksi batu bara dari 413 juta ton menjadi 477 juta ton.

Penggunaan batu bara sebagai sumber energi EV merupakan langkah yang kontraproduktif dalam upaya menghapus jejak karbon Indonesia. Sebagai contoh, studi oleh Tsinghua University menunjukkan bahwa di Tiongkok, EV menyumbang asap kabut dua atau lima kali lebih banyak daripada mobil berbahan bakar gas karena listriknya dihasilkan dari PLTU.

Dalam skenario di mana pembelian EV cukup tinggi dan penggunaan batu bara meningkat, manfaat EV bagi lingkungan-berkurangnya polusi dan meningkatnya kualitas udara, hanya akan dirasakan oleh masyarakat perkotaan. Sementara itu, permintaan listrik dari tenaga uap batu bara yang lebih tinggi akan mengganggu mata pencaharian masyarakat di wilayah pedesaan yang biasanya menjadi lokasi tambang batu bara dan pembangkit listrik.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Harvard University dan Greenpeace pada tahun 2015 di Makroman, Kalimantan Timur, masyarakat setempat melaporkan bahwa pencemaran air dan tanah akibat pertambangan batu bara telah merusak mata pencaharian petani. Penduduk yang tinggal di dekat PLTU Indramayu, Jawa Barat juga merasakan hal yang sama.

Kedua, dampak produksi EV juga perlu dipertimbangkan. Analisis siklus hidup oleh Norwegian University of Science and Technology menunjukkan bahwa 31 hingga 46 persen dari total emisi kegiatan produksi EV berasal dari baterai.

Ditambah dengan komponen lainnya, produksi EV saat ini lebih membahayakan lingkungan dibandingkan produksi kendaraan konvensional.

Sambil menunggu para peneliti menemukan cara inovatif untuk meminimalkan dampak kegiatan produksi, produsen EV dapat memanfaatkan energi terbarukan dalam proses produksinya. Untuk mewujudkan penggunaan EV secara luas, diperlukan peraturan terkait proses daur ulang baterai dan pengelolaan limbahnya, mengingat betapa beracun dan langkanya baterai lithium.

Indonesia sedang berada di persimpangan. Meskipun potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 287.500 megawatt (MW), penggunaannya baru mencapai 4 persen dari potensi keseluruhan. Ke depan, pemerintah dapat menggunakan pengembangan EV untuk menarik industri terbarukan untuk menghasilkan listrik terbarukan bagi kendaraan.

Menurut Lembaga Analisis Ekonomi dan Keuangan Energi (Institute for Energy Economics and Financial Analysis; IEEFA), pengembangan energi terbarukan dulunya memakan biaya produksi yang tinggi. Akan tetapi, harga energi terbarukan telah menurun sedangkan biaya energi berbahan bakar fosil terus meningkat. Pengamatan pola pasar global oleh Bloomberg New Energy Finance menunjukkan bahwa biaya listrik tenaga surya turun 90 persen sejak tahun 2009.

Pemerintah harus memasukkan ketentuan mengenai industri energi terbarukan bersama dengan industri otomotif dalam draf peraturan sebagai sinyal positif akan meningkatnya permintaan atas produsen energi terbarukan.

Perkembangan EV juga memerlukan kolaborasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memantau upaya pengurangan emisi serta Kementerian ESDM untuk memastikan kesiapan bisnis energi otomotif dalam mengakomodasi permintaan atas EV.

Selanjutnya, pemerintah perlu melakukan konsultasi inklusif dalam penyusunan draf peraturan mengenai EV yang tidak hanya melibatkan perusahaan otomotif, tetapi juga produsen energi terbarukan, ilmuwan lingkungan, wadah pemikir dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Kita membutuhkan kendaraan listrik untuk menyelamatkan lingkungan dari emisi kendaraan yang berlebihan. Akan tetapi, masa depan hijau ini tidak akan terwujud jika kita tidak menciptakan jaringan listrik hijau terlebih dahulu.