Wakil Presiden WRI Bidang Komunikasi, Lawrence Macdonald, baru-baru ini mengunjungi Indonesia untuk mempelajari keterkaitan antara hak-hak lahan dan deforestasi. Artikel ini merupakan artikel kedua dari tiga rangkaian artikel tentang para petani, perusahaan swasta, pejabat pemerintah, dan peneliti yang bekerja untuk mendukung Satu Peta.

Satu per satu, para kepala desa, dengan gaya rapi dan mengenakan batik atau kemeja polo pada acara pertemuan di kantor kecamatan, bergiliran angkat bicara dan menyampaikan keluhan mereka. Meski detilnya berbeda, kisah mereka sama: perusahaan swasta mengambil lahan mereka, dan mengubahnya menjadi perkebunan sawit. Permintaan mereka akan kompensasi pun gagal.

Duduk di bawah potret presiden dan wakil presiden Indonesia di sebuah ruang pertemuan tua yang padat di Musi Banyuasin, sebuah kabupaten terpencil di Sumatera Selatan, Pak Camat mendengarkan dengan penuh simpati. Ucapannya seraya menunjukkan bahwa beliau sudah cukup sering mendengarkan isu-isu terkait konflik lahan.

Tahun lalu, atasannya, sang Bupati, membentuk satuan tugas setempat untuk menengahi sengketa lahan. Namun, tak banyak yang berubah. Kali ini, sekelompok peneliti datang dari Jakarta dan menawarkan untuk membantu. “Saya tidak yakin bisa mengucapkan nama organisasi ini dengan benar karena namanya dalam bahasa Inggris,” ujar Pak Camat. “Orang-orang ini - dari World Research Institute - akan membantu kita menyelesaikan masalah ini.” Tim dari WRI Indonesia tersenyum sopan namun dalam hati menyimpan rasa gugup - dan alasannya bukan karena soal pengucapan.

“Kita harus berhati-hati terhadap ekspektasi masyarakat. Kita tidak diberi mandat untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan, tetapi kita ingin membantu”, kata Gita Syahrani, Manajer Komoditas & Bisnis Berkelanjutan untuk WRI Indonesia, malam itu pada pertemuan internal tim usai rapat sebelumnya. “Kami sudah menjelaskan bahwa kami ada di sini untuk belajar dan mungkin juga untuk memberikan masukan.”

Pada kenyataannya, peran para peneliti WRI ini jauh lebih kompleks dan “halus” - baik jika dibandingkan dengan harapan tinggi yang digantungkan oleh Pak Camat, maupun dengan penjelasan Syahrini yang sederhana di atas. Tim ini tengah membantu mengembangkan Kebijakan Satu Peta pemerintah Indonesia, yang bertujuan untuk mengurangi konflik dengan mengumpulkan semua klaim lahan yang saling bertentangan pada satu peta yang terpadu, serta kemudian mempertemukan para pemangku kepentingan untuk menemukan solusi.

<p>Peta adalah eskpresi kekuasaan. (WRI)</p>

Peta adalah eskpresi kekuasaan. (WRI)

Sengketa lahan merupakan hal yang umum terjadi di Indonesia, di mana dokumen atau bukti kepemilikan seringkali tidak ada atau tidak lengkap, dan peta seringkali berbeda dari satu instansi pemerintah dengan instansi pemerintah lainnya. Inilah alasan besar mengapa para petani kecil, masyarakat yang sebelumnya memegang kepemilikan atas lahan, masyarakat adat, dan pihak-pihak lainnya seringkali mengalami situasi dimana lahan mereka kemudian diambil dan digunakan oleh perusahaan besar, misalnya untuk produksi sawit, kayu, atau tambang. Terkadang instansi pemerintah yang berbeda bahkan memberikan izin usaha yang berbeda-beda dikarenakan kewenangan yang tumpang tindih.

“Ketika pemerintah pertama kali meluncurkan Satu Peta, beberapa pihak melihatnya sebagian besar sebagai isu teknis,” kata Leslie Dwyer, seorang antropolog asal AS yang membantu inisiatif Satu Peta dan telah bekerja di Indonesia selama lebih dari dua dekade. “Orang-orang berharap bahwa dengan adanya satu peta yang sama, masalah akan dapat diselesaikan. Akan tetapi, peta yang berbeda-beda ini ada karena satu alasan - peta-peta ini merupakan sebuah perwujudan dinamika kekuasaan yang kemudian dimanfaatkan oleh banyak orang. Tugas kami di sini adalah untuk menghadapi permasalahan ini.”

Pembelajaran Lokal demi Transformasi Nasional

Dimulai pada masa pemerintahan presiden sebelumnya, Satu Peta mendapatkan dorongan pada bulan Januari 2016 ketika Presiden Joko Widodo, yang juga dikenal dengan nama Jokowi, mengeluarkan kebijakan untuk mempercepat inisiatif yang sejalan dengan Nawa Cita, atau “Sembilan Harapan” yang merupakan strategi pembangunan nasional yang ia rintis, yang mendorong akses terhadap lahan bagi masyarakat luas.

Direktur WRI Indonesia, Nirarta Samadhi, atau biasa disebut dengan Pak Koni, mengatakan bahwa ia berharap penelitian yang dilakukan WRI Indonesia dapat mendukung upaya pemerintah untuk menyukseskan Satu Peta di seluruh penjuru negeri.

Pada bulan-bulan terakhir, WRI Indonesia telah membentuk tim yang terdiri dari ahli GIS, pengacara, ahli konflik, dan peneliti yang akan bekerja dengan masyarakat setempat di empat provinsi: dua provinsi di pulau Sumatera, Papua, dan Papua Barat. Pulau Papua, yang terletak di ujung timur Nusantara, memiliki wilayah hutan primer terluas di Indonesia.

Tim ini akan memanfaatkan berbagai pengalaman global yang dimiliki WRI dalam hal pemetaan, tata kelola, dan pengambilan keputusan berbasis data untuk mendukung pemerintah daerah bekerja sama dengan lembaga masyarakat sipil di akar rumput, para pemimpin desa, masyarakat adat, dan perwakilan perusahaan swasta. Di masing-masing komunitas, tim akan membantu pemerintah daerah untuk menyusun sebuah peta tunggal dan resmi sebagai basis diskusi yang berorientasi solusi.

Apakah upaya ini akan berhasil atau tidak merupakan hal yang dapat dilihat seiring berjalannya waktu.

“Kami akan terus belajar selama proses ini,” ujar Adi Pradana, Manajer Tata Kelola Inisiatif Satu Peta WRI Indonesia. “Kami berencana berbagi pengalaman dan pelajaran yang kami ambil dalam bentuk rangkaian publikasi penelitian yang dapat membantu pemerintah mewujudkan Satu Peta.”