Saat ini, pemerintah dan masyarakat Indonesia tengah menghadapi krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi virus corona. Di tengah krisis ini, sangat dimengerti bahwa tidak banyak orang yang memikirkan kondisi hutan Indonesia. Namun, sekarang adalah saatnya kita mulai mengantisipasi bagaimana respon kita terhadap krisis akan berdampak pada hutan Indonesia sebagai hutan tropis terbesar ketiga di dunia.

Hutan yang sehat memegang peran penting dalam strategi pemulihan ekonomi jangka panjang. Restorasi dan pemeliharaan infrastruktur alami seperti daerah aliran sungai berhutan dan hutan bakau memegang peran penting dalam upaya pemulihan untuk membangun masa depan yang lebih baik. Kebijakan jangka pendek sebagai respon terhadap krisis memiliki dampak jangka panjang langsung pada hutan. Kita dapat belajar dari krisis ekonomi yang dihadapi Indonesia beberapa tahun lalu, yang memiliki beberapa kesamaan dengan krisis yang kita alami saat ini.

Saat ini, kemampuan Indonesia untuk melindungi sumber daya hutan di tengah bencana ekonomi jauh lebih baik dibandingkan dengan masa-masa Krisis Ekonomi Asia di tahun 1997, karena proses demokratisasi serta kebijakan dan pengawasan hutan yang sudah lebih baik. Di tengah angka deforestasi hutan tropis dunia yang cukup mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir, tingkat deforestasi di Indonesia malah terus menurun. Salah satu faktor yang mendorong penurunan ini adalah langkah-langkah yang diambil pemerintah. Akan tetapi, dengan adanya krisis baru ini, perkembangan yang sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir akan berbalik arah jika kita tidak belajar dari masa lalu.

Berikut adalah empat rekomendasi yang perlu menjadi perhatian Indonesia – serta negara-negara lain yang harus menjaga hutannya – dalam menghadapi badai yang tengah terjadi:

  1. Sediakan alternatif sumber penghasilan sementara yang tidak mengorbankan hutan. Pada krisis ekonomi di tahun 1997, salah satu dampak pertama (namun bukan yang terparah) pada hutan diakibatkan oleh hilangnya pekerjaan masyarakat dan sumber penghidupan lainnya. Masalah ini pun berdampak pada pendapatan rumah tangga, yang diperparah dengan kekeringan yang mengakibatkan gagal panen serta kebakaran hebat yang terjadi di tahun yang sama. Tidak memiliki pilihan lain, banyak orang berpaling pada hutan untuk mencari makan dan penghasilan. Ada yang membuka lahan untuk menanam makanan atau tanaman pangan, ada juga yang semakin gencar mengumpulkan produk hutan dari rotan hingga kura-kura untuk dijual. Jika kita bisa memberikan bantuan dana sementara yang didistribusikan dengan baik bagi masyarakat desa di sekitar hutan di tengah krisis ini, mereka tidak perlu mengeksploitasi hutan untuk menyambung hidup. (Catatan per 4 Mei: Transfer dimaksud dapat berupa "pendapatan dasar" bagi penduduk di provinsi kaya hutan selama pandemi virus corona. Pendapatan dasar tersebut juga dapat dikaitkan dengan perlindungan hutan). Sama halnya di tingkat nasional, mungkin ada kecondongan untuk mengalih fungsikan hutan menjadi lahan pertanian untuk kebutuhan ekspor produk pertanian. Setelah krisis 1997, produksi kelapa sawit, kopi, dan udang meningkat tajam. Akibatnya, hutan dan masyarakat yang bergantung pada hutan menjadi korbannya.
  2. Bantuan atau stimulus korporasi untuk perusahaan-perusahaan yang berisiko terhadap keberadaan hutan harus disesuaikan dengan kepentingan publik. Pasca krisis 1997, sebuah perusahaan pulp dan kertas gagal membayar utang sebesar 13 miliar dolar AS pada tahun 2001 – jumlah gagal bayar terbesar sepanjang sejarah pada saat itu. Akibat peristiwa gagal bayar tersebut, terungkap bahwa lemahnya standar tata kelola perusahaan dan tata kelola hutan telah memungkinkan sebuah perusahaan swasta untuk mengelabui investor internasional dan masyarakat Indonesia dengan menjarah hasil hutan alam Indonesia untuk pasokan bahan mentah pabriknya. Sayangnya, perjanjian restrukturisasi yang dibuat oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengizinkan pemilik perusahaan untuk tetap memegang kendali dan meneruskan model usahanya yang tidak berkelanjutan setelah krisis berakhir. Keringanan utang yang diberikan kepada perusahaan swasta sepatutnya diberikan dengan syarat mereka mengubah model bisnis mereka agar sejalan dengan kepentingan publik dan komitmen pemerintah akan pembangunan rendah karbon. Sebagai contoh, di Jerman, lebih dari 60 perusahaan telah meminta agar penyediaan bantuan selama krisis mempertimbangkan perubahan iklim, agar krisis iklim dan krisis virus corona dapat diselesaikan bersama-sama.
  3. Pencegahan dan pengendalian kebakaran, terutama di lahan gambut, harus menjadi salah satu prasyarat bantuan yang diberikan. Pemerintah di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sedang gencar mendistribusikan bantuan darurat dalam bentuk pinjaman atau keringanan pajak untuk membantu perusahaan swasta mempertahankan karyawannya. Namun, di tengah mewabahnya penyakit pernapasan akibat Covid-19, kita harus memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang bergantung pada hutan bisa mencegah atau mengendalikan kebakaran di area konsesi mereka dan tidak memperparah krisis kesehatan dan ekonomi ini. Kebakaran besar pada 2017 memperparah krisis ekonomi pada saat itu, dan hal yang sama dapat terjadi di tahun 2020. Sebagai gambaran, kebakaran di tahun 2015 diperkirakan mengakibatkan kematian dini lebih dari 100.000 jiwa, kerugian ekonomi sebesar 16 miliar dolar AS, dan menyebabkan konflik antar negara tetangga. Pemerintah Indonesia perlu menyampaikan secara jelas bahwa perusahaan yang menerima dana bantuan diharapkan membantu upaya pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengendalikan kebakaran.
  4. Mempertahankan hukum dan peraturan yang melindungi hutan selama krisis dan pergolakan politik yang terjadi setelahnya. Krisis 1997 berujung pada kejatuhan rezim Suharto di tahun 1998, yang diikuti oleh pergolakan politik yang terus berlangsung dalam beberapa tahun setelahnya. Era ini membawa Indonesia pada demokratisasi dan desentralisasi, tetapi pada prosesnya, Indonesia dihadapkan pada perebutan kekuasaan dan lemahnya penegakan hukum yang mengakibatkan pembalakan hutan, penambangan, dan pembukaan hutan secara ilegal. Saat ini, kerangka hukum dan peraturan terkait hutan di Indonesia sudah jauh lebih baik. Pemerintah telah menerapkan moratorium konversi hutan dan lahan gambut serta mengembangkan instrumen perhutanan sosial yang memberikan pengakuan akan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan. Selain melindungi aset hutan milik negara, pemerintah juga harus memberi dukungan bagi masyarakat yang berperan melindungi hutan masyarakat dan hutan adat dalam memerangi perambahan hutan ilegal. Baru-baru ini, Kementerian Perdagangan menghapus keharusan produsen dan eksportir kayu untuk mengikuti skema dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang awalnya membuat Indonesia menjadi negara pertama yang mendapatkan izin untuk mengekspor kayu legal bersertifikasi ke Uni Eropa. Penghapusan ini berpotensi melemahkan kerangka hukum dan peraturan terkait tata kelola dan perlindungan hutan di Indonesia. Padahal, kerangka hukum dan peraturan ini seharusnya semakin diperkuat, khususnya dalam kondisi saat ini. (Catatan tambahan per 1 Mei: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa SVLK tetap akan berlaku dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan akan direvisi).

Pandemi yang terjadi saat ini memang membawa banyak dampak buruk bagi Indonesia dan negara-negara lain di seluruh dunia. Akan tetapi, menjawab krisis ekonomi dengan mengorbankan upaya Indonesia untuk memitigasi perubahan iklim bukanlah langkah yang bijak. Melindungi hutan Indonesia tidak hanya penting untuk memperlambat emisi yang mengakibatkan pemanasan global, tetapi juga berperan penting dalam upaya Indonesia beradaptasi menghadapi perubahan iklim yang sudah terjadi. Kajian ilmiah yang diterbitkan baru-baru ini menunjukkan pentingnya hutan dalam menjaga suhu agar tidak terjadi pemanasan ekstrem dan menjaga tingkat curah hujan di Indonesia. Solusi jangka pendek yang mengorbankan masa depan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi saat ini bukanlah langkah yang tepat.