Dekarbonisasi Industri, Katalisator Pencapaian Target Nol Bersih Indonesia
Peran Penting Industri dan Faktor Pendorong dalam Upaya Bersama Menuju Nol Bersih
Indonesia semakin memprioritaskan fokusnya pada ambisi iklim, yang tergambar dari Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) dengan target pengurangan emisi sebesar 31,89% tanpa syarat pada tahun 2030 dan tekadnya untuk mencapai nol bersih pada tahun 2060. Tujuan-tujuan ini tidak akan tercapai tanpa keterlibatan dan partisipasi sektor industri sebagai penghasil emisi akibat kegiatan-kegiatan pembakaran energi, proses industri, dan limbah untuk menghasilkan barang dan jasa bagi ekonomi. Emisi yang dihasilkan oleh industri diperkirakan menyumbang tiga perempat dari total emisi Indonesia pada tahun 2019. Angka ini berpotensi akan melonjak dua kali lipat pada tahun 2030, menandakan peran industri dalam upaya bersama pengurangan emisi kita.[1] Mengurangi emisi yang dihasilkan industri mampu mengubah pola produksi dan mendorong konsumsi yang berkelanjutan sehingga dapat memberikan keuntungan, baik bagi masyarakat maupun planet ini. Dalam mencapai target nol bersih, industri-industri di Indonesia, baik yang besar maupun kecil, harus menyesuaikan bisnis mereka untuk menjadi rendah karbon dan mengadopsi prinsip nol bersih.
Beberapa pemangku kepentingan kunci dalam ekosistem industri gencar mengarahkan bisnis-bisnis untuk berperan aktif dalam upaya bersama mencapai tujuan nol bersih. Pemerintah Indonesia dan pemerintah di seluruh dunia pun menyadari peran penting sektor industri dalam upaya bersama menuju nol bersih. Beberapa tuas kebijakan seperti Standar Industri Hijau (SIH), Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon, dan Peraturan OJK tentang Keuangan Berkelanjutan telah diterapkan secara nasional. Di tingkat internasional, target iklim bahkan lebih ambisius, dengan target pengurangan emisi sebesar 45% pada tahun 2030 dan pencapaian status nol bersih pada tahun 2050. Akibatnya, negara-negara lain memperkuat kebijakan perdagangan global mereka, seperti yang tercermin dalam Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon Uni Eropa (Carbon Border Adjustment Mechanism) dan biaya impor pencemar di Amerika Serikat (The US Polluter Import Fee) yang memberikan tekanan pada industri yang memiliki hubungan perdagangan yang ketat dengan negara-negara tersebut.
Perubahan perilaku konsumen juga terlihat. Menurut laporan dari First Insight (2022), sebanyak dua pertiga konsumen global bersedia membayar lebih untuk merek-merek yang berkelanjutan. Investor dan lembaga keuangan telah mengumumkan niat mereka untuk mendukung bisnis yang bergerak ke arah keberlanjutan, seperti yang dilakukan oleh HSBC dalam komitmennya dengan nilai hingga 1 triliun dollar untuk keuangan dan investasi berkelanjutan pada tahun 2030. Selain itu, ada juga Platform Pemulihan Hijau (Green Recovery Platform) ASEAN yang merupakan bagian dari komitmen ADB terhadap pembiayaan iklim hingga USD 100 miliar dengan setidaknya 75% proyek akan dialokasikan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim hingga tahun 2030. Dari sudut pandang internal, industri dapat mendapatkan manfaat dengan mengejar nol bersih karena bisnis akan lebih tangguh terhadap risiko baik dari dampak fisik krisis iklim maupun instrumen kebijakan iklim yang terus berkembangan seperti halnya pajak karbon. Dengan bertransisi, industri juga dimungkinkan untuk mengoptimalkan proses mereka, menurunkan biaya operasional, dan meningkatkan daya saing. Dengan demikian, menjadi selaras dengan preferensi investor dan pelanggan serta adanya pengakuan positif dari media adalah keuntungan tambahan yang dapat didapatkan oleh sebuah bisnis.
Industri Berkelanjutan: Sebuah Solusi Yang Hadir dengan Syarat-syaratnya
Ada banyak cara bagi industri untuk menjadi berkelanjutan, tetapi cara mana yang memiliki kecepatan dan skala transformasi yang berbasis sains?
Sebagai respons terhadap kebijakan iklim yang lebih ketat dan pergeseran preferensi investor dan pasar, industri harus mentransformasi operasi bisnis mereka ke arah yang lebih berkelanjutan melalui perjalanan dekarbonisasi industri yang bersifat bertahap dan rekursif. Perjalanan ini dimulai dengan Inventarisasi Emisi (Emission Inventory) yang mengukur dan merekam jejak karbon sepanjang rantai nilai. Karena menggunakan metode-metode yang terstandardisasi dan diakui secara internasional seperti Protokol GHG, inventarisasi ini harus mencakup operasi hilir dan hulu di luar kewajiban perusahaan guna memastikan emisi yang komprehensif karena penyediaan barang atau jasa.
Setelah inventarisasi, industri seharusnya memulai Penetapan Target (Target Setting) berdasarkan ilmu pengetahuan dan sesuai dengan Paris Agreement. Berbagai inisiatif sukarela[2], seperti inisiatif Target Berbasis Ilmu Pengetahuan (SBTi), memberikan panduan untuk menetapkan tujuan yang kredibel dalam jangka waktu dekat dan jangka panjang dengan tujuan nol bersih pada pertengahan abad ini. Penetapan target erat kaitannya dengan fase Pengembangan Strategi (Strategy Development) yang memungkinkan perusahaan melihat target iklim mereka melalui lensa bisnis yang praktis. Pada tahap ini, perusahaan merumuskan strategi iklim yang spesifik dan melaksanakannya melalui adopsi teknologi dan dukungan finansial. Akhirnya, seluruh perjalanan ditutup dalam tahap Pengungkapan (Disclosure) yang mengikuti kerangka dan standar seperti TCFD dan CDP untuk mengkomunikasikan perkembangan yang ada dengan akurat dan efektif kepada para pemangku kepentingan.
Untuk menciptakan bisnis yang berkelanjutan dapat berkembang di Indonesia, inisiatif-inisiatif sukarela melalui perjalanan dekarbonisasi industri harus dilengkapi dengan ekosistem nol bersih yang kondusif. Ekosistem tersebut harus memungkinkan industri untuk mentransformasi bisnis mereka melalui aspek-aspek kunci, seperti:
1. Teknologi rendah karbon yang diinkubasi, beragam, dapat dikembangkan, dan terjangkau
Dekarbonisasi industri sangat bergantung pada adopsi teknologi rendah karbon (LCT)[3]. Mengingat sumber emisi yang kompleks, mulai dari energi hingga limbah, LCT yang beragam, dapat dikembangkan, dan terjangkau diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan kapasitas keuangan yang spesifik untuk industri. Namun, LCT seringkali tidak terjangkau dan sulit diakses di Indonesia karena sebagian besar bergantung pada alat-alat berbasis teknologi tinggi serta impor dari negara-negara maju. Akibatnya, industri tidak dapat mengakses LCT tertentu untuk perjalanan dekarbonisasi mereka. Beberapa industri telah mulai berkomitmen, berinvestasi, dan mengimplementasikan beberapa LCT untuk operasi mereka.
Namun, karena kendala yang telah disebutkan, jenis LCT yang diimplementasikan sebagian besar berfokus pada transisi ke listrik berkarbon rendah yang tersedia di Indonesia (misalnya, solar PV dan biomassa), sementara LCT yang lebih luas untuk perubahan bahan baku dan efisiensi energi masih terbatas. Intervensi untuk mempercepat implementasi LCT yang lebih luas seharusnya dilakukan dengan menyubsidi biaya LCT jangka pendek untuk LCT yang memiliki dampak tinggi, memastikan pertumbuhan industri LCT lokal, dan meningkatkan penelitian dan pengembangan LCT ini untuk sektor-sektor yang sulit untuk dikurangi emisinya.
2. Mekanisme keuangan dan investasi yang terkemuka dan terpercaya
Ketika melakukan dekarbonisasi industri, pendanaan menjadi penting karena kebutuhan akan teknologi baru. Meskipun telah muncul produk keuangan berkelanjutan di pasar, partisipasi industri masih terbilang rendah. Hanya sedikit yang berhasil mengakses produk pembiayaan, terutama melalui pinjaman. Persepsi akan eksklusivitas, persyaratan yang ketat, dan kurangnya keuntungan finansial yang signifikan sebagai imbalan menjadi hambatan adopsi yang luas. Label keuangan berkelanjutan saat ini secara utamanya hanya menambahkan lapisan ekstra dalam proses analisis mendalam tanpa memberikan manfaat substansial kepada industri sebagai klien. Pada akhirnya, tujuan utama dari produk keuangan apapun, baik yang diberi label berkelanjutan maupun tidak, seharusnya adalah untuk mempermudah industri dalam pembiayaan proyek dekarbonisasi yang mahal dan berisiko tinggi.
Dalam kondisi ini, intervensi pemerintah menjadi penting untuk meringankan beban berat biaya dekarbonisasi bagi industri. Tiga fasilitator kunci diperlukan untuk mengarahkan keuangan dan investasi menuju pasar yang berfungsi baik: instrumen keuangan transisi, mekanisme penetapan harga karbon, dan insentif fiskal. Untuk meningkatkan kepercayaan industri dalam dekarbonisasi, instrumen keuangan transisi harus didirikan di sektor-sektor tertentu dengan taksonomi proyek yang jelas untuk memastikan integritas lingkungan. Mendirikan mekanisme penetapan harga karbon dan kredit emisi, khususnya di sektor-sektor yang menantang, seperti industri sulit dikurangi emisinya, juga sangat penting. Terakhir, pajak lingkungan akan menghasilkan pendapatan tambahan bagi pemerintah dan menciptakan ruang fiskal yang cukup untuk memberikan insentif kepada industri untuk mencapai target emisi nol bersih.
3. Tata kelola penurunan emisi yang terintegrasi, efisien, dan kuat
Tata kelola pengurangan emisi yang efektif harus memastikan bahwa semua industri berupaya mencapai tujuan yang sama yaitu 1,5°C dengan cara yang paling komprehensif dan efisien tetapi tetap menguntungkan. Namun, industri masih mematuhi standar dekarbonisasi yang berbeda-beda, yang bervariasi dalam hal cakupan emisi, jalur pengurangan, dan preferensi prioritas solusi. Misalnya, tingkat ambisi pengurangan emisi yang berbeda-beda digambarkan ketika satu industri menggunakan “net zero” dan “carbon neutral”. Tingkat kelengkapan inventarisasi emisi yang berbeda-beda terlihat ketika suatu industri menghitung emisinya menggunakan Protokol GHG dan Standar Industri Hijau (SIH). Di saat yang bersamaan, berbagai jenis pelaporan terkait dekarbonisasi diberlakukan oleh berbagai kementerian/lembaga nasional (misalnya SRN-GRK, SIINas, POJK, POME) yang meminta kumpulan data dan standar pelaporan berbeda, yang berbeda dengan standar pelaporan yang diakui secara internasional[4]. Perbedaan-perbedaan ini menimbulkan kebingungan di kalangan industri. Pendekatan yang terfragmentasi dan terisolasi ini akan menghasilkan tujuan yang berbeda, pelaporan yang tidak efisien, dan menghambat perbandingan yang setara antar industri untuk memantau kemajuan dan menerapkan intervensi yang sesuai.
Dekarbonisasi industri sangat penting untuk mendukung ambisi nasional, dan oleh karena itu harus diterapkan intervensi kebijakan yang memfasilitasi tata kelola yang lebih baik untuk standardisasi perencanaan dan implementasi dekarbonisasi di seluruh industri menuju 1,5°C. Hal ini akan membekali industri dengan jalur atau target dekarbonisasi industri nasional yang selaras dengan 1,5°C, standar pemantauan dan pelaporan emisi yang terintegrasi dan wajib yang menjadi masukan bagi proses pembuatan kebijakan dan kuat terhadap berbagai kebutuhan pasar, serta basis data faktor emisi tingkat nasional untuk penghitungan emisi yang akurat. Pada saat yang sama, insentif non fiskal untuk meningkatkan permintaan dan daya saing industri yang mematuhi standar di pasar lokal dan global[5] (misalnya, melalui sertifikasi produk ramah lingkungan dan pengadaan produk ramah lingkungan) juga penting untuk meningkatkan kepatuhan terhadap standar tersebut.
Pentingnya Sebuah Kebijakan dan Bagaimana Masyarakat Memainkan Peran Penting dalam Mewujudkannya
Perilaku individu sangat penting dalam mencapai dekarbonisasi industri. Perubahan perilaku seperti menggunakan transportasi umum dan memilih produk yang lebih ramah lingkungan adalah cara bagi individu untuk melakukan perubahan dan menunjukkan komitmen terhadap agenda yang lebih ramah lingkungan. Mengambil langkah lebih jauh, menyuarakan pandangan mengenai langkah-langkah kebijakan, dan memantau upaya dekarbonisasi akan berdampak besar pada percepatan dan mengingatkan pemerintah akan komitmennya untuk mencapai nol bersih. Para pemimpin yang baru terpilih harus turut memperjuangkan agenda perubahan iklim dan memastikan adanya kebijakan dekarbonisasi industri dalam rencana jangka pendek dan jangka panjang negara.
Berdasarkan kebijakan-kebijakan yang sudah ada untuk melakukan dekarbonisasi sektor industri, pendekatan kebijakan yang holistik dengan aktor-aktor politik yang relevan harus diterapkan untuk memastikan adanya jalur yang jelas untuk melakukan dekarbonisasi sektor industri dan mengakomodasi aspek-aspek utama yang disebutkan sebelumnya dalam menciptakan industri rendah karbon. ekosistem. Penetapan LCT yang diinkubasi, terdiversifikasi, terukur, dan terjangkau sebagai standar pengembangan industri memerlukan dukungan dari Kementerian Perindustrian dan dukungan dari pusat penelitian dan pengembangan utama seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan dan BAPPENAS, harus mengatur mekanisme keuangan dan investasi yang dapat diandalkan untuk meningkatkan pelaksanaan proyek pengurangan emisi. Jika digabungkan dengan pedoman dan tata kelola dekarbonisasi yang terintegrasi dan kuat, kebijakan-kebijakan ini sangat penting untuk mencapai dekarbonisasi industri yang efektif.
[1] Perhitungan penulis berdasarkan beberapa sumber, termasuk Climate Watch (2022), Indonesia’s Enhanced Nationally Determined Contribution, dan MoEF (2022).
[2] Berbagai inisiatif penetapan target yang kredibel dan saintifik di mana beberapa di antaranya sangat spesifik untuk sektor-sektor tertentu, seperti Global Cement and Concrete Association (GCCA) Net Zero Roadmap.
[3] Teknologi rendah karbon terdiri dari listrik berkarbon rendah (mis. solar PV atap), teknologi untuk perbaikan proses dan pemulihan energi (mis. boiler terintegrasi), teknologi untuk efisiensi material dalam produksi (mis. untuk daur ulang produk), teknologi untuk mengubah bahan baku (mis. untuk menciptakan bahan baru yang berkelanjutan), teknologi efisiensi tinggi (mis. chiller efisien tinggi), dan teknologi penangkapan/penyimpanan gas rumah kaca (mis. CCUS).
[4] Beberapa contoh standar pelaporan yang diakui secara internasional adalah GRI, ISSB, SASB, TCFD, kuesioner iklim CDP, dan masih banyak lagi.
[5] Kebijakan perdagangan berkelanjutan dari negara-negara maju semakin meningkat (misalnya CBAM, EUDR). Pemerintah Indonesia harus membantu mempersiapkan industri untuk merespons standar ini melalui penyesuaian peraturan, advokasi untuk mengakui standar nasional, dan peningkatan kapasitas.