Artikel ini pernah dimuat di TheCityFix


Salah satu tantangan terbesar aksi iklim bukan hanya sebatas memahami risiko-risiko banjir, cuaca panas ekstrem dan tantangan lainnya, tetapi bagaimana masyarakat merespons risiko-risiko tersebut. Di mana letak kekuatannya? Lalu bagaimana para pembuat kebijakan menambah kapasitas dan mengatasi kekurangan yang ada?

Penilaian Ketahanan Masyarakat Perkotaan WRI membantu masyarakat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan menganalisis kapabilitas lokal seperti kohesi sosial, pemahaman risiko-risiko iklim, sistem peringatan dini dan kesiapan bencana, penilaian ini memberikan gambaran kesiapan dan persepsi masyarakat terhadap risiko yang ditimbulkan. Penilaian tersebut mendorong masing-masing individu untuk mengidentifikasi tindak adaptasi sesuai dengan konteks sekaligus mendorong pembuat kebijakan untuk melibatkan warga dalam perencanaan ketahanan.

Tahun ini, kami menerapkan Penilaian Ketahanan Masyarakat Perkotaan di dua kota di Asia, yakni Surat, India, dan Semarang, Indonesia. Dalam prosesnya, kami memilih tiga golongan masyarakat di setiap kota dan melakukan kunjungan lapangan untuk memahami tantangan yang dihadapi dan cara setiap golongan masyarakat beradaptasi. Laporan selengkapnya baru akan dirilis pada kuartal II tahun ini, namun banyaknya jenis tantangan yang dihadapi masyarakat di masing-masing kota cukup memberikan gambaran.

Meskipun Surat dan Semarang sama-sama kota pesisir dengan sungai-sungai kecil, konteks kerentanan masing-masing kota dan ketiga golongan masyarakat yang tinggal di kedua daerah tersebut sangatlah berbeda. Surat menghadapi dua risiko utama – di satu sisi cuaca panas ekstrem, di sisi lain banjir selama musim hujan angin lebat – sementara Semarang berhadapan dengan berbagai macam risiko iklim akibat kondisi geografisnya. Pemukiman daerah pesisir sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut, hantaman badai dan penurunan permukaan tanah. Akibatnya, pemukiman di sepanjang sungai pedalaman berisiko terendam banjir selama hujan lebat, sementara warga yang tinggal di area perbukitan terancam longsor.

Perbedaan Risiko di Surat

Untuk memahami perbedaan risiko di Surat, kami memilih tipe hunian yang berbeda berdasarkan faktor lingkungan, pekerjaan dan modal sosial. Kelompok masyarakat pertama yang menjadi sasaran penelitian kami adalah area kumuh tua bernama Morarji Vasahat, di bagian selatan kota, di mana terdapat kawasan industri yang luas.

<p>Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India</p>

Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India

Morarji Vasahat berada di daerah dataran rendah. Wilayah ini sering mengalami masalah air tergenang, saluran air meluap dan banjir ekstrem, terutama selama musim hujan. Namun, karena daerah ini merupakan daerah kumuh tua, sebagian besar masyarakat telah hidup berdampingan selama puluhan tahun. Kondisi ini mendorong jalinan hubungan sosial dan persahabatan yang kuat, yang menjadi sumber kekuatan saat peristiwa ekstrem terjadi. Selain itu, kuil masyarakat juga menjadi pusat pengelolaan upaya penanggulangan bencana, mulai dari evakuasi korban bencana ke tempat penampungan yang lebih tinggi hingga distribusi makanan dan layanan darurat.

<p>Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India</p>

Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India

Dalam rangka bersiap untuk musim hujan, para keluarga akan berkumpul untuk membersihkan saluran air bersama-sama, memperbaiki dan membuat atap kedap air serta menjaga akses jalan menuju rumah mereka. Sebagian besar keluarga juga telah membangun alas tinggi untuk rumah mereka atau bahkan meninggikan lantai satu hingga dua kaki dari tanah. Perubahan kecil ini dilakukan untuk mencegah air hujan dan air limbah masuk ke dalam rumah. Pada musim panas, penduduk menggunakan alas rumah, umumnya dikenal sebagai otlas, sebagai tempat duduk di luar ruangan untuk menghindari suhu dalam rumah yang menyesakkan, terlebih lagi dengan atap yang terbuat dari logam.

<p>Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India</p>

Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India

Kelompok masyarakat kedua yang dievaluasi di Surat adalah skema rehabilitasi area kumuh yang disebutKosad Awas. Pada tahun 2009, 19.000 keluarga dari berbagai penjuru kota diberikan fasilitas tempat tinggal melalui proyek relokasi dan rehabilitasi massal. Warga dari beragam pemukiman kumuh diberi jatah ruangan secara acak di gedung yang berbeda-beda tanpa mempertimbangkan ikatan sosial yang telah mereka miliki sebelumnya. Akibatnya, isu ketimpangan sosial merebak, sementara kasus pencurian dan kejahatan ringan meningkat, sehingga daerah ini tidak aman bagi wanita dan anak-anak.

<p>Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India</p>

Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India

Gang-gang ini terletak di antara bagian belakang gedung, di mana toilet-toilet yang tersedia malah dijadikan tempat kriminal. Meskipun penduduk Kosad Awas tidak menghadapi risiko banjir rutin seperti di Morarji Vasahat, kurangnya ventilasi dan padatnya penghuni di rumah yang kecil membuat mereka rentan terhadap panas ekstrem selama musim panas. Takut akan kemungkinan terjadinya kasus pencurian, sebagian besar penduduk yang tinggal di rumah pada siang hari – kebanyakan wanita dan anak-anak – menutup rapat jendela, sehingga suhu dalam ruangan meningkat. Terlebih lagi, kurangnya rasa percaya antar sesama warga semakin mempersulit penanganan kondisi darurat karena kecurigaan antar warga.

<p>Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India</p>

Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India

Kelompok masyarakat ketiga di Surat adalah skema lokasi dan layanan di Ugat, di bagian barat kota. Tiga belas tahun yang lalu, penduduk daerah kumuh direlokasi ke sini dan diberi hak legal atas sebidang tanah. Banyak dari mereka membangun rumah sendiri secara bertahap di tanah tersebut. Setelah dua tahun, mereka diberi sambungan air di luar rumah yang terhubung dengan jaringan listrik kota dan, secara langsung atau tidak langsung, terhubung ke sistem sanitasi.

<p>Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India</p>

Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India

Sebagian warga di sini juga aktif berternak kambing, ayam dan babi. Karena kegiatan ternak ini, ditambah dengan infrastruktur jalan yang rusak, saluran air yang terbuka dan sistem pembuangan sampah yang tidak terurus, kondisi kesehatan dan sanitasi di area ini sangat buruk. Selama musim hujan, Ugat sering mengalami banjir dan pencemaran air yang mengakibatkan meningkatnya risiko kesehatan akibat kondisi yang tidak higienis. Di Ugat, sanitasi menjadi tantangan yang utama.

Hidup Berisiko di Semarang

Kelompok masyarakat pertama yang dinilai di Semarang adalah Tanjung Mas, sebuah masyarakat nelayan di bagian utara kota, di sepanjang pantai.

<p>Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India</p>

Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India

Berbagai kegiatan yang menandai kehidupan yang erat dengan industri perikanan, seperti sekelompok orang memilah, mengeringkan dan menjual ikan serta penisik jala dan tukang perahu dapat ditemukan di tepi jalan dan persimpangan di pemukiman ini.

<p>Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India</p>

Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India

Risiko iklim di sini juga nampak lebih jelas dibandingkan di Surat. Keberadaan laut benar-benar mengusik kegiatan warga sehari-hari. Saat air pasang, banyak rumah, jalan dan gang terendam air laut, kemudian surut setelah air kembali pasang.

<p>Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India</p>

Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India

Banjir yang terjadi setiap hari menyebabkan tanah menjadi lunak dan penurunan permukaan tanah yang meningkat. Kami melihat rumah yang sebagian terbenam tanah, beberapa rumah bahkan hanya tersisa tiga atau empat kaki; sementara rumah lainnya telah sepenuhnya tenggelam, hanya menyisakan genangan di atas tanah. Masing-masing warga beradaptasi dengan caranya sendiri sesuai dengan kapasitas ekonomi dan risiko yang dihadapi. Sebagian meninggikan atap rumah sehingga rumahnya dapat diselamatkan karena lebih tinggi (untuk saat ini).

<p>Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India</p>

Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India

Sisanya membangun rumah bertingkat dua dengan alas setinggi enam kaki untuk mencegah air laut masuk dan meminimalkan risiko penurunan permukaan tanah.

<p>Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India</p>

Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India

Dalam beberapa kasus, sebagian warga menyanggah rumah mereka di atas panggung dan membangun jembatan untuk menghubungkan rumah dengan tetangga.

<p>Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India</p>

Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India

Banyak juga yang menerima keadaan dan belajar hidup berdampingan dengan laut. Rumah-rumah ini terbenam satu kaki di bawah permukaan tanah, sehingga teras depan dan ruang bagian dalam senantiasa terendam banjir. Penduduk telah meletakkan batu bata di sepanjang jalan ke rumah dan di dalam rumah untuk menandai jalur yang biasa dilalui.

<p>Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India</p>

Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India

Kelompok masyarakat kedua yang kami kunjungi di Semarang adalahKaligawe, yang berlokasi di sepanjang kanal kota, agak jauh dari pantai. Saat hujan lebat, daerah dataran rendah ini sering mengalami banjir, terutama ketika air laut naik ke permukaan dan mengalir ke dalam kanal. Di beberapa lokasi, warga meninggikan jalan untuk meningkatkan akses dan mobilitas. Namun, di daerah kumuh, kebanyakan warga tidak mampu meninggikan lantai rumah mereka sehingga tidak rata dengan jalan yang telah ditinggikan, akibatnya air masuk ke dalam rumah.

<p>Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India</p>

Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India

Kelompok masyarakat ketiga yang kami pilih adalah Sukorejo, yang terletak di bagian selatan perbukitan. Di sini tinggal masyarakat pribumi lama yang sebagian besar tinggal di rumah leluhur mereka. Tanah di sini begitu keropos dan permukaannya terus mengalami pergerkan, sehingga tanah longsor sering terjadi, terkadang di tingkat yang cukup besar. Ditambah lagi, warga harus berjuang dengan kondisi kelangkaan air yang sangat parah, bahkan kekeringan selama berbulan-bulan di musim panas.

<p>Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India</p>

Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India

Tanah longsor menjadi tantangan tersendiri, tetapi warga telah beradaptasi dengan baik terhadap masalah kelangkaan air ini. Sebagian besar warga menggantungkan diri pada satu sumber air bersama: mata air alami yang dialirkan ke sumur. Pada pelaksanaannya, pemukiman ini dibagi menjadi tujuh sektor, masing-masing mendapat waktu satu hari dalam seminggu untuk mengumpulkan dan menyimpan air sebanyak yang diperlukan.

<p>Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India</p>

Kredit Foto: Lubaina Rangwala/WRI India

Warga berjalan ke sumur dan mengisi ulang tangki, tong dan ember mereka berulang kali. Air tersebut dipakai satu keluarga untuk bertahan hidup selama satu minggu penuh. Apabila kehabisan air, mereka hanya diperbolehkan mengambil dua ember tambahan per hari untuk enam hari ke depan. Sistem ini diterapkan guna memastikan penggunaan air secara cermat dan berkelanjutan.


Pengamatan lapangan di Surat dan Semarang telah memperkuat landasan pemikiran kami bahwa keberhasilan strategi ketahanan model apa pun perlu ditunjang kesejahteraan, tempat tinggal, pekerjaan, potensi kesiapan untuk menghadapi tantangan yang meningkat dan beragam serta aspirasi untuk lingkungan tinggal yang aman dan layak. Ketahanan merupakan proses yang berkelanjutan, di mana sehari-harinya setiap warga dan individu terus beradaptasi. Pertanyaan penting selanjutnya bagi para pembuat kebijakan adalah apakah upaya ketahanan yang lebih besar di tingkat kota, negara bagian atau bahkan nasional turut meningkatkan pengetahuan dan kapasitas lokal - atau justru menghambatnya.

Penilaian Ketahanan Warga Perkotaan adalah proyek sepanjang tahun yang dipimpin oleh staf dari tim Ketahanan Iklim Perkotaan WRI dan didanai oleh Program Kerja Bersama Aliansi Kota di Kota Tangguh; laporan lengkap ini akan dirilis pada bulan September 2018. Mitra lokal di kedua kota – Pusat Kesehatan dan Ketahanan Iklim Perkotaan untuk Keunggulan di Surat, dan Prakarsa untuk Perubahan Iklim dan Lingkungan Perkotaan di Semarang – adalah sebuah kolaborasi terpadu yang telah menjalankan kunjungan lapangan di setiap pemukiman. Penilaian ini akan dilanjutkan dengan proposal proyek ketahanan yang akan dikembangkan bersama dengan anggota warga dan pemangku kepentingan dari kota yang bersangkutan.