Gambut Kering, Petani Merugi!
Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan oleh People For Peat pada 28 Juni 2022.
Siang itu, setelah mendarat di Bandar Udara Supadio, Pontianak, Kalimantan Tengah, kami, tim WRI Indonesia yang terdiri dari empat orang, langsung menuju Dusun Mulyorejo, Desa Limbung, Kecamatan Kubu Rayadengan didampingi Ronny Christanto, seorang peneliti independen di bidang lingkungan yang berasal dari Pontianak. Udara terasa gerah dan panas saat kami berkunjung ke lahan gambut yang lokasinya berada tidak jauh dari Bandar Udara Supadio. Tujuan kami mengunjungi Desa Limbung adalah untuk melakukan supervisi kegiatan penelitian di lahan gambut yang dilakukan oleh Ronny dan tim, yang mendapatkan pendanaan penelitian dari proyek ‘The Sustainable Use of Peatland and Haze Mitigation in ASEAN (SUPA)’ yang didanai oleh Uni Eropa.
Tidak lama setelah meninggalkan Bandar Udara Supadio, dari jalan raya, kami masuk ke jalanan beton yang hanya bisa dilewati satu mobil. Terdapat rumah-rumah penduduk di kanan dan kiri jalan, meskipun tidak begitu padat. Sekitar 20 menit sejak kami berangkat dari Bandar Udara Supadio, kami tiba di lokasi dekat dengan lokasi demplot penelitian Ronny. Kami memarkirkan mobil dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar 300 meter. Sambil berjalan kaki, Ronny yang mendampingi tim kami bercerita mengenai lokasi tersebut. “Jadi, masyarakat di sini biasa memanfaatkan lahan untuk bercocok tanam. Biasanya mereka menanam cabai, jahe, tomat. Tapi biasanya produksi yang dihasilkan tidak banyak, bahkan kadang-kadang mereka merugi karena hasilnya tidak sebanding dengan biaya yang mereka keluarkan”.
Saat kami sedang berjalan kaki, kami bertemu dengan dua petani yang sedang bekerja di lahan garapan mereka. Pujianto dan Kusmawadi, nama kedua petani tersebut, merupakan warga Dusun Mulyorejo. Mereka berdua memiliki mata pencaharian sebagai petani, sudah pernah mencoba menanam beberapa jenis tanaman di lahan gambut, dan pernah merasakan keberhasilan dalam berkebun di lahan gambut. Kebun cabai dan kebun tomat yang dikelola oleh Pujianto dan Kusmawadi pernah memberikan hasil yang cukup tinggi. Sebagai contoh, dari lahan yang mereka tanami tanaman tomat, pernah menghasilkan tomat sampai dengan 700 kg dari luas lahan 25 x 20 meter persegi. Hasil tomat tersebut kemudian mereka jual dengan harga Rp. 7.000 per kg. Begitu pula mereka pernah berhasil menanam cabai. Dari lahan seluas 80 x 20 meter persegi, mereka bisa mendapatkan cabai sebanyak 1 ton. Saat mereka mendapatkan hasil 1 ton tersebut, harga jual cabai ada di angka Rp. 70.000 per kg. Keberhasilan tersebut mereka peroleh di akhir tahun 2021 lalu.
Sayangnya, hanya dalam waktu kurang lebih enam bulan, kondisi berubah drastis. “Kalau tanaman yang sekarang, tidak bagus”, kata Pujianto saat menceritakan tanaman cabai yang sedang dia tanam saat ini. Dia kemudian menjelaskan bahwa kebutuhan air untuk penanaman cabai di lahannya sangat tidak mencukupi. “Barusan ditanam, langsung dua minggu tidak ada air”, tambahnya. Pujianto pun menjelaskan bahwa dengan tidak tercukupinya air, maka mustahil tanaman cabainya akan berhasil baik. Dari pantauan kami, kondisi lahan gambut di wilayah tersebut memang terlihat kering. Padahal, berdasarkan informasi dari Pujianto, tanaman cabai ataupun tomat memerlukan air selama 36-42 hari dari total 2 bulan masa budi daya, dari mulai tanam sampai panen.
Ketersediaan air sangat penting untuk tanaman. Namun demikian, mengupayakan kecukupan air untuk tanaman di lahan gambut juga memiliki tantangan, karena ketersediaan air sangat dipengaruhi oleh musim. Saat musim kemarau panjang, maka petani akan kesulitan mendapatkan kecukupan air. Sedangkan di lahan gambut yang dimanfaatkan oleh Pujianto dan Kusmawadi misalnya, tidak terdapat sumber air di sekitarnya, sehingga keberhasilan tanaman bergantung pada air hujan. Terlebih lagi lahan gambut yang mereka garap sudah berulang kali terbakar sebelumnya, sehingga kemampuan tanah gambut dalam menyimpan air telah berkurang atau bahkan hilang. Namun demikian, Pujianto dan Kusmawadi beserta petani lainnya, masih berupaya mengantisipasi masalah kurangnya ketersediaan air di lahan mereka tersebut, yakni dengan membuat kolam kecil di dekat lahan garapan mereka sebagai sumber air untuk membasahi tanaman pada musim kering. Pembasahan dari sumber air tersebut dilakukan dengan cara manual, atau kadang dengan menggunakan pompa air. Namun tentu saja pengairan dengan bantuan pompa air memerlukan biaya. Dengan kondisi tersebut, Pujianto maupun Kusmawadi hanya bisa mencoba peruntungan mereka dalam bercocok tanam di lahan gambut. Yang pada akhirnya, dalam menghadapi musim yang tidak dapat diprediksi, mereka akan dihadapkan pada dua pilihan, yakni ‘tidak bercocok tanam karena tidak mau menanggung resiko kerugian apabila terjadi kekurangan air’ atau ‘tetap bercocok tanam, dan siap menerima seperti apapun hasilnya nanti’.