Saat lebih dari 1.200 pakar hak atas tanah berkumpul di Kantor Pusat Bank Dunia di Washington DC hari ini untuk Konferensi Tahunan mengenai Lahan dan Kemiskinan ke-18, peserta dari kalangan pemerintah, kelompok masyrakat sipil, pelaku usaha, dan donor akan fokus pada penggunaan data serta bukti lain untuk mereformasi kebijakan lahan, mengidentifikasi strategi untuk ekspansi, dan mencari cara untuk memantau kemajuan.

Pada tahun-tahun sebelumnya, peserta konferensi dari seluruh dunia telah menyajikan dan membahas informasi terbaru menganai hak atas tanah perorangan dan tanah negara. Berikut adalah bebarapa angka penting mengenai hak masyarakat adat dan masyarakat atas tanah, bentuk kepemilikan lahan yang paling banyak terdapat di seluruh dunia.

50%

Proporsi lahan di seluruh dunia yang ditempati oleh masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya.

Luas lahan komunal tidak diketahui secara pasti, namun banyak pakar yang berargumen bahwa setidaknya setengah dari lahan di dunia ditempati oleh masyarakat adat dan masyarakat lainnya. Ada yang mengestimasi sebesar 65 persen atau lebih dari seluruh luasan daratan dunia. Masyarakat adat menempati sekitar 20 persen dari seluruh dataran di Bumi, atau setengah dari sepertiga lahan di dunia yang dimiliki secara kolektif. Lahan komunal dijumpai di seluruh benua di dunia kecuali Antartika, dengan wilayah terluas terdapat di Afrika. LandMark, suatu platform global mengenai tanah masyarakat adat dan masyarakat, menyediakan peta dan informasi penting lainnya terkait lahan tersebut.

2.5 miliar

Jumlah penduduk yang bergantung kepada tanah adat dan lahan masyarakat.

2,5 miliar pria, wanita, dan anak, termasuk diantaranya lebih dari 370 juta masyarakat adat, bergantung pada lahan, sumber daya alam, dan ekosistem, yaitu hutan, lahan penggembalaan, dan lahan basah yang ditempati, dimanfaatkan, atau dikelola secara kolektif. Dengan populasi dunia yang saat ini mencapai 7,5 miliar penduduk, satu dari setiap tiga orang bergantung pada lahan komunal bagi kesejahteraan dan mata pencahariannya.

10%

Persentase lahan dunia yang dimiliki secara legal oleh masyarakat adat dan masyarakat lain.

Secara global, masyarakat adat dan lokal memiliki kepemilikan formal legal atas 10 persen dari lahan yang ada, dan memiliki hak pengelolaan yang diakui oleh pemerintah sebesar 8 persen. Dua pertiga lahan di dunia dimiliki atau dikuasai oleh masyarakat di lima negara: Cina, Kanada, Brazil, Australia, dan Meksiko. Dengan kata lain, setidaknya sepertiga hingga setengah lahan dunia ditempati oleh masyarakat adat dan masyarakat lokal secara tidak resmi dalam pengaturan kepemilikan adat. Tanpa adanya pengakuan hukum, masyarakat adat, masyarakat, dan lahannya menjadi “rentan terhadap perampasan, penangkapan, dan pemindahan secara ilegal, paksa, atau tindakan tidak adil lainnya oleh pihak yang lebih berkuasa.”

24%

Jumlah karbon yang tersimpan dalam hutan tropis yang dikuasai secara kolektif.

Setidaknya 24 persen karbon yang tersimpan di atas permukaan tanah hutan tropis dunia (tidak termasuk karbon yang tersimpan dalam tanah) berada di lahan yang dikelola secara kolektif oleh masyarakat adat dan masyarakat lokal. Tanah adat dan lahan masyarakat memiliki setidaknya 54.546 juta metrik ton karbon (MtC), atau setara dengan empat kali emisi karbon global pada tahun 2014. Sepersepuluh karbon yang tersimpan di atas permukaan tanah di hutan tropis, yaitu sebanyak 22.322 MtC, berada di dalam lahan dengan pengelolaan kolektif yang tidak memiliki pengakuan formal dan legal. Karbon yang cukup banyak juga tersimpan di tanah adat dan lahan masyarakat yang bukan berupa hutan tropis. Selain penyerapan karbon, tanah adat dan lahan masyarakat juga melindungi ekosistem lain yang memberikan jasa ekosistem penting secara lokal, regional, dan global. Sebagai contoh, sebagian besar hutan dunia terdapat pada lahan komunal, dan tanah adat sendiri memiliki 80 persen keanekaragaman hayati planet ini.

50%

Penurunan laju deforestasi di Amazon pada tanah adat dengan kepemilikan jelas dibandingkan dengan laju deforestasi pada wilayah serupa tanpa kepemilikan yang jelas.

Pada banyak wilayah di Amerika Latin dan seluruh dunia, tanah adat dengan status kepemilikan yang dilindungi memiliki laju deforestasi tahunan lebih rendah dibandingkan dengan pada lahan serupa tanpa kepemilikan yang dilindungi. Sebagai contoh, di Bolivia, laju deforestasi rata-rata antara tahun 2000 dan 2012 di dalam tanah adat dengan status kepemilikan dilindungi adalah 0,15 persen, sedangkan laju deforestasi di luar tanah adat adalah 0,43 persen. Di Brazil, laju deforestasi di dalam tanah adat dengan status kepemilikan dilindungi adalah 0,06 persen, dibandingkan dengan laju di luar tanah adat sebesar 0,15 persen. Dan kemudian di Kolombia, laju deforestasi di dalam tanah adat dengan status kepemilikan dilindungi adalah 0,04 persen, sedangkan laju deforestasi di luarnya adalah 0,08 persen. Kejelasan tenurial memberikan masyarakat adat dan masyarakat kepastian lebih bahwa mereka akan memperoleh manfaat dari investasi yang dituangkan pada lahannya.

1%

Biaya melindungi tanah adat di Amazon sebagai persentase dari manfaat total yang diperoleh dari lahan tersebut.

Di negara-negara Amazon, biaya melindungi tanah adat adalah kurang dari 1 persen dari total manfaat lingkungan yang diperoleh dari lahan tersebut. Perlindungan tanah adat memberikan jasa ekosistem penting dan bernilai tinggi, termasuk diantaranya pengaturan dinamika iklim lokal dan tata air, penyerapan karbon, serta kegiatan rekreasi dan wisata. Di Bolivia, Brazil, dan Kolombia, manfaat ini diperkirakan berkisar antara USD 1.845 hingga USD 4.158 per are atau 679 miliar hingga 1.530 miliar dolar AS selama 20 tahun ke depan (dan bisa jauh lebih tinggi jika manfaat sosial dan ekonomi juga dihitung). Sebaliknya, investasi perlindungan kepemilikan lahan diperkirakan sebesar USD 18,21 per are di Bolivia, USD 27,52 per are di Brazil, dan USD 2,43 per are di Kolombia. Tanah adat dengan kepemilikan yang pasti memberikan investasi konservasi hutan dengan biaya rendah bagi pemerintah.

Angka-angka ini menunjukkan pentingnya pengakuan resmi terhadap tanah adat dan tanah masyarakat: pengakuan resmi dari pemerintah terhadap lahan yang dikelola secara kolektif menguntungkan secara ekonomi, lingkungan, dan sosial. Pemerintah beserta mitranya perlu mendukung masyarakat adat serta masyarakat lainnya untuk melindungi dan mengamankan lahan mereka.