Artikel ini awalnya dipublikasikan di The Jakarta Post

Penunjukan Arcandra Tahar sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan indikasi kuat bahwa fokus dan perhatian Presiden Joko Widodo telah bergeser kembali ke sektor minyak dan gas bumi dan batu bara. Dasar amatan adalah diperpanjangnya lisensi Freeport untuk mengekspor konsentrat, dilanjutkannya negosiasi blok Masela dan Indonesia Deepwater Development (IDD), serta dibatalkannya peluncuran harga Feed-in Tariff (FIT) tenaga surya dalam periode 20 hari kerja Menteri Arcandra. Arcandra diberhentikan dari posisinya pada awal Agustus menyusul berita bahwa beliau memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat.

Di sektor energi, banyak profesional dan pakar energi baik dalam asosiasi migas maupun energi terbarukan sepakat bahwa penurunan harga minyak dalam beberapa tahun belakangan ini telah memberikan tekanan bagi pertumbuhan ekonomi negara-negara yang sebagian besar adalah negara miskin dan berkembang penghasil dan pengimpor minyak.

Di sisi lain, ada argumen yang mengatakan bahwa Indonesia, sebagai negara berkembang importir minyak, dengan kebutuhan energi yang tinggi, telah diuntungkan dengan kondisi ini. Namun argumen ini tidak dapat dibuktikan. Harga jual dan beli minyak mungkin lebih rendah, tetapi harga untuk menggali minyak tetap sama, bahkan makin tinggi. Kompleksitas geologi di mana terdapat kandungan minyak baru di Indonesia sangatlah tinggi. Biaya eksplorasi minyak per barel terlalu tinggi bahkan untuk ukuran perusahaan minyak multinasional, sehingga menyebabkan PHK besar-besaran oleh perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia dan keluarnya perusahaan tersebut dari Indonesia. Ini menyebabkan minimnya dana segar investasi asing di sektor migas di Indonesia.

Presiden menyadari bahwa sektor ini dalam bahaya, terutama ketika seperempat ekonomi Indonesia berasal dari minyak dan gas. Dari pengembangan blok Masela, proyek IDD, sejumlah kilang minyak yang makin tua dan tidak efisien, serta janji pengembangan Gas Alam Cair Terapung (FLNG), investasi di sektor ini mandek dan bahkan investor asing menuntut konsesi dan jaminan lebih dari pemerintah.

Yang harus dihindari adalah bagi Presiden untuk mencoba menghidupkan kembali sektor yang sedang sakit dengan pendekatan yang sama yang sudah dicoba oleh para pendahulunya dengan hasil yang gagal. Ada baiknya melihat apa yang telah dilakukan negara-negara lain, yang berada di keadaan yang sama atau lebih buruk, agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Venezuela sangat bergantung pada energi tenaga air dan menggunakan minyak bumi sebagai sumber utama ekspor. Hampir 60% pendapatan Venezuela berasal dari ekspor minyak mentah. Kemarau yang berkepanjangan membuat listrik dari tenaga air di negara itu tidak dapat mengejar permintaan listrik yang semakin tinggi. Sementara itu, kebijakan yang buruk selama bertahun-tahun telah memastikan jatuhnya perekonomian Venezuela ketika harga minyak jatuh.

Dalam situasi yang sama, Nigeria, yang bersandar pada ekspor 90% minyak mentah, tengah menghadapi berbagai krisis di sektor energi yang disebabkan oleh korupsi dan terorisme.

Mirip dengan Indonesia, kedua negara tersebut adalah negara berkembang penghasil minyak dengan kemampuan menghasilkan energi terbarukan. Venezuela memiliki sejumlah besar potensi energi hidro, tetapi tidak dapat bertahan di musim kemarau panjang karena pengelolaan yang tidak tepat. Nigeria adalah ekonomi terbesar Afrika dengan potensi energi surya yang tinggi, namun sumber bauran energinya kurang terdiversifikasi.

Indonesia beruntung bahwa ekonominya kurang bergantung pada ekspor produk minyak bumi. Namun, Indonesia perlu mengambil tindakan segera untuk menghindarkan negara ini dari jeratan krisis energi yang sama seperti dua negara tersebut.

Ketahanan Energi - Tidak ada cara lain bagi Indonesia untuk menghindari krisis energi selain melakukan diversifikasi bauran energi untuk bahan bakar pembangkit listrik. Presiden harus melanjutkan komitmennya untuk memasukkan lebih banyak sumber energi terbarukan dalam program elektrifikasi 35.000 MW. Berdasarkan tinjauan lapangan, ciri-ciri umum yang ditemukan pada masyarakat wilayah perbatasan dan pulau-pulau terdepan yang langka listrik adalah keterbelakangan teknologi dan informasi yang berujung pada rendahnya tingkat ekonomi. Penyediaan listrik yang efisien bagi masyarakat di pulau-pulau terpencil ini adalah dengan pemanfaatan energi yang sifatnya setempat, didukung teknologi lokal, ditunjang dengan jaringan elektrifikasi berskala kecil ketimbang membangun kabel transmisi bawah laut bertegangan tinggi.

Korupsi - Jika pemerintah serius dalam memberantas korupsi, negara harus mempercepat proses dekarbonisasi sistem energi dan bergerak menuju transisi ke energi terbarukan. Pengembangan energi bersih, baru, dan terbarukan, yang diikuti dengan restrukturisasi sektor ketenagalistrikan mulai dari sistem generasi, transmisi, dan distribusi menjadi lebih terbuka dan kompetitif, telah terbukti menurunkan korupsi di sektor energi di berbagai negara maju.

Jendela Peluang yang Makin Mengecil - Kombinasi tren global yang terus meningkat dalam mitigasi perubahan iklim, upaya kolaboratif bottom-up yang berbasis komunitas untuk meningkatkan ketahanan lingkungan dan energi, serta keterjangkauan energi terbarukan telah menciptakan peluang emas untuk mengembangkan teknologi energi bersih, mengurangi eksposur suatu negara akan peningkatan biaya sosial dari bahan bakar fosil, serta mencapai manfaat yang maksimal dengan menghasilkan energi terbarukan di dalam negeri.

Sebagai contoh, Otoritas Listrik dan Air Dubai (DEWA) membuktikan bahwa secara ekonomis tenaga surya (3 sen/kwh) dapat mengalahkan pembangkit listrik berbahan bakar fosil (4,5 sen/kwh), menandakan bahwa tenaga surya menjadi semakin terjangkau. Dana internasional pasca Perjanjian Paris dapat dimanfaatkan Indonesia untuk investasi dan melakukan leapfrog di sektor pengembangan teknologi bersih dan merebut kesempatan untuk percepatan pengembangan energi berkelanjutan.

Di Bali Clean Energy Forum awal tahun ini, Indonesia telah berkomitmen untuk mendukung pengembangan energi bersih, baru, dan terbarukan sebagai bentuk dukungan Nawa Cita Presiden Joko Widodo dan komitmen Indonesia pada Paris COP. Di banyak negara, pengembangan energi bersih, baru, dan terbarukan telah terbukti memberikan dampak positif bagi perekonomian tidak hanya karena potensi keberlanjutannya, tetapi juga karena potensinya dalam memberikan solusi jangka panjang untuk permasalahan ketahanan energi. Ini adalah jawaban bagi Indonesia. Presiden perlu terus mendukung pengembangan tersebut demi kepentingan Indonesia di masa mendatang.