Indonesia Memasuki Babak Iklim Baru Setelah Perjanjian Paris Ditandatangani
Tulisan ini pada awalnya dipublikasikan di The Jakarta Post.
“Sebagai salah satu negara pemilik hutan terbesar yang menjadi paru-paru dunia, Indonesia telah memilih untuk menjadi bagian dari solusi,” ujar Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di COP21 di Paris Desember tahun lalu. Untuk menjadi bagian dari solusi, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisinya tanpa syarat sebesar 29 persen dari skenario bisnis seperti biasa pada 2030 atau 41 persen jika terdapat bantuan dari dunia internasional.
Pada 22 April, perjanjian tersebut telah ditandatangani di New York, menandakan upaya negara penghasil emisi keenam terbesar di dunia untuk menjalankan janjinya.
Menuju hari penandatanganan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia Siti Nurbaya membuat pernyataan yang menggembirakan, yaitu bahwa Kontribusi Nasional (NDC) Indonesia akan lebih ambisius daripada Kontribusi Nasional yang Diniatkan (INDC) yang telah diajukan kepada UNFCCC. Menyadari visinya untuk membawa segenap bangsa bertransformasi menuju pembangunan rendah karbon, Indonesia perlu memastikan adanya rasa kepemilikan nasional yang kuat terhadap upaya penurunan emisi, diikuti dengan ratifikasi yang berhasil agar Perjanjian Paris dapat berlaku.
Selain berjabat tangan, penting juga dipahami apa saja yang perlu dilakukan Indonesia guna mencapai target iklimnya. Sementara analisis yang dikeluarkan baru-baru ini menunjukkan bahwa 21 negara berhasil memisahkan pertumbuhan ekonomi dari emisi antara tahun 2000-2014, Indonesia belum mengidentifikasi kapan emisinya akan naik dan seperti apa peta jalan untuk mencapai target tersebut. Walaupun demikian, ada empat hal yang dapat kita yakini mengenai aksi iklim Indonesia:
1. Sektor Lahan dan Energi menjadi Tulang Punggung Upaya Mitigasi
Emisi yang berasal dari lahan dan energi berkontribusi pada hampir 90 persen dari total emisi Gas Rumah Kaca Indonesia pada 2010 dan emisi yang diproyeksikan pada 2030 (BAPPENAS, 2015), meskipun dengan komposisi yang sedikit berbeda (lihat garfik di bawah ini). Bertolak belakang dengan kepercayaan bahwa Indonesia harus memprioritaskan sektor hutan, Indonesia juga perlu melindungi sektor lahan dan energi untuk mencapai target iklimnya.
Dalam Kontribusi Nasional yang Diniatkannya, Indonesia telah menyebutkan mengenai restorasi gambut, pengelolaan penggunaan lahan yang berkelanjutan, dan pembangunan energi baru dan terbarukan yang dipercepat sebagai alat utama untuk menurunkan emisi secara signifikan. Walaupun demikian, masih terdapat pertanyaan mengenai apa yang akan terjadi dalam proses pencapaian target tersebut.
2. Mencapai Target Iklim Tanpa Syarat Membutuhkan Transformasi Sistem Energi secara Menyeluruh
Analisis terhadap Target Penurunan Emisi Sektoral Indonesia (BAPPENAS, 2015) menunjukkan bahwa sebagian besar penurunan emisi tambahan dalam skenario bersyarat (41 persen) akan berasal dari energi. Oleh karena itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan pihak swasta di bidang energi berada di posisi yang penting untuk mencapai target Indonesia yang ambisius, yaitu menurunkan emisi sebesar 41 persen dari skenario bisnis seperti biasa. Pembentukan Pusat Keunggulan Energi Bersih yang berupaya mempercepat dan memfasilitasi inisiatif energi bersih di Indonesia serta membuat jaringan listrik di Indonesia lebih lestari merupakan hal yang penting yang dapat menuju pencapaian target tersebut.
Fakta bahwa 50 juta masyarakat Indonesia hidup dengan akses yang terbatas atau bahkan tanpa akses ke jasa energi modern memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk bergeser menuju energi baru dan terbarukan dalam menyediakan akses terhadap energi. Meskipun program nasional untuk mencapai rasio elektrifikasi sebesar 100 persen, termasuk pembangunan pembangkit listrik berbasis batu bara berkapasitas 35 GW, bersifat taktis dalam jangka pendek, program-program tersebut dapat mengunci Indonesia di dalam sistem energi yang tinggi akan karbon dalam jangka panjang.
Dengan demikian, bergeser menuju energi terbarukan yang bersifat mini-grid dan off-grid di wilayah-wilayah terpencil di Indonesia berdasarkan pemodelan bauran energi yang dioptimalkan harus dilaksanakan segera. Didukung dengan kebijakan pengelolaan yang nyata dan aktif, pendekatan tersebut dapat membantu Indonesia mencapai pengurangan emisi secara signifikan.
3. Sementara itu, Hutan di Indonesia Masih Menjadi Sektor yang Menjanjikan untuk Menurunkan Emisi
Sejak episode kebakaran hutan dan gambut yang parah di Indonesia pada tahun 2015, Indonesia berada di bawah banyak tekanan untuk mengelola penggunaan lahannya secara lebih lestari. Nyatanya, Indonesia mendasarkan 65 persen target pengurangan emisi tanpa syaratnya di sektor Pertanian, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya dan upaya mitigasi pengelolaan gambut, menunjukkan bahwa aktivitas yang berkaitan dengan lahan masih menyediakan sebagian besar potensi penurunan emisi.
Analisis sebelumnya dari WRI telah mengidentifikasi bahwa memperpanjang kebijakan moratorium untuk mencakup tidak hanya hutan primer dan lahan gambut tetapi juga hutan sekunder, mencabut izin konsisi yang belum dikembangkan dalam wilayah hutan, serta merestorasi 2 juta hektar lahan gambut dan 12.7 juta hektar lahan yang tidak produktif dapat menjadi beberapa aktivitas yang akan membantu Indonesia mencapai target pengurangan emisi.
4. Pentingnya Sinergi Horizontal dan Koordinasi Vertikal
Terakhir dan paling penting, Presiden Widodo perlu menempatkan tata kelola iklim yang baik yang bersandar pada sinergi yang baik di antara berbagai kementerian di sektor berbeda dan koordinasi yang kuat dengan pemerintah sub-naisonal. Karena perubahan iklim merupakan isu yang melibatkan banyak sektor dan melibatkan banyak aspek, bekerja semata-mata berdasarkan tugas pokok dan fungsi dapat menimbulkan risiko besar yang akan memperlambat kemajuan Indonesia terhadap tujuan iklimnya.
Target biofuel/bahan bakar hayati Indonesia adalah sebuah contoh yang menunjukkan bahwa kementerian di bidang lahan dan energi perlu bekerja bersama untuk mencapai tujuan tanpa mengorbankan hutan utuh yang masih tersisa di Indonesia. Pada saat yang bersamaan, pemerintah di tingkat sub-nasional dapat memanfaatkan bantuan dari pusat untuk mencapai target penurunan emisinya masing-masing, yang dikenal sebagai Rencana Aksi Daerah Penurunan Gas Rumah Kaca (RAD GRK). Keberadaan data iklim di tingkat provinsi terutama dapat memberi wawasan yang akan membantu pemerintah nasional dan pihak lainnya dalam menyediakan bantuan teknis yang efektif dan peningkatan kapasitas bagi pemerintah lokal.
Sementara Perjanjian Paris membuka babak iklim yang baru bagi Indonesia, memahami empat aspek kunci di atas merupakan langkah yang perlu dilakukan untuk membantu Indonesia menghindari tantangan dalam melaksanakan aksi iklimnya.