Women in harvest ground nuts in teak forest area. Photo credit: Murdani Usman/CIFOR
Wanita-wanita memanen kacang tanah di wilayah hutan jati. Sumber foto: Murdani Usman/CIFOR

Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono membuat keputusan yang berani dan tegas minggu ini untuk memperpanjang moratorium hutan Indonesia. Dengan keputusan ini, yang bertujuan untuk mencegah pembukaan hutan primer dan lahan gambut baru selama dua tahun kedepan, pemerintah dapat membantu melindungi hutan dan mendorong pembangunan yang berkelanjutan.

Mulai diberlakukan dua tahun yang lalu, moratorium hutan Indonesia telah membuat beberapa kemajuan dalam meningkatkan pengelolaan hutan. Namun demikian, masih banyak yang dapat dilakukan. Memperpanjang moratorium memberikan Indonesia kesempatan yang luar biasa: kesempatan untuk mengurangi emisi, mencegah deforestasi, dan memperkuat tata kelola hutan di sebuah negara yang memiliki beberapa ekosistem yang paling beragam di seluruh dunia.

Pencapaian Moratorium Hutan Indonesia

Indonesia merupakan salah satu penyumbang gas emisi rumah kaca terbesar di dunia, sebagian besar karena pembukaan hutan dan lahan gambut. Moratorium hutan bertujuan untuk menyelesaikan masalah ini dengan melarang pemberian izin baru untuk membuka atau mengkonversi hutan primer alami dan lahan gambut menjadi pertanian atau penggunaan lainnya. Kebijakan ini akan mencakup sebuah wilayah yang lebih luas dari 43 juta hektar . Pengguna hutan dengan izin yang sedang berlaku masih diperbolehkan untuk beroperasi di wilayah tersebut, dan terdapat beberapa pengecualian di dalam kebijakan ini.

Pencapaian terbesar dari moratorium sejauh ini adalah dibukanya kesempatan untuk memulai reformasi tata kelola hutan. Sekarang ketika pemerintah sudah memperpanjang moratorium, sangatlah penting untuk tidak hanya mengimplementasikan reformasi ini, tetapi juga memperkuatnya agar benar-benar memberikan manfaat kepada hutan dan masyarakat Indonesia yang sangat tergantung kepada hutan tersebut.

Beberapa kesempatan untuk melakukan reformasi yang lebih lanjut meliputi:

  1. Melacak Perizinan Hutan: Saat ini, kantor badan-badan nasional dan pemerintah lokal seringkali tidak saling berbagi informasi mengenai perizinan HPH, tambang, kelapa sawit, dan penggunaan hutan lainnya. Akibatnya, lebih dari satu pengguna hutan dapat beroperasi di wilayah yang sama, memicu terjadinya kebingungan dan konflik. Satgas REDD+ Indonesia, badan pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasi seluruh kegiatan yang berhubungan dengan REDD+, sedang memanfaatkan moratorium untuk mengembangkan database online yang terbuka untuk publik mengenai seluruh perizinan hutan di Indonesia. Satgas REDD+ menargetkan untuk mempublikasikan semua perizinan dari satu provinsi, Kalimantan Tengah, pada Juni 2013. Satgas harus memperluas proyek ini ke 33 provinsi lainnya di Indonesia setelah menyelesaikan proyek percobaan di Kalimantan Tengah.

  2. Memperkuat Proses Peninjauan Ulang Perizinan: Sebelum moratorium, badan-badan pemerintah kekurangan pedoman teknis dalam meninjau ulang apakah sebuah perizinan sudah sesuai dengan peraturan di Indonesia – seperti pembatasan konversi lahan gambut dan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mendapatkan izin pengelolaan hutan. Satgas REDD+ saat ini sedang mencoba sebuah proses peninjauan baru di tiga kabupaten di Kalimanatan Tengah dan mengevaluasi apakah perizinan sudah sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan di Indonesia. Namun demikian, masih belum jelas bagaimana atau apakah penilaian ini akan berdampak kepada izin-izin yang ilegal. Jika berhasil, inisiatif ini akan menghasilkan kebijakan nasional yang lebih tangguh dalam pemberian dan peninjauan perizinan hutan.

  3. Menentukan Wilayah Hutan: Indonesia, seperti negara pada umumnya, menentukan kawasan hutan resmi melalui penetapan wilayah-wilayah tertentu (zoning). Penentuan wilayah hutan memberikan fondasi untuk menentukan apa saja dan di mana penggunaan hutan diperbolehkan. Ini merupakan langkah awal penting untuk memperbaiki perencanaan penggunaan lahan dan pengelolaan hutan. Namun demikian, karena konflik di antara pemerintah nasional dan daerah, proses pemetaan hutan Indonesia baru selesai 14 persen. Moratorium memungkinkan satgas REDD+, berkolaborasi dengan Kementrian Kehutanan dan pemerintah lokal, memulai langkah-langkah untuk mengatasi konflik dan mempercepat pemetaan. Satgas telah memulai pekerjaan ini di satu kabupaten, Barito Selatan di Kalimantan Tengah, namun masih perlu diselesaikan dan kemudian diterapkan di seluruh Indonesia.

  4. Mempercepat Perencanaan Tata Ruang: Proses pemetaan kawasan hutan yang lambat telah menghambat pengembangan perencanaan penggunaan lahan di kabupaten dan provinsi, yang membantu memandu investasi langsung pemerintah dan swasta. Hanya 45 persen provinsi di Indonesia dan 56 persen kabupaten yang telah menyelesaikan perencanaan tata ruang mereka hingga April 2013. Moratorium mendorong terbentuknya sebuah badan untuk memandu proses ini, namun belum mendorong perencanaan tata ruang ke tingkat yang diperlukan.

  5. Mendorong Formalisasi Perencanaan Komunitas: Daerah yang dikuasai oleh masyarakat lokal dan tradisional, yang dikenal sebagai daerah adat, secara historis tidak diperhitungkan dalam sistem perencanaan tata ruang resmi Indonesia, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Mengabaikan hak tanah masyarakat adat mengakibatkan kemiskinan, menghambat pembangunan ekonomi, dan menghalangi pengawasan lingkungan. Selama moratorium, satgas mengundang masyarakat untuk mengumpulkan peta-peta komunitas dan perencanaan penggunaan lahan. Namun demikian, karena moratorium tidak membutuhkan pengakuan penuh dari tanah adat, kementrian-kementrian negara harus memberikan kejelasan lebih bagaimana perencanaan komunitas dapat dimasukkan ke dalam proses perencanaan tata ruang resmi.

Hutan-hutan di Indonesia menjadi rumah berbagai satwa liar yang tak terhitung jumlahnya, termasuk spesies-spesies yang terancam punah seperti orangutan. Sumber foto: Eko Prianto, CIFOR

3 Cara untuk Memperkuat Moratorium Hutan Indonesia

Memperpanjang moratorium hutan dapat memastikan bahwa reformasi pemerintah yang sedang berlangsung mencapai potensi mereka yang maksimal. Namun untuk benar-benar memanfaatkan situasi ini dan memperbaiki sektor hutan, pemerintah harus melakukan beberapa reformasi baru, di antaranya:

  1. Mengevaluasi Emisi Gas Rumah Kaca selama Pemberian Izin: Pihak berwenang yang mengeluarkan izin penggunaan hutan kekurangan instrumen-instrumen yang mereka butuhkan untuk mengevaluasi potensi emisi gas rumah kaca dari izin yang mereka keluarkan. Database perizinan online terbaru harus dikombinasikan dengan data tutupan hutan, luas lahan gambut, dan cadangan karbon untuk menghitung risiko emisi. Proses tinjauan ini dapat juga mendukung usaha untuk memindahkan ekspansi pertanian dari lahan yang berhutan ke “lahan yang terdegradasi” yang tidak berhutan. WRI memperkirakan bahwa terdapat lebih dari 14 juta hektar lahan yang terdegradasi yang rendah karbon di empat provinsi Kalimantan saja.

  2. Menyebarkan Pedoman Teknis di Tingkat Lokal: WRI dan mitranya baru-baru ini mewawancarai para pejabat dinas perhutanan di delapan kabupaten untuk menilai tingkat pemahaman mengenai moratorium di tingkat lokal. Meskipun setiap responden sadar akan adanya moratorium, hanya lima dari delapan yang mengetahui jenis-jenis lahan apa saja yang dilindungi, sementara hanya tiga yang memiliki akses terhadap peta wilayah-wilayah yang dilindungi. Memastikan tingkat pemahaman yang mendasar di kabupaten akan menjadi langkah penting untuk mendorong penerapan moratorium.

  3. Meningkatkan Pengawasan dan Penegakkan Hukum: Studi terbaru yang serupa menunjukkan bahwa setengah dari responden dinas perhutanan tidak mengetahui siapa yang bertanggung jawab untuk mengawasi moratorium. Banyak yang mengatakan bahwa tidak ada mandat untuk mengawasi aktifitas di hutan, dan jika telah terjadi penyelewengan, mereka tidak mengetahui ke mana harus melapor. Sistem pengawasan dan penegakkan hukum yang kuat sangat penting untuk memastikan moratorium yang efektif.

Mengatasi deforestasi, mengurangi emisi, dan meningkatkan kualitas hidup bagi jutaan masyarakat Indonesia semua tergantung kepada tata kelola hutan yang baik. Memperpanjang moratorium untuk dua tahun kedepan tidak menjamin pengurangan emisi atau pengelolaan hutan yang lebih baik, namun merupakan titik awal yang penting. Sekarang saatnya memanfaatkan kesempatan ini dan melangkah maju dengan reformasi sektor hutan.