Wakil Presiden WRI untuk bidang Komunikasi, Lawrence Macdonald, baru-baru ini mengunjungi Indonesia untuk mempelajari keterkaitan antara hak-hak lahan dan deforestasi. Artikel ini merupakan salah satu dari tiga rangkaian artikel mengenai petani, perusahaan, pejabat, dan peneliti yang bekerja untuk mendukung Satu Peta.

Apa yang terjadi ketika instansi pemerintah, perusahaan, dan anggota masyarakat bentrok mengenai hak tanah - dan masing-masing pihak memiliki dokumen hukum untuk mendukung klaim mereka? WRI Indonesia tengah mendukung implementasi kebijakan Satu Peta yang diusung oleh pemerintah pusat sebagai pendekatan inovatif demi menyelesaikan perselisihan tersebut. Tim WRI Indonesia bekerja sama dengan komunitas masyarakat di empat provinsi - Riau, Sumatera Selatan, Papua, dan Papua Barat - untuk membantu menyusun peta terpadu dan mempertemukan para pemangku kepentingan yang berselisih untuk menemukan solusi.

Dalam Podcast WRI, Lawrence MacDonald mendiskusikan kebijakan Satu Peta dan peran WRI bersama Adi Pradana, Manajer Tata Kelola Inisiatif Satu Peta, dan Gita Syahrani, Manajer Komoditas dan Bisnis Berkelanjutan setelah mengunjungi sebuah kecamatan di Sumatera Selatan yang tengah mengalami masalah perselisihan lahan tersebut. Berikut cuplikan percakapan mereka.

Q: Bisakah kalian memberikan contoh mengenai kondisi pemetaan di Indonesia yang saat ini dapat menimbulkan kesalahpahaman?

Gita: Dalam salah satu kunjungan kami ke Sumatera Selatan baru-baru ini, kami bertemu dengan komunitas yang berselisih dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit soal batas lahan. Perusahaan merasa memiliki hak atas tanah tersebut, karena mereka memiliki akta atau dokumen hukumnya. Tetapi, masyarakat merasa mereka tidak diajak berkonsultasi, dan menganggap berkas hukum yang juga mereka miliki tidak sesuai dengan klaim perusahaan. Hal-hal seperti ini biasa terjadi ketika Anda tidak memiliki Satu Peta yang dapat dirujuk oleh semua pihak.

Adi: Di Indonesia, pemerintah mengelola sebagian besar hutan, serta memiliki kuasa untuk memberikan izin. Akan tetapi, kita berbicara tentang 48 juta hektar lahan. Kapasitas pemerintah cukup terbatas untuk memantau dan mengelola lahan seluas ini. Dengan ratusan ribu desa yang terletak di dalam wilayah hutan, tidak mungkin memberikan izin lahan kepada perusahaan tanpa memungkinkan masyarakat untuk ambil bagian dalam pengelolaannya. Tentu saja para warga desa menginginkan akses. Di sinilah biasanya letak kemunculan konflik. Dan ini tidak hanya tentang izin hutan, tetapi juga tentang mendapatkan akses ke sumber daya hutan lainnya, misalnya tanaman obat-obatan... Gita: … atau bisa juga akses untuk menggunakan sungai dan aliran air, atau madu, dan berbagai jenis sumber-sumber penghidupan lainnya….

Q: Kuasa yang dimiliiki para pihak - perusahaan dan warga - seringkali tidak setara. Ketika kalian mengadakan diskusi dengan para pemegang kepentingan tersebut, apa manfaatnya bagi para pemilik perkebunan? Mengapa mereka setuju untuk berpartisipasi?

Adi: Konflik menimbulkan biaya. Ketika Anda tidak memiliki batas yang jelas antara konsesi dengan masyarakat sekitar - dan ketika warga sekitar mulai memasuki wilayah perkebunan - perusahaan akan butuh biaya untuk mengelola situasi tersebut. Perusahaan juga dapat kehilangan pendapatan karena para pegawai akan menghabiskan waktu untuk mengurus konflik alih-alih mengerjakan pekerjaan utamanya seperti perawatan dan operasi. Perusahaan juga dapat menderita kerugian akibat risiko terhadap reputasi atau kerusakan properti.

Gita: Kejelasan merupakan hal yang sangat bernilai bagi pihak swasta. Dampak dari konflik dan harga yang dibayar dari kekhawatiran tentang apa yang dapat terjadi harus tercermin dalam kebijakan perusahaan. Sebuah perusahaan di Kalimantan Tengah harus membayar 31 kali harga sebidang tanah karena pihak penerima tidak merasa mendapatkan bayaran yang adil sehingga mereka tetap menekan perusahaan dan meminta lebih.

Adi: Yang menarik adalah, seringkali tidak hanya pihak yang lemah yang membutuhkan bantuan kami dalam meningkatkan posisi tawar atau pengaruh mereka. Proses dalam Satu Peta juga melibatkan kerja sama dengan pihak yang berkuasa untuk membantu mereka meningkatkan empati dan kerja sama.

Q: Mengapa kalian memilih Papua sebagai salah satu daerah yang harus diperhatikan?

Gita: Papua adalah wilayah perbatasan terakhir. Kalau Anda ingin melindungi hutan primer, Papua adalah daerah yang harus dilindungi. Di sanalah sebagian besar sisa hutan di Indonesia berada. Saat ini Papua sedang dalam berbagai ancaman. Tingkat deforestasi sedang naik secara signifikan, sehingga perlu upaya perlindungan sekarang juga.

<p>Farmers listen in on a discussion of land disputes at the Musi Banuasin sub-district office in South Sumatra. Photo by WRI</p>

Farmers listen in on a discussion of land disputes at the Musi Banuasin sub-district office in South Sumatra. Photo by WRI

Q: Apakah kalian berencana bekerja sama dengan komunitas adat di Papua?

Adi: Merekalah yang akan mengarahkan dan memimpin pekerjaan kami di sana. Wilayah Papua memiliki sejarah konflik yang panjang, sehingga kami harus bekerja dengan cara yang sangat inklusif. Kami berencana untuk berkolaborasi dengan para LSM setempat serta mitra kami, bukan untuk mengulang kembali pekerjaan sebelumnya, tetapi untuk mendukung upaya-upaya mereka dan meneruskan hasil kerja yang telah mereka capai.

Gita: Pemerintah nasional sudah menunjukkan tanda kemajuan dalam isu-isu ini. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mendirikan Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial, yang berfokus pada masyakarat. Langkah ini adalah yang pertama bagi Indonesia - yang mengakui bahwa masyarakat, khususnya masyarakat adat, memegang peranan penting. Mahkamah Konstitusi kita juga baru-baru ini mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa hutan adat tidak termasuk ke dalam hutan negara. Dengan adanya keputusan ini, masyarakat adat akhirnya memiliki hak resmi atas tanah adat. Apakah pelajaran dari situasi di Indonesia dapat bermanfaat bagi negara lain?

Gita: Tentu saja. Banyak hal yang kami kerjakan di sini juga terasa sangat mengena bagi kolega kami di Brazil dan Lembah Kongo. Negara-negara di seluruh dunia - Myanmar, Kamerun, Kenya - memiliki inisiatif yang serupa, dan banyak diantaranya terinspirasi dari Indonesia. Kami melihat Satu Peta sebagai sebuah solusi yang tepat untuk menyelesaikan konflik lahan dalam berbagai konteks. Menghubungkan berbagai titik-titik dari berbagai tempat dapat membantu banyak pihak, termasuk kami. Kami masih senantiasa belajar.