Tulisan ini awalnya dipublikasikan di TODAY.

Simon Tay merupakan Ketua Umum Singapore Institute of International Affairs

Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump dapat saja menyebut perubahan iklim sebagai hoax. Akan tetapi hal tersebut tidaklah menghambat momentum di balik Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa bulan lalu di Marrakesh, Maroko.

Kurang dari satu tahun setelah diadopsi, Perjanjian Paris tentang perubahan iklim telah berlaku, dengan sekitar 175 negara yang turut mensepakati. Tahap selanjutnya adalah memulai pelaksanaan komitmen yang telah dibuat setiap negara. Khususnya di Asia Tenggara, kerja sama regional akan menjadi suatu hal yang sangat penting untuk menanggapi persoalan tertentu yang melintasi batas-batas nasional.

Salah satu hambatan terbesar bagi upaya penanggulangan perubahan iklim di Asia Tenggara adalah kebakaran hutan dan lahan gambut Indonesia. Walaupun kebakaran ini paling dikenal sebagai sumber asap tahunan yang menyelimuti kawasan kita, kebakaran tersebut harus dianggap sebagai persoalan dunia tentang emisi karbon.

Sebagai gambaran, kebakaran yang terjadi tahun 2015 di Indonesia menghasilkan karbon dioksida yang setara dengan 1.750 juta metrik ton (MtCO2e) dan besaran tersebut hampir sama dengan jumlah yang dihasilkan oleh keseluruhan kegiatan perekonomian Indonesia rata-rata per tahun (1.800 MtCO2e).

Dengan demikian, merupakan hal yang menggembirakan bahwa Indonesia telah menunjukkan tekad untuk menyikapi persoalan tersebut. Berkurangnya kebakaran pada tahun ini merupakan hasil tidak hanya dari cuaca yang lebih basah, tetapi juga keinginan politik dan upaya bersama pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Pada puncak krisis kabut tahun lalu, Presiden Jokowi mengunjungi Sumatera Selatan untuk memahami kebakaran tersebut secara langsung dan kemudian membentuk Badan Restorasi Gambut pada Januari 2016. BRG diembani tugas untuk melakukan koordinasi restorasi 2,1 juta hektar lahan gambut terdegradasi di seluruh Indonesia hingga tahun 2020.

Dengan mematuhi perintah Presiden Jokowi untuk “menindak keras” perusahaan bandel, polisi Indonesia tahun ini telah menangkap lebih dari dua kali lipat jumlah orang yang ditangkap dalam kasus kebakaran hutan tahun lalu.

Pemerintah Indonesia juga lebih cepat tanggap terhadap kebakaran hutan yang dimungkinkan dengan adanya deklarasi dini akan adanya situasi darurat di enam provinsi. Upaya ini mendapatkan pujian dari para pemimpin negara tetangga, termasuk Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura, Masagos Zulkifli.

Tindakan yang demikian amatlah penting diambil segera setelah kebakaran terjadi. Akan tetapi tantangan nyata sebenarnya adalah mengetahui bagaimana menyelesaikan permasalahan kompleks ini dalam jangka panjang.

Salah satu persoalan mendesak yang ada adalah debat yang masih berlangsung mengenai cara yang paling sesuai untuk merestorasi lahan gambut terdegradasi. Lahan gambut yang terdiri dari bahan organik yang sebagian terurai sering kali dikeringkan untuk ditanami kelapa sawit, akasia untuk bubur kertas (pulp) dan kertas, dan tanaman pertanian lainnya. Akan tetapi gambut yang dikeringkan sangat mudah terbakar di musim kemarau sehingga menimbulkan kebakaran yang memerlukan waktu berbulan-bulan untuk dipadamkan.

Beberapa pihak berpendapat bahwa satu-satunya cara berkelanjutan untuk merestorasi lahan gambut terdegradasi adalah dengan cara pembasahan kembali (rewetting), reboisasi dan perlindungan lanskap secara keseluruhan. Jika tidak, maka kebakaran yang berawal dari lahan pertanian dapat dengan mudah menyebar ke kawasan lindung dan merusak hutan yang masih terjaga.

Yang lebih parah lagi adalah hutan lindung akan terus terkena dampak drainase kawasan pertanian di sekitarnya. Drainase menyebabkan subsidensi permukaan lahan gambut dan lahan yang ada menjadi terkena banjir dan tidak dapat digunakan dalam jangka panjang.

Pihak lain berpendapat bahwa merupakan hal yang tidak realistis untuk melakukan reboisasi areal lahan gambut luas yang telah memiliki ribuan desa dan perkebunan industri ekstensif yang telah menciptakan lapangan kerja yang besar dan manfaat ekonomi.

Mereka juga menekankan fakta bahwa hingga kini terdapat keterbatasan pasar bagi tanaman lahan gambut asli yang tidak memerlukan drainase, seperti misalnya jelutung, sagu dan tengkawang, jika dibandingkan dengan tanaman yang lebih umum dibudidayakan seperti misalnya kelapa sawit dan pinang.

Tampaknya pendekatan yang diambil pemerintah Indonesia adalah dengan cara menyeimbangkan berbagai persoalan tersebut. Pada tanggal 1 Desember lalu Presiden Jokowi menandatangani peraturan yang melarang pembukaan lahan gambut baru untuk budi daya.

Perkebunan juga akan diharuskan untuk menentukan rasio minimum antara kawasan budi daya dan kawasan konservasi, dan menetapkan pedoman untuk pengelolaan perkebunan lahan gambut yang baik. BRG memiliki rencana untuk membasahi kembali areal yang dialokasikan untuk tidak digunakan (set aside area) dan menjadikannya areal konservasi serta meningkatkan kesiapan mereka akan kebakaran dengan cara membuat sumur dan melaksanakan sistem monitoring.

Kini Indonesia menghadapi tantangan untuk menyelaraskan standar-standar tersebut di lahan gambut seluas 12,9 juta hektar yang kemungkinan besar merupakan proses yang kompleks dan memakan waktu. Sementara itu, skala dan urgensi restorasi lahan gambut akan memerlukan dukungan pihak-pihak dari luar Indonesia.

Pertama, kolaborasi diperlukan untuk meningkatkan dan menyebarluaskan pengetahuan mengenai lahan gambut yang hingga kini masih merupakan subyek yang kurang banyak diteliti. Dalam rapat PBB di Marrakesh lalu, telah diluncurkan Inisiatif Lahan Gambut Dunia atau Global Peatlands Initiative (GPI) yang merupakan kerja sama internasional terbesar mengenai lahan gambut hingga kini dan inisiatif ini bertujuan berbagi pengetahuan ilmiah untuk membangun kapasitas setempat bagi pengelolaan lahan gambut. Indonesia merupakan salah satu anggota pemrakarsa GPI.

Pada skala yang lebih dekat dengan Indonesia, Singapore Institute of International Affairs, World Resources Institute Indonesia dan lembaga swadaya masyarakat lainnya di Asean baru-baru ini menyelenggarakan Lokakarya Restorasi Gambut di Jakarta yang menunjukkan upaya restorasi yang sedang berjalan untuk berbagi pembelajaran dengan pihak-pihak lainnya yang melaksanakan proyek serupa.

Kedua, restorasi lahan gambut memerlukan biaya tinggi dan akan membutuhkan dukungan finansial dari negara-negara lain. Secara khusus pendanaan diperlukan untuk meningkatkan skala proyek yang ada sekarang, di mana sebagian besar masih berskala kecil dan bersifat uji coba, sehingga proyek tersebut dapat dilakukan di seluruh lanskap gambut. Hal ini akan memaksimalkan dampak dan meminimalkan konflik yang sering timbul di antara berbagai proyek yang lebih kecil.

Inisiatif yang baru-baru ini diluncurkan untuk menyediakan pendanaan yang demikian adalah Fasilitas Pendanaan Lanskap Tropis atau Tropical Landscapes Finance Facility. Sebagai upaya gabungan antara BNP Paribas, ADM Capital dan United Nations Environment Programme, fasilitas ini telah menggerakkan lebih dari 1,1 Miliar USD (1,59 Miliar USD) investasi untuk memulihkan kembali degradasi lahan, mencegah konversi lahan yang tidak bijaksana dan meningkatkan pendapatan petani kecil.

Donor dari negara barat, terutama Norwegia, juga telah berjanji memberikan dukungan sebesar 135 juta USD kepada BRG. Pihak lain dari masyarakat internasional dan regional juga dapat dan harus memberikan dukungan.

Dalam jangka yang lebih panjang, strategi Indonesia melibatkan adanya perubahan hak legal terhadap perkebunan industri dengan mengubahnya menjadi areal konsesi restorasi ekosistem yang mendanai restorasi hutan dan lahan gambut salah satunya melalui metode penjualan kredit karbon.

Masyarakat internasional memiliki peran yang sangat penting dalam membangun pasar dan memenuhi permintaan untuk kredit tersebut.

Perubahan iklim dilihat sebagai sebuah persoalan yang mempengaruhi semua negara. Karena sekarang Indonesia telah mengambil beberapa langkah penting untuk mencegah kebakaran terjadi kembali, maka merupakan hal yang vital bagi negara-negara lain untuk mulai mendukung upaya ini.

Walaupun pendekatan yang diambil dapat berbeda, perlu diakui bahwa kita sedang bekerja menuju tujuan yang sama dan bahwa terdapat beberapa bidang yang saling bertumpang tindih yang perlu ditangani. Kebutuhan ini bersifat mendesak dan kita tidak boleh melepaskan momentum berharga yang sejauh ini telah kita bangun untuk restorasi hutan dan lahan gambut.