Penebangan liar di Indonesia merupakan permasalahan yang sudah mengakar. Kaya akan hutan, Indonesia memasok 219 juta meter kubik kayu yang dipasok secara ilegal dan tidak dilaporkan dari tahun 1991 sampai 2014. Jumlah ini setara dengan deforestasi lebih dari 2,3 juta hektar, 32 kali luas Singapura. Praktik ini telah menyebabkan kerugian negara dalam bentuk pendapatan non-pajak yang tidak dapat ditagih sebesar US$6,5-9 miliar US$6,5-9 miliar, lebih dari seperempat anggaran infrastruktur negara tahun 2018!

Walaupun pemerintah telah mengambil langkah pemberantasan penebangan liar dalam beberapa tahun terakhir, diperlukan upaya bersama dari semua pihak untuk mengakhiri kegiatan ilegal di hutan Indonesia.

<p>Kayu ilegal disita di Riau, Indonesia. Foto oleh Sofi Mardiah/CIFOR</p>

Kayu ilegal disita di Riau, Indonesia. Foto oleh Sofi Mardiah/CIFOR

Perlunya Penegakan Hukum

Indonesia telah membentuk Sistem Jaminan Legalitas Kayu pada tahun 2009, yang mewajibkan semua operator dalam rantai pasokan kayu untuk memanen kayu dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan. Pada tahun 2016, Indonesia menerbitkan izin ekspor kayu Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan (Forest Law Enforcement, Governance and Trade; FLEGT) untuk pertama kalinya. FLEGT insentif ekonomi bagi produsen, menyediakan "jalur hijau" untuk pengiriman ke Uni Eropa-pasar kayu yang cukup besar dan membebaskan prosedur uji tuntas yang harus dipenuhi untuk impor kayu UE yang tidak berlisensi sebagai pendukung TLAS.

Lisensi tersebut memberikan keunggulan kompetitif bagi eksportir Indonesia di pasar UE yang sangat menguntungkan. Ekspor kayu Indonesia ke UE pada bulan Oktober 2017 mencapai $1,08 miliar,jauh melebihi ekspor di tahun 2015 ($872,2 juta) dan 2016 ($868,8 juta).

Namun, inisiatif ini saja jelas tidak cukup untuk menyelesaikan masalah penebangan liar di Indonesia. Menurut laporan Environmental Investigation Agency (EIA) dan Jaringan Pemantau Kehutanan (JPIK) 2014 berjudul Permitting Crime, beberapa perusahaan yang memegang izin TLAS terlibat dalam pencucian kayu, yaitu mencampur kayu ilegal dengan kayu legal. Saat ini, kayu-kayu ini mungkin sudah diekspor ke UE sebagai kayu dengan izin FLEGT. Baru-baru ini, Koalisi Anti Mafia Hutan menemukan dugaan pelanggaran peraturan rantai pasokan oleh tujuh perusahaan dengan izin TLAS di provinsi Papua, yaitu penerimaan kayu yang ditebang secara ilegal dari hutan yang belum terjamah. Sekitar sepertiga hutan hujan Indonesia yang tersisa berada di Papua.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan perilaku ilegal ini terus berlanjut: lembaga sertifikasi menerbitkan sertifikat TLAS tanpa penilaian menyeluruh, ketidakjelasan konsekuensi hukum untuk pelanggaran, batas operasi kayu yang tidak jelas dan kendala keterbatasan pemantauan dan sumber daya manusia yang dihadapi Indonesia dalam penegakan hukum legalitas kayu.

<p>Kayu jati Indonesia. Foto oleh Deanna Ramsay/CIFOR</p>

Kayu jati Indonesia. Foto oleh Deanna Ramsay/CIFOR

Sebagai contoh, di bawah sistem pemantauan TLAS, pemantau independen berhak untuk menyelidiki dan melaporkan temuan ke lembaga sertifikasi yang beroperasi di bawah pengawasan Komite Akreditasi Nasional dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Walaupun sanksi administratif telah dikenakan bagi ketidakpatuhan kepada TLAS, seperti pembatalan sertifikasi TLAS perusahaan oleh lembagi sertifikasi dan pencabutan atau penangguhan izin operasi oleh KLHK, tidak ada catatan publik mengenai jumlah sertifikat TLAS dan izin lembaga sertifikasi yang telah dicabut.

Sementara itu, penegakan hukum yang telah dilakukan sering kali tidak konsisten dan tidak adil. Misalnya, Labora Sitorus, seorang penebang liar yang terkenal di Papua, hanya dijatuhi hukuman penjara dua tahun dan denda Rp50 juta ($3.700) oleh pengadilan, meskipun dituduh mencuci uang senilai Rp1,5 triliun ($111 juta) dari perdagangan kayu ilegal. Di sisi lain, Nenek Asyani, seorang wanita tua yang diduga mencuri 38 kayu jati dari Perhutani, dijatuhi hukuman penjara satu tahun dan denda Rp500 juta ($37.000).

Sistem yang Lebih Baik untuk Memecahkan Masalah Penebangan Liar

Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK berpendapat bahwa penerapan TLAS secara konsisten, termasuk penerapan sanksi tegas bagi pelanggar, sangat penting untuk memperbaiki reputasi Indonesia sebagai produsen kayu legal. Pemerintah Indonesia telah membuat beberapa insentif untuk mitigasi penebangan liar melalui TLAS dan FLEGT. Inilah saatnya hukuman untuk menindak mereka yang tidak patuh mulai diperkuat.

Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat harus menetapkan sanksi yang cukup berat bagi pelanggar TLAS. Di Amerika Serikat misalnya, pemerintah mengubah Undang-Undang Lacey pada tahun 2008 untuk melarang impor dan perdagangan kayu yang dipasok secara ilegal dan memberikan sanksi termasuk hukuman penjara dan denda. Tingkat hukuman tergantung dari upaya yang dilakukan pelanggar untuk memastikan produk tersebut dipasok secara legal. Menurut studiUnion of Concerned Scientists, impor kayu ilegal ke Amerika Serikat telah menurun 32-44 persen dari tahun 2007 sampai 2013, lima tahun setelah amendemen Lacey.

Kedua, pemerintah harus memperkuat penilaian TLAS. Secara hukum, lembaga sertifikasi diwajibkan untuk melakukan penilaian atas banyak faktor, seperti batas konsesi, hak masyarakat adat, langkah konservasi satwa liar dan standar ketenagakerjaan, sebelum memberikan sertifikat TLAS. Akan tetapi, menurut laporan singkat Dewan Kehutanan Nasional (DKN), sebagian besar penilaian TLAS dilakukan berdasarkan penyerahan daftar periksa dokumen (seperti izin konsesi, Prosedur Operasi Standar untuk melindungi satwa liar, dll.) oleh pengusaha kayu. Lembaga sertfikasi jarang menilai cara pengusaha memperoleh dokumen-dokumen ini atau apakah kebijakan ini benar-benar diterapkan. Pemerintah harus menekankan pendekatan penilaian berbasis fakta dan bukan berdasarkan dokumen, termasuk pemantauan kepatuhan berkala setelah perusahaan menerima sertifikasi.

Membasmi Penebangan Liar di Indonesia

Memberantas penebangan liar tidaklah mudah dan Indonesia bukan satu-satunya negara yang terjerat masalah tersebut. Walaupun pemerintah telah berhasil menyediakan insentif yang positif bagi produsen kayu melalui izin FLEGT, dukungan penegakan hukum yang lebih tegas masih diperlukan. Hutan Indonesia yang penting bagi dunia bergantung pada penegakan tersebut.