Kebakaran hutan di Kalimantan Barat, Indonesia. Sumber Foto: Billy Gabriel/Flickr
Kebakaran hutan di Kalimantan Barat, Indonesia. Sumber Foto: Billy Gabriel/Flickr

Awal minggu ini, DPR RI meratifikasi Perjanjian ASEAN tentang Polusi Kabut Asap Lintas Negara ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution—12 tahun setelah perjanjian untuk mengurangi polusi asap dari kebakaran hutan dan lahan di Asia Tenggara tersebut ditandatangani. Ratifikasi dari perjanjian ini, ditambah dengan Transboundary Haze Pollution Act (Peraturan Polusi Kabut Asap Lintas Negara) terbaru Singapura, mengirimkan pesan yang jelas bahwa kebakaran hutan dan lahan ilegal di Indonesia, dan polusi asap regional akibat kebakaran tersebut, tidak akan ditoleransi lagi.

Ratifikasi perjanjian tersebut dilakukan pada saat yang tepat. Minggu ini, kebakaran terjadi di Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat, mengancam hutan, masyarakat, dan satwa liar yang hidup di wilayah tersebut. Dan karena sebuah badai tropis mengubah arah angin, asap kembali mengarah ke Singapura. Pollutant Standards Index (PSI) menunjukkan tingkat yang membahayakan, mengundang perhatian internasional.

Anda bisa melihat informasi dalam waktu yang hampir seketika mengenai titik api, konsesi, arah angin, dan lebih banyak lagi di  Global Forest Watch Fires (GFW Fires), sebuah wadah untuk memantau titik api yang dikembangkan oleh WRI, BP REDD+, DigitalGlobe, Google, Esri, bersama dengan mitra lainnya. Baca lebih lanjut untuk mendapatkan analisis yang lebih mengenai kabakaran di Indonesia, dan bagaimana peraturan-peraturan baru dapat membantu menghentikan kebakaran ilegal.

Kebakaran Meningkat Drastis di Sumatra dan Kalimantan

Sementara kebakaran biasanya terjadi di Indonesia pada musim kemarau, minggu ini terjadi peningkatan yang signifikan dalam jumlah peringatan titik api. Data dari GFW Fires menunjukan 358 peringatan titik api dengan potensi kejadian tinggi di seluruh Sumatra, dan 527 peringatan titik api dengan potensi kejadian tinggi di seluruh Kalimantan dalam seminggu terakhir. Enam puluh enam persen dari peringatan titik api tersebut terjadi di dalam batas-batas konsesi kelapa sawit, HPH, dan HTI.

Jumlah titik api secara jelas terlihat meningkat dari beberapa minggu yang lalu, khususnya untuk provinsi-provinsi di Kalimantan Tengah dan Barat, dan Sumatra Selatan (lihat Gambar 1). Dalam pola yang berbeda (different) dari dua kebakaran besar sebelumnya pada Juni 2013 dan Februari dan Maret 2014, jumlah peringatan titik api di Provinsi Riau lebih rendah dibandingkan wilayah di sekitarnya.





Apakah Peraturan Baru Singapura dapat Membantu Mengurangi Kebakaran Hutan?

Kebakaran ilegal – biasanya berhubungan dengan konsesi kelapa sawit, HPH, dan HTI, atau dengan konflik di wilayah tersebut – sudah lama menjadi sebuah masalah di Asia, khususnya Indonesia. Peraturan baru di Singapura memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menghukum dan memberikan denda kepada perusahaan yang bertanggung jawab terhadap kebakaran yang menyebabkan polusi asap di Singapura – terlepas di negara apa perusahaan tersebut sedang beroperasi – ketika indeks polusi menunjukan angka lebih dari 100 selama 24 jam atau lebih. Tingkat polusi udara yang melebihi batas normal terjadi selama hampir satu hari pada tanggal 15 September, namun kemudian membaik berkat perubahan arah angin. Peraturan tersebut juga memperbolehkan warga Singapura untuk menuntut pelaku penyebab kabut asap atas kasus-kasus sipil– sebagai contohnya, penurunan pendapatan hotel atau gangguan saluran pernapasan akibat kabut asap.

Data kualitas udara dan arah angin yang diperoleh secara hampir seketika di Global Forest Watch Fires menunjukan bahwa awal minggu ini, angin dari selatan Sumatra membawa kabut dan asap melewati Singapura, walaupun peta arah angin terbaru sepertinya mengindikasikan bahwa kabut dan asap dari Kalimantan dapat terbawa ke Singapura juga (lihat data mengenai GFW Fires disini; data kualitas udara diperbaharui setiap jamnya, dan arah angin diperbaharui empat kali sehari).

Pemerintah Singapura dapat menginvestigasi perusahan yang beroperasi di wilayah-wilayah tersebut dan, jika terjadi kebakaran ilegal, menindak berdasarkan Peraturan Polusi Asap Lintas Negara. (Anda dapat melihat daftar konsesi kelapa sawit, HPH, dan HTI dengan jumlah peringatan titik api terbesar di GFW Fires, atau merujuk kepada Gambar 5 di akhir blog ini).


[](http://www.wri.org/sites/default/files/uploads/figure_4_fires_in_sumatra_cause_poor_air_quality_in_singapore.jpg)
Sebuah perubahan pola angin selatan membawa kabut dan asap ke Singapura pada tanggal 15 September, ketika polusi udara meningkat drastis di Singapura.

Potensi Dampak Ratifikasi Perjanjian Kabut Asap Lintas Negara oleh Indonesia

Keputusan DPR RI untuk meratifikasi ASEAN cross-border haze treaty (Perjanjian kabut asap lintas Negara ASEAN) menunjukkan puncak dari semua usaha untuk meningkatkan pemantauan titik api di Indonesia.

Sementara pasal-pasal spesifik di dalam Undang-Undang Kabut Asap Lintas Negara sebagian besar telah tercantum di dalam peraturan yang sudah berlaku mengenai kebakaran ilegal dan pengurangan titik api, pasal-pasal tersebut dapat memberikan tekanan tambahan untuk menegakkan peraturan tersebut. Terlepas dari sejarah panjang kebakaran ilegal, kejadian akhir-akhir ini menunjukan bahwa Indonesia memberikan perhatian yang lebih serius mengenai masalah kebakaran. Presiden Susilo Bambang Yodhoyono memerintahkan BP REDD+ untuk memperkuat usaha dan koordinasi di seluruh pemerintahan untuk mengatasi kebakaran hutan. BP REDD+, bekerja sama dengan badan-badan pemerintahan lainnya, membentuk sebuah “panitia khusus” untuk merespon kebakaran yang terjadi. Dengan menggunaan instrumen-instrumen yang diperbaharui seketika seperti GFW Fires, mereka bekerja untuk mempercepat waktu respon kebakaran sebesar 80 persen, dari 30 jam lebih menjadi dua hingga empat jam. Industri juga telah mengambil langkah maju. Pada bulan Juni, RSPO menjadi badan sertifikasi komoditas pertama yang secara publik membagi data batas-batas wilayah produksi yang bersertifikasi, yang memungkinkan banyak pihak mengawasi kebakaran di wilayah konsesi tersebut.

Seperti halnya peraturan lainnya, efektifitas perjanjian ASEAN yang baru diratifikasi akan sangat tergantung dari kualitas penegakan hukumnya. Namun dengan instrumen-instrumen pengawasan yang diperbaharui dalam waktu seketika seperti GFW Fires dan momentum yang memuncak untuk membongkar pelaku kebakaran ilegal, sepertinya situasi kedepan akan menjadi lebih baik.


 

INFORMASI LEBIH: Untuk analisis yang lebih mendalam dari WRI mengenai kebakaran di Indonesia, silakan lihat seri blog kami.

 

WRI menggunakan data titik api aktif NASA untuk menentukan kemungkinan letak terjadinya kebakaran di lapangan. Sistem ini menggunakan satelit-satelit NASA MODIS yang memantau seluruh permukaan bumi setiap 1-2 hari sekali. Sensor di satelit tersebut menangkap tanda-tanda panas dari titik api di dalam batas-batas spektrum infra merah. Ketika gambar satelit diproses, sebuah algoritma mencari tanda-tanda yang menunjukkan adanya kebakaran. Ketika api ditemukan, sistem menunjukkan wilayah seluas 1km2 di mana api tersebut muncul dengan sebuah “peringatan”. Sistem ini akan hampir selalu mendeteksi api seluas 1.000m2, namun dalam kondisi yang mendukung, dapat mendeteksi api sekecil 50m2. Karena setiap satelit melewati khatulistiwa dua kali sehari, peringatan ini dapat diberikan dalam waktu yang hampir seketika. Peringatan titik api dipublikasikan di website NASA FIRMS 3 jam setelah terdeteksi oleh satelit.

Akurasi deteksi titik api telah meningkat sejak sistem deteksi titik api pertama kali dikembangkan untuk satelit MODIS. Saat ini, tingkat peringatan palsu adalah 1/10 dari sebelumnya 1/1000 menggunakan sistem awal yang dikembangkan awal 2000an. Algoritma yang digunakan untuk mendeteksi titik api termasuk langkah-langkah untuk mengeliminasi sumber-sumber peringatan palsu seperti kilauan matahari dan air, lingkungan gurun yang panas, dan lainnya. Ketika sistem tidak mendapatkan informasi yang cukup untuk mendeteksi keberadaan titik api secara pasti, peringatan titik api dihentikan. Secara umum, observasi di malam hari memiliki akurasi yang lebih tinggi ketimbang di siang hari. Ekosistem gurun memiliki tingkat peringatan palsu yang paling tinggi. Banyak laporan telah dipublikasikan untuk memvalidasi penggunaan peringatan titik api aktif NASA MODIS di berbagai aplikasi. WRI sedang membuat rekomendasi untuk mendeteksi titik api yang disebabkan oleh pembukaan lahan (dijelaskan di Morton dan Defries, 2008), mengidentifikasi titik api dengan tingkat kecerahan≥330 Kelvin dan tingkat keyakinan ≥ 30% untuk mengindikasikan titik api yang disebabkan oleh pembukaan lahan. Titik api dengan tingkat keyakinan yang rendah adalah titik api dengan intensitas yang rendah yang dapat berasal dari aktivitas yang tidak berhubungan dengan pembukaan lahan (membuka padang rumput atau membakar rumput), atau dapat berasal dari kebakaran yang telah berkurang intensitasnya (api kecil dan tidak membara). Penggunaan klasifikasi ini membentuk standar yang lebih tinggi dalam mendeteksi titik api dibandingkan ketika menggunakan seluruh peringatan titik api tanpa ada pembedaan.

Sumber:

NASA FIRMS FAQ Morton, D., R. DeFries, J. T. Randerson, L. Giglio, W. Schroeder, and G. van der Werf. 2008. Agricultural intensification increases deforestation fire activity in Amazonia. Global Change Biology 14:2262-2276.

Sumber data untuk gambar:

NASA Fire Information for Resource Management (FIRMS) Active Fire Data, June 17, 2014 - June 23, 2014

Administrative boundaries from GADM and Center for International Forestry Research (CIFOR)