Selain berperan penting bagi kesejahteraan masyarakat melalui hasil hutan, hutan juga merupakan tempat penyimpanan karbon. Sayangnya, deforestasi dan degradasi lahan besar-besaran terus terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya. Lebih dari 24 juta hektar lahan di Indonesia telah rusak - hampir dua kali luas Inggris. Dari lahan yang rusak tersebut, dua juta hektar merupakan kawasan konservasi, termasuk taman nasional, cagar alam, dan suaka margasatwa. Oleh karena itu, restorasi harus dilakukan.

Inisiatif restorasi lanskap dan hutan, termasuk di kawasan konservasi, tidak hanya mengembalikan fungsi ekologis dan keanekaragaman hayati, tetapi juga memiliki keuntungan sosial dan ekonomi yang cukup besar. Restorasi hutan di Amerika Latin contohnya, dapat menghasilkan keuntungan dari sisi ekonomi, yakni sebesar 1.140 dolar per hektar dari produk kayu dan non-kayu, produksi agricultural, dan ekowisata. Maka wajar jika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Rencana Strategis tahun 2015-2019 menentukan target untuk merestorasi 100.000 hektar lahan terdegradasi di kawasan konservasi hingga tahun 2019, walaupun pencapaiannya masih rendah.

Satu tantangan utama dalam mencapai target tersebut adalah kurangnya sumber daya keuangan untuk kegiatan restorasi. Dengan anggaran tahunan rata-rata Rp 15 triliun (1,1 juta dolar) di tahun 2015-2017, pemerintah hanya dapat mencapai 55% dan 13% dari target restorasi tahunan di tahun 2015 dan 2016. Untuk mengisi kebutuhan pendanaan ini, KLHK mencoba pendekatan kerja sama pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam melakukan restorasi di kawasan konservasi.

Kami menganalisis lebih dari 90 kemitraan restorasi di 51 taman nasional di Indonesia dengan data yang berasal dari rapat koordinasi pemerintah-swasta-masyarakat untuk restorasi kawasan konservasi, yang diselenggarakan oleh KLHK, dan dari Statistik tahun 2016 Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Secara khusus, kami mempelajari penyebaran kemitraan dan target restorasi untuk memahami tren inisiatif restorasi di kawasan konservasi saat ini. Temuan kami diuraikan di bawah ini. Temuan tersebut masih bersifat indikatif, karena beberapa data, seperti kegiatan dan pencapaian kemitraan restorasi, tidak tersedia bagi masyarakat umum sehingga tidak dimasukkan dalam analisis.

Sebagian Besar Kemitraan Restorasi Saat Ini Berada di Indonesia Bagian Barat dan Tidak Mencakup Lahan Terdegradasi

Peta interaktif di bawah menunjukkan penyebaran kemitraan restorasi di seluruh taman nasional di Indonesia.

Sebagian besar kegiatan restorasi di Indonesia masih berfokus di Indonesia bagian barat, termasuk Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Meskipun sudah sesuai dengan target penyebaran restorasi dalam rencana strategis KLHK yang 85% berada di Indonesia bagian barat, penyebaran ini mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan restorasi yang sebenarnya.

Berdasarkan klasifikasi degradasi lahan KLHK (kritis dan sangat kritis) dan data spasial tahun 2013 untuk degradasi lahan, luas lahan terdegradasi di seluruh taman nasional di Indonesia hampir mencapai satu juta hektar. Bahkan jika target restorasi KLHK untuk tahun 2015-2019 tercapai, pencapaian itu hanya mencakup 10% dari total lahan rusak di seluruh taman nasional.

Target Restorasi vs. Lahan Terdegradasi di Taman Nasional Berdasarkan Wilayah

Walaupun Keputusan Menteri No. 18/2016 tentang Penetapan Lokasi Pemulihan Ekosistem pada Kawasan Konservasi yang Terdegradasi menyatakan bahwa target restorasi harus ditetapkan berdasarkan data degradasi lahan tahun 2013, target restorasi yang ditentukan dalam Rencana Strategis kemungkinan besar tidak dapat memenuhi kebutuhan yang sebenarnya. Bagan di atas menunjukkan kesenjangan antara besarnya lahan terdegradasi dan target restorasi di daerah timur Indonesia seperti Maluku, Nusa Tenggara, Papua, dan Sulawesi. Hal ini menunjukkan prioritas restorasi yang lebih rendah di wilayah Timur tersebut meskipun ada banyak lahan terdegradasi. Dengan kata lain, dengan berfokus di bagian barat Indonesia, inisiatif restorasi mungkin akan membantu pencapaian target restorasi lahan. Akan tetapi, lahan terdegradasi yang cukup luas di bagian timur tetap tidak akan tersentuh.

Jadi, bagaimana cara menutup kesenjangan tersebut?

Data yang Lebih Baik untuk Pengambilan Keputusan yang Lebih Baik

Masing-masing mitra restorasi menentukan lokasi kegiatan restorasi dengan cara dan berdasarkan informasi yang berbeda, mulai dari analisis biaya manfaat hingga penilaian risiko. Data restorasi yang terpercaya, termasuk target restorasi, penyebaran degradasi lahan, pencapaian target, dan penyebaran proyek restorasi, sangat penting dalam proses pengambilan keputusan ini. Untuk memperbaiki data restorasi tersebut, KLHK harus memastikan bahwa target restorasi yang ditetapkan telah sejalan dengan penyebaran kerusakan lahan, agar mitra restorasi dapat berfokus pada kawasan yang kurang mendapat perhatian dan upaya restorasi lebih merata sesuai dengan kebutuhan. Jika diperbaiki secara efektif, data tersebut dapat membantu para pemangku kepentingan dalam menyesuaikan prioritas wilayah restorasi berdasarkan kebutuhan.

<p>Sumber: Peraturan Menteri No. 85/2014</p>

Sumber: Peraturan Menteri No. 85/2014

Sesuai dengan tabel di atas, organisasi lokal yang ingin melakukan proyek restorasi di satu lokasi harus mendapatkan izin dari unit teknis daerah terkait, dan bukan dari KLHK. Akan tetapi, tidak semua proyek restorasi dilaporkan hingga tingkat nasional, meskipun ada laporan proyek kepada KLHK. Oleh karenanya, data restorasi di tingkat administrasi nasional dan daerah menjadi tidak lengkap dan tidak konsisten.

Untuk menjawab masalah ini dan meningkatkan efektivitas dalam proses pembuatan kebijakan dan perencanaan, harus ada mekanisme pelaporan yang sesuai. Hal ini dapat dimulai dari kerja sama yang lebih baik antara para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan lembaga non-pemerintah, dalam memberikan informasi restorasi yang benar, termasuk laporan tahunan dan interim. Proses ini dapat memperkuat prosedur kemitraan yang ada sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri No. 85/2014. Informasi ini sangat penting untuk menghindari penumpukan kegiatan restorasi di daerah tertentu, memantau perkembangan pencapaian target, dan pada akhirnya meningkatkan kualitas data restorasi.

Jika mekanisme pelaporan yang sesuai telah dibuat, KLHK harus membuat inisiatif agar data dapat diakses oleh masyarakat umum. Tersedianya data restorasi yang terbuka bagi masyarkat umum akan membantu meningkatkan kesadaran akan kebutuhan restorasi dan membantu calon mitra restorasi dalam menentukan lokasi dan strategi restorasi. Mitra, termasuk masyarakat lokal, akan dapat menentukan daerah yang membutuhkan, seberapa jauh perkembangannya, dan apakah dukungan lebih lanjut pemerintah dibutuhkan untuk merestorasi lahan rusak di kawasan konservasi. Data yang mudah diakses juga dapat menjadi awal pertukaran informasi yang lebih baik antara para pemangku kepentingan. Bagaimanapun, data yang akurat dan dialog berkelanjutan antara pemangku kepentingan merupakan salah satu faktor kunci bagi kesuksesan restorasi hutan dan lanskap, terutama di kawasan konservasi.