Ditulis oleh Ines Ayostina, seorang peneliti muda untuk Program Wahana Riset Indonesia.

“... Salah satu tujuan insinyur lingkungan adalah mewujudkan keberlanjutan, untuk mencapai hal ini Anda harus mampu bekerja sama dengan insinyur dari bidang lain, pengacara, ekonom, pembuat kebijakan, dan pihak-pihak lain di luar bidang Anda. Anda mungkin perlu mempelajari bahasa mereka atau bahkan memegang salah satu posisi tersebut selama perjalanan karir Anda ....” kata seorang profesor di kelas analisis mengenai dampak lingkungan semasa kuliah yang masih melekat di ingatan saya.

Tumbuh besar di era yang diwarnai oleh isu perubahan iklim dan masalah lingkungan seperti banjir, polusi udara yang parah, dan kekeringan yang mulai meningkat kemudian mendorong saya untuk bekerja di sektor lingkungan, karena saya ingin memastikan bahwa generasi selanjutnya masih dapat menikmati hal-hal yang kita miliki saat ini. Untungnya, WRI Indonesia adalah tempat kerja yang sempurna untuk mewujudkan aspirasi seperti ini.

Kecerdasan sebagai peneliti

Kesempatan untuk ikut serta dalam program peneliti muda Wahana mengajarkan saya untuk rendah hati. Angkatan kecil kami akrab dan terdiri dari sosok-sosok luar biasa dari berbagai latar belakang dan aspirasi yang beragam! Kami melakukan check in berkala untuk saling berbagi mengenai tantangan, temuan awal, atau terkadang untuk sekadar mendengarkan dan mempelajari pendekatan penelitian yang digunakan oleh peneliti lainnya. Saya turut mengamati penelitian tentang minyak kelapa sawit berkelanjutan, lahan gambut, gender dalam kehutanan sosial, akuntansi modal alam, dan persepsi masyarakat. Di luar urusan pekerjaan, kami juga sesekali berkumpul!

Sebelum bergabung dengan WRI, saya pernah terlibat dalam proyek yang berfokus pada karbon biru (istilah yang diberikan untuk karbon yang diserap, disimpan, atau dilepaskan - dalam ekosistem laut dan pesisir, termasuk hutan mangrove, lamun dan rawa pasang surut), saya memutuskan untuk turut membantu agar dapat memajukan isu ini. Pada awalnya, saya terlalu berfokus pada latar belakang teknis saya. Setelah mentor saya mengingatkan saya agar benar-benar kritis dalam merumuskan pertanyaan penelitian, saya menyadari bahwa pertanyaan penelitian sangatlah diperlukan. Bahkan, penyelesaian masalah dimulai dengan mengajukan pertanyaan yang tepat. Dengan demikian, pertanyaan penelitian saya membuat saya melakukan perubahan besar, serta mengeksplorasi isu di luar pendekatan teknik yang saya kenal, yakni: tata kelola. Orang mungkin berasumsi bahwa peneliti perlu memiliki kemampuan analitis dan kompetensi akademik yang kuat. Walaupun asumsi tersebut mungkin benar, aspek-aspek penting lainnya seperti artikulasi dan kemampuan untuk berkomunikasi serta keterampilan untuk membahas isu-isu sensitif dengan pembuat kebijakan secara hati-hati ternyata sangat membantu untuk menjawab pertanyaan penelitian. Saya masih terus belajar dan berharap bahwa saya bisa menjadi lebih baik seiring dengan berjalannya waktu.

Mempresentasikan hasil penelitian saya di Pekan Iklim Asia Pasifik pada Sesi Solusi Berbasis Alam. Foto diambil oleh: Kathryn Bimson/IUCN

Mendukung pengembangan program kelautan

Pada suatu hari yang indah di awal tahun 2019, tim lautan membahas dan mempresentasikan program kami kepada Chief of Staff WRI. Program kelautan adalah portofolio terbaru di WRI, baik di tingkat global maupun nasional, yang berfokus pada laut dan sumber daya di dalamnya. Sektor ini sangat relevan bagi Indonesia sebagai negara yang memiliki luas lautan hampir empat kali lipat dari luas daratan. Percayalah saat saya mengatakan bahwa proses merintis dan membangun sesuatu tidaklah semudah yang dibayangkan. Dari diskusi tersebut, saya menyimpulkan bahwa salah satu cara untuk mendukung proses pembangunan adalah kolaborasi.

Kunjungan lapangan ke lokasi budidaya rumput laut di Nusa Tenggara Timur. Foto diambil oleh: Ines Ayostina/WRI Indonesia

Setelah menangani isu-isu terkait lautan dan keberlanjutan, saya menyadari bahwa banyak isu sebetulnya saling terkait dan pengalaman kita membentuk persepsi. Sebagai contoh, saya sebelumnya selalu berpendapat bahwa tantangan utama dalam jangka panjang bagi perikanan budidaya (aquaculture), yakni budidaya biota air, adalah limbah cair yang dihasilkan dari tambak udang, yang meningkatkan kerentanan terhadap penyakit. Penyebabnya adalah karena sebagian besar petani udang tradisional di Indonesia tidak memiliki instalasi pengolahan air limbah. Sebenarnya, masalah ini bahkan jauh lebih luas. Perencanaan tata ruang perlu dipertimbangkan, terutama jika zona pesisir digunakan untuk berbagai keperluan. Daerah pesisir dan lautan digunakan oleh berbagai sektor seperti perikanan budidaya, transportasi laut, dan pariwisata. Setiap pengguna memiliki prioritas, kebutuhan sumber daya, dan nilai masing-masing, yang seringkali berbenturan. Oleh karena itu, saya meyakini bahwa kita akan memperoleh cara berpikir yang baru dengan memahami keterkaitan ini. Bahkan, inovasi biasanya muncul di titik tersebut!

Walaupun berpikir dapat membantu kita dalam mengajukan pertanyaan yang tepat, mungkin ada aspek lain yang dapat membantu dalam menjawab pertanyaan penelitian. Melalui kolaborasi dan dengan mengkaji berbagai masalah dan sudut pandang yang berlawanan, kita dapat memperoleh informasi berharga yang mendorong inovasi. Pandangan seperti ini sangat penting dalam mengatasi masalah keberlanjutan karena faktor yang membedakan bukan disiplin ilmu melainkan tantangan yang perlu dihadapi dan ditangani.

Ini adalah beberapa pelajaran yang juga saya petik di luar dari hal-hal serius (dan menyenangkan!) di WRI. Seperti kata pepatah, pembelajaran yang sesungguhnya adalah yang mengalir dari kita kepada orang lain. Pesan saya bagi kaum muda yang ingin mengatasi tantangan mendesak pada isu keberlanjutan adalah bahwa Anda juga dapat bergabung dengan kami, apapun latar belakang Anda! Silakan kunjungi situs web kami untuk melihat lowongan yang sedang dibuka di WRI : D