Pujian dari para pemimpin dunia, termasuk mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore, atas upaya Pemerintah Indonesia untuk memulihkan dan melindungi lahan gambut sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim pada Konferensi Perubahan Iklim PBB COP23 di Bonn, Jerman, pada bulan November 2017 merupakan kebanggan bagi Indonesia.

Upaya yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo tersebut merupakan langkah strategis yang penting, terutama setelah terjadinya kebakaran hutan di tahun 2015 yang sebagian besar terjadi di lahan gambut yang kaya akan karbon. Kebakaran tersebut mengakibatkan 19 korban jiwa, 500.000 orang menderita infeksi saluran pernafasan akut dan lebih dari 4 juta siswa berhenti sekolah selama satu bulan, dengan kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai Rp221 triliun. Kebakaran juga melepaskan 1,62 miliar metrik ton gas rumah kaca (GRK) ke udara, setara dengan emisi yang dihasilkan oleh sekitar 350.000 kendaraan dalam satu tahun.

Sebagai negara hukum di mana kekuasaan pemerintah diatur oleh hukum, usaha restorasi dan perlindungan lahan gambut di Indonesia membutuhkan dukungan penegakan hukum, termasuk pembentukan peraturan baru mengenai rencana spasial lahan gambut yang mensyaratkan pelestarian lahan gambut yang dilindungi sebagaimana ditetapkan. Sayangnya, beberapa lahan gambut telah mendapatkan izin usaha, perkebunan dan pertanian atau hak tanah. Situasi ini tentunya berpotensi menyebabkan konflik antara peraturan baru dan izin atau hak tersebut. Pemegang izin atau hak biasanya menggunakan sistem hukum sebagai alasan untuk menolak peraturan baru, di mana kepastian hukum secara sempit ditafsirkan sebagai peraturan hukum tidak boleh diubah. Pemegang izin beralasan bahwa mereka telah mendapatkan izin secara legal sehingga peraturan baru tersebut tidak seharusnya memengaruhi konsesinya.

Konflik sejenis terjadi baru-baru ini ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan peraturan yang mewajibkan pemegang izin perkebunan kehutanan untuk menyesuaikan rencana kerjanya dengan rencana lahan gambut yang baru dibuat oleh kementerian. Akibat konflik tersebut, gugatan dilayangkan oleh Riau-KSPSI, sebuah serikat buruh di industri kehutanan. Serikat buruh tersebut mengajukan permintaan kepada Mahkamah Agung untuk melakukan pemeriksaan yudisial atas peraturan baru ini dan membatalkannya. Mahkamah Agung mengabulkan permintaan pemohon, menyatakan bahwa peraturan baru tersebut bertentangan dengan Undang-Undang 41/1999 tentang Kehutanan dan menyarankan agar pembuat peraturan melakukan kajian akademis dalam pembentukan peraturan baru.

Ada satu pertanyaan penting yang muncul: Apakah sistem hukum tidak memperbolehkan pemerintah mengubah peraturan hukum yang berdampak buruk pada izin dan kewajiban atau hak hukum yang ada?

Sistem hukum sejatinya adalah cara negara demokrasi mencegah praktik pemerintahan yang sewenang-wenang dan diskriminatif. Hukum, sebagai serangkaian peraturan yang harus dipatuhi masyarakat, seharusnya dikeluarkan oleh pihak berwenang sesuai dengan standar, prosedur dan tujuan yang ditetapkan oleh hukum. Ada pendapat yang berkembang di antara pakar hukum bahwa sistem hukum seharusnya tidak hanya berlandaskan prosedur formal, yang mengatur bahwa peraturan hukum harus jelas, terbuka, relatif stabil dan dibuat berdasarkan undang-undang. Mereka beranggapan bahwa sistem hukum juga harus memperhitungkan nilai-nilai di masyarakat, terutama hak asasi manusia, keadilan dan moral.

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD), hukum tertinggi di hierarki legislatif Indonesia, mengenal nilai-nilai masyarakat tersebut. UUD mengakui hak asasi manusia, seperti hak atas lingkungan yang bersih dan sehat serta hak atas keadilan. Hak asasi manusia harus dihormati atas dasar pertimbangan moral, nilai-nilai keagamaan, keamanan dan ketertiban umum. Karena itu, peraturan hukum di Indonesia tidak hanya mengikuti prosedur standar tetapi juga nilai-nilai masyarakat.

Di samping itu, undang-undang yang stabil tidak berarti bahwa undang-undang tidak dapat diubah. Sebaliknya, undang-undang harus terus disesuaikan untuk melindungi kesejahteraaan dan keadilan di masyarakat. Undang-undang 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan nyatanya memperbolehkan undang-undang retroaktif di Indonesia selama tidak memasukkan ketentuan yang bersifat kriminal, asalkan dampak peraturan baru tersebut terhadap kewajiban dan hak hukum yang sudah ada juga diatur.

Sehubungan dengan perlindungan lahan gambut di Indonesia, penerbitan peraturan baru tersebut oleh KLHK adalah bentuk upaya penerapan Peraturan Pemerintah 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, Undang-undang 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Dasar 1945. Semua undang-undang ini melarang pembukaan lahan di kawasan gambut yang dilindungi dan mengharuskan pemilik usaha untuk memitigasi dan merestorasi gambut yang rusak akibat kegiatan usaha.

Kewajiban pemilik usaha untuk melestarikan lahan gambut yang diindungi dan memitigasi kerusakan lingkungan bukanlah hal baru. Kewajiban tersebut telah berlaku atas badan usaha paling tidak sejak diterbitkannya Undang-undang 4/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keputusan Presiden 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Oleh karena itu, pernyataan bahwa peraturan baru ini mengakibatkan perubahan yang signifikan bagi tanggung jawab usaha perlu ditinjau lagi.

Ketika permasalahan gambut dan lingkungan bersinggungan dengan izin atau hak yang sudah ada, sistem hukum harus ditafsirkan secara sensitif, akurat, menyeluruh dan hati-hati. Penerapan sistem hukum tidak boleh hanya diliat sebagai perlindungan prosedural, namun juga perlindungan nilai-nilai masyarakat dan tujuan negara yang ditetapkan dalam UUD. Pada kasus di atas, Mahkamah Agung telah mengangkat pentingnya memenuhi prosedur. Akan tetapi, pendekatan substantif dalam menafsirkan sistem hukum harus terus ditingkatkan. Penafsiran sistem hukum secara sempit dapat membahayakan kepentingan masyarakat atas lingkungan yang baik dan sehat serta dapat mengakibatkan penyalahgunaan hukum itu sendiri.