Tulisan ini awalnya dipublikasikan di WRI Insights.

Wilayah di kawasan tropis menghadapi tantangan dari sumber emisi yang penting tetapi relatif tidak diketahui: lahan gambut yang kering. Gambut, yang terbentuk sebagian karena bahan tanaman basah yang membusuk selama ribuan tahun, terkonsentrasi di Indonesia and Malaysia. Lahan gambut di dua negara tersebut telah seringkali menjadi target ekspansi untuk lahan pertanian, khususnya kelapa sawit, karena lahan subur telah menjadi semakin langka. Ketika lahan dibuka untuk perkebunan, gambut yang berada di bawah perlu dikeringkan, sehingga melepaskan CO2 ke udara.

Faktanya, perkiraan emisi tahunan dari pengeringan gambut di Indonesia dan Malaysia – dua negara dengan sumber gambut tropis terbesar di dunia – setara dengan emisi yang dihasilkan dari hampir 70 pabrik batu bara.

Indonesia dan Malaysia adalah di antara negara penghasil emisi besar di dunia (masing-masing urutan ke-6 dan ke-19). Akan tetapi, kontribusi dua negara tersebut pada emisi global bisa jadi lebih buruk daripada yang kita pikirkan karena sebagian besar perkiraan emisi dari penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan tidak mencakup pengeringan lahan gambut.

Alasan mengapa sumber emisi dari pengeringan lahan gambut terlewatkan sebenarnya sederhana: Data tentang gambut sulit ditemukan. Tetapi hal tersebut tidak lagi menjadi masalah berkat data baru yang tersedia di Global Forest Watch Iklim. Data baru dan fitur analisis emisi karbon memungkinkan pengguna untuk melihat seberapa besar CO2 yang dihasilkan dari gambut tropis kering setiap tahun dalam area perkebunan yang dipetakan.

Emisi dari Gambut di Indonesia dan Malaysia Setara Dengan Emisi dari 70 Pabrik Batu Bara

Terdapat beberapa jenis lahan gambut, dan lahan gambut tropis adalah yang paling kaya akan karbon. Setiap hektare gambut tropis yang dikeringkan untuk pengembangan perkebunan mengeluarkan rata-rata 55 metrik ton CO2 setiap tahun, kurang lebih setara dengan membakar lebih dari 6,000 galon bensin.

Penelitian yang dipublikasikan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan industri di lahan gambut di Kalimantan, Sumatera, dan semenanjung Malaysia meningkat sebesar 37 persen hanya dalam lima tahun terakhir (235,000 hektare atau 581,000 are per tahun). Di Kalimantan sendiri, ekspansi telah meningkat sebanyak dua kali lipat. Saat ini, perkebunan berada di atas 5.2 juta hektare (12.8 juta are) lahan gambut tropis di Indonesia dan Malaysia, yang berarti bahwa total emisi dari area gambut yang kering ini mencapai 263 megaton (Mt) CO2 per tahun – setara dengan emisi dari 70 pabrik batu bara.

Mengingat besarnya skala lahan gambut yang telah dikeringkan, dan tidak ada tanda bahwa pengeringan tersebut akan berhenti, sudah jelas bahwa menghitung dan mencegah emisi yang dihasilkan dari pengeringan tersebut sangat penting. Berikut adalah tiga hal penting yang perlu dipahami mengenai emisi dari pengeringan gambut dan apa yang dapat dilakukan.

1. Mengapa Pengeringan Gambut Menghasilkan Emisi?

Lahan gambut dalam keadaan alaminya yang berair bukan merupakan lahan yang ideal untuk pertanian. Untuk menyiapkan lahan gambut yang dapat ditanami, pertama lahan tersebut perlu dikeringkan sehingga akar tanaman yang ditanam dapat mengakses oksigen dan tumbuh. Tetapi, proses ini juga membuat mikroba di dalam tanah menggerogoti bahan organik dan melepaskan CO2 dalam prosesnya.

Seiring dengan bahan organik yang membusuk, gambut menyusut, dan membutuhkan pengeringan lebih lanjut untuk mencegah air kembali membanjiri gambut. Siklus surutnya dan pengeringan gambut yang terus berlangsung ini menjadi sumber emisi CO2 yang tidak berhenti dari waktu ke waktu.

2. Mengapa Emisi dari Pengeringan Gambut Kurang Diperhatikan?

Ada ketidakpastian yang besar mengenai luasan dan ketebalan tanah gambut. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyediakan perkiraan emisi dari pengeringan gambut, tetapi data emisi tersebut berasal dari set data yang tidak pasti dan belum berubah sejak 1990, meskipun saat ini terdapat 15 kali lipat lebih banyak area gambut yang ditanami di Indonesia dan Malaysia.

3. Apakah Emisi dari Pengeringan Gambut dapat Diukur Secara Akurat?

Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) belakangan ini mengeluarkan panduan mengenai bagaimana kita dapat memperkirakan emisi dari lahan gambut yang kering. GFW Iklim menggunakan panduan ini serta data mengenai jenis dan lokasi perkebunan dan tanah untuk menghasilkan peta rinci pertama yang memungkinkan pengguna mengetahui dimana dan bagaimana emisi CO2 dari gambut kering di Indonesia dan Malaysia dihasilkan.

Merestorasi Gambut dan Menanam di Lahan Terdegradasi untuk Mencegah Emisi di Masa Depan

Satu-satunya cara untuk mencegah agar gambut kering tidak mengemisi lebih banyak CO2 adalah dengan membasahi kembali lahan tersebut. Membasahi kembali lahan gambut juga membawa manfaat tambahan, yaitu mencegah kebakaran saat musim panas, yang mana juga bisa menjadi sumber tambahan emisi dan polusi udara yang besar. Setelah kebakaran tahun lalu yang memecahkan rekor, Presiden Indonesia Joko Widodo membentuk sebuah badan untuk merestorasi sekitar 2 juta hektare (5 juta are) gambut di empat kabupaten prioritas. Sementara metode untuk merestorasi hidrologi gambut yang kering terus berkembang, pengambil keputusan juga harus menerapkan kebijakan penggunaan lahan yang lebih kuat untuk mencegah terjadinya pengeringan gambut.

Minggu lalu, pemerintah Indonesia mengumumkan moratorium penerbitan izin baru untuk operasi kelapa sawit dan pertambangan, termasuk di lahan gambut. Berbagai kebijakan juga dapat menargetkan lahan yang terdegradasi untuk ekspansi pertanian, yang jika dilakukan dengan benar, dapat membantu merestorasi bentang lahan dan memenuhi permintaan konsumen pada saat yang sama.

Membuat kebijakan tersebut tidak akan mudah, tetapi informasi seperti data emisi karbon dari pengeringan gambut dan peta perkebunan dan konsesi akan membantu pembuat kebijakan dan institusi penegakan hukum menjalankan perubahan-perubahan secara efektif dan melindungi area yang kaya akan karbon di masa depan.