Setengah dari semua barang konsumsi kemasan mulai dari sampo hingga donat mengandung minyak kelapa sawit. Tetapi, ada harga yang harus dibayar atas produk-produk yang banyak beredar tersebut: deforestasi merajalela akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit, terutama di Indonesia dan Malaysia yang memproduksi 85 persen dari semua kelapa sawit dunia. Lebih dari 300 perusahaan barang konsumsi baru-baru ini berkomitmen untuk mengatasi permasalahan deforestasi dengan hanya membeli minyak kelapa sawit yang diproduksi tanpa deforestasi pada 2020. Target ini mulia, mengingat satu perusahaan mungkin membeli minyak kelapa sawit dari ratusan pabrik pengolahan, yang mengambil kelapa sawit dari ribuan kebun. Sementara itu, kebanyakan perusahaan memiliki sumber daya yang setiap tahunnya hanya cukup untuk memverifikasi sebagian kecil pemasoknya – hingga saat ini.

Perangkat Risiko baru Global Forest Watch yang disebut dengan PALM (Prioritizing Areas, Landscapes and Mills) atau Memprioritaskan Wilayah, Lanskap, dan Pabrik menunjukkan titik-titik dalam rantai pasokan minyak kelapa sawit perusahaan yang kemungkinan besar berhubungan dengan deforestasi di masa lalu dan potensi deforestasi di masa mendatang. Dengan informasi tersebut, perusahaan dapat secara proaktif mengelola rantai pasokannya untuk mengurangi dan pada akhirnya menghapus deforestasi yang berkaitan dengan produksi minyak kelapa sawit.

Bagaimana Perangkat tersebut Bekerja

Dikembangkan bekerja sama dengan Proforest dan Daemeter, Perangkat Risiko PALM memanfaatkan data berbasis satelit untuk mengukur risiko deforestasi di hampir 800 pabrik kelapa sawit, dan pabrik-pabrik baru akan terus ditambahkan. Pabrik-pabrik tersebut, dapat dilihat di GFW Komoditas, merepresentasikan bank data lokasi pabrik paling komprehensif yang tersedia bagi publik saat ini. Perusahaan juga dapat mengunggah tambahan lokasi pabrik untuk melakukan analisisnya sendiri.

Dalam radius 50 kilometer (31 mil) dari setiap pabrik, yakni jarak yang dapat ditempuh kelapa sawit tanpa membusuk, Perangkat tersebut menganalisis aktivitas kebakaran dan kehilangan tutupan pohon dari waktu ke waktu di lanskap yang penting bagi lingkungan, seperti hutan primer dan lahan gambut dengan kandungan karbon tinggi. Hasil dari analisis tersebut adalah peringkat risiko relatif yang dapat mengerucutkan fokus perusahaan pada perkebunan sekitar yang memasok kelapa sawit dengan melakukan deforestasi. Deforestasi akibat perluasan kelapa sawit umumnya terjadi ketika lahan dibuka untuk perkebunan. Perusahaan yang mengidentifikasi pabrik dengan “risiko tinggi” di rantai pasokannya kemudian dapat mengkaji lebih lanjut, melakukan audit lapangan, dan terlibat langsung dengan perkebunan pemasok untuk meminta mereka mengubah praktik yang tidak lestari tersebut.

Berikut adalah dua contoh bagaimana Perangkat PALM bekerja:

1. Risiko Tinggi: Pabrik Intan Sejati Andalan di Riau, Indonesia

Terletak di Riau, Indonesia, pabrik Intan Sejati Andalan berada di peringkat “risiko tinggi” di Perangkat Risiko PALM. Wilayah sumber kelapa sawit di sekitar pabrik tersebut telah kehilangan lebih dari 200,000 hektare (500,000 are) hutan primer sejak 2009. Penelitian awal menunjukkan bahwa deforestasi di masa lalu adalah faktor terbesar yang dapat memprediksi tren yang sama di masa depan, sehingga 300,000 hektare (750,000 are) hutan primer yang tersisa di sekitar pabrik juga berisiko mengalami hal yang sama.

Kehilangan tutupan pohon di wilayah sumber kelapa sawit, termasuk di wilayah yang dilindungi, membuat pabrik Intan Sejati Andalan memiliki risiko deforestasi yang tinggi. Lihat wilayah ini di Global Forest Watch Komoditas.

Hutan primer, dengan aktivitas manusia yang minim, termasuk jenis hutan paling kaya akan keanekaragaman hayati dan karbon di dunia. Wilayah sumber kelapa sawit pabrik tersebut juga mencakup cagar Giam Siak Kecil dan suaka margasatwa Balai Raja, rumah bagi berbagai spesies terancam punah seperti badak Sumatera, gajah, dan macan tutul. Meskipun memiliki status “dilindungi” di bawah hukum Indonesia, Giam Siak Kecil telah mengalami deforestasi secara signifikan, dan pengembangan kelapa sawit mulai terlihat di dalam Balai Raja.

Dengan informasi tersebut, perusahaan dapat dengan cepat mengidentifikasi dan bekerja sama dengan pabrik berisiko tinggi seperti Intan Sejati Andalan untuk mengembangkan strategi pengurangan dan pencegahan deforestasi di wilayah sumber kelapa sawit, dan pada akhirnya membuat kemajuan untuk mencapai komitmen bebas deforestasinya.

Data menunjukkan pengembangan kelapa sawit di dalam cagar Giam Siak Kecil dan suaka margasatwa Balai Raja. Lihat wilayah ini di Global Forest Watch Komoditas.

2. Risiko Rendah: Pabrik PKS Tunas Baru Lampung di Sumatera, Indonesia

Pabrik PKS Tunas Baru Lampung merupakan pabrik berisiko rendah di Sumatera Selatan. Kurang dari 25 hektare (60 are) hutan primer berada di wilayah sumber kelapa sawit pabrik tersebut pada tahun 2000, dan kini sudah tidak ada lagi hutan primer di wilayah sumber kelapa sawit pabrik tersebut. Selain itu, pabrik tersebut beroperasi di luar wilayah lahan gambut yang kaya akan karbon, dan wilayah dengan status dilindungi di wilayah sumber kelapa sawit pabrik tersebut mengalami sangat sedikit kehilangan tutupan pohon sejak tahun 2000. Penilaian risiko rendah pabrik tersebut diperkuat dengan sertifikasi dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sebuah organisasi yang dipimpin oleh industri dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang memvalidasi minyak kelapa sawit “berkelanjutan.”

Kehilangan tutupan pohon dan lanskap lingkungan penting di wilayah sumber kelapa sawit yang sangat sedikit membuat pabrik PKS Tunas Baru Lampung memiliki risiko deforestasi yang rendah. Lihat wilayah ini di Global Forest Watch Komoditas.

Apa yang terjadi selanjutnya?

Akhir-akhir ini, RSPO mencabut sertifikasi sebuah pemasok utama minyak kelapa sawit menyusul adanya dugaan deforestasi dan pelanggaran hak pekerja. Setelah itu, perusahaan barang konsumsi besar membatalkan kontrak mereka dengan pemasok tersebut. Tindakan ini memberi isyarat bahwa industri kelapa sawit menjalankan komitmennya dengan serius. Akan tetapi, peristiwa tersebut juga menyoroti tantangan yang dihadapi perusahaan dalam mengawasi dan mengontrol jaringan besar rantai pasokan mereka.

Perusahaan sangat membutuhkan perangkat yang akan membuat penyediaan kelapa sawit lebih lestari, dan konsumen, pemerintah dan kelompok advokasi yang peduli memerlukan cara untuk meminta perusahaan bertanggung jawab akan komitmen berkelanjutannya. Perangkat Risiko PALM menciptakan transparansi terhadap dampak rantai pasokan minyak kelapa sawit, sehingga dapat memperkuat perusahaan dan pemangku kepentingan terkait.