Artikel ini pernah dimuat di Thompson Reuters Foundation dan situs web Zilient.


Terlepas dari fungsi utama pangan di seluruh aspek kehidupan manusia, kita telah membuang sia-sia sebagian besar produksi pangan. Setiap tahun, sekitar sepertiga dari jumlah pangan yang diproduksi di seluruh dunia terbuang ― ini merupakan sebuah fakta yang membahayakan kondisi iklim kita. Kondisi ini mengakibatkan kerugian ekonomi global senilai miliaran dolar dan membahayakan sumber daya alam seperti air dan tanah. Dampak yang begitu besar, melatarbelakangi penerbitan Target 12.3 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengurangi separuh limbah dan kerugian pangan pada tahun 2030.

Dengan 13 tahun yang tersisa, apakah langkah-langkah yang dilakukan dunia selama ini sudah cukup?

Menurut laporan baru dari Champions 12.3, perkembangan pelaksanaan target ini tampak cukup menjanjikan. Sejumlah negara atau blok regional yang telah menetapkan target spesifik pengurangan kerugian dan limbah pangan yang mencapai sekitar 28 persen dari populasi dunia. Di waktu yang bersamaan, hampir 60 persen dari 50 perusahaan makanan terbesar dunia telah menetapkan target pengurangan kerugian dan limbah pangan. Ditambah lagi, lebih dari 10 persen dari 50 perusahaan tersebut kini juga telah memiliki program aktif untuk mengurangi limbah makanan.

Di sisi lain, negara-negara Uni-Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan beberapa negara lainnya telah menjalankan sederet inisiatif untuk meningkatkan hubungan kemitraan antara publik dan swasta, kebijakan pemerintah dan edukasi konsumen yang bertujuan untuk mengurangi kerugian dan limbah pangan.

Namun semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Saat ini, hanya beberapa negara, sekitar 7 persen dari populasi dunia, mengukur dan melaporkan jumlah makanan yang terbuang dan tidak terpakai di negaranya.

Data terakhir tersebut menimbulkan pertanyaan baru: Mungkinkah separuh dari jumlah kerugian dan limbah pangan global tersebut dapat benar-benar berkurang pada tahun 2030? Jawabannya adalah bisa ― tetapi hanya jika sebagian besar pemerintah dan perusahaan menetapkan target yang ambisius, mengukur inefisiensi dan mengambil langkah nyata untuk mengurangi kerugian dan limbah pangan. Menurut saya, ada tiga tantangan utama yang membutuhkan pendekatan kolektif.

Pertama, pentingnya keterlibatan konsumen. Di Inggris, di mana saya pernah menjabat sebagai Kepala WRAP selama beberapa tahun, kami menggandeng pemerintah untuk membantu keluarga-keluarga mengurangi limbah pangannya hingga 21 persen dalam lima tahun. Ini merupakan pencapaian besar.

Mendorong orang untuk mengubah kebiasaan mereka di rumah membutuhkan waktu dan pendekatan yang berbeda. Jalinan kemitraan dengan para pelaku retail dan industri lain juga merupakan salah satu faktor penting dalam pencapaian target ini. Meskipun pencapaian sebesar 21 persen cukup mengesankan, namun tetap belum mencapai 50 persen. Menggerakkan masyarakat di seluruh dunia dalam jumlah besar untuk mengubah kebiasaannya merupakan tantangan besar, apa lagi untuk mempertahankan perubahan tersebut secara berkelanjutan dalam jangka panjang. Namun demikian, inovasi-inovasi baru untuk melibatkan konsumen dalam pengurangan limbah pangan merupakan peluang nyata yang dapat mendukung setiap orang untuk hidup secara berkelanjutan dan menghemat biaya.

Kedua, setiap pergerakan harus mendukung perubahan pola pikir manusia terhadap makanan. Di sebagian besar negara dan daerah perkotaan, makanan terhitung murah, sehingga sebagian besar orang berpikir makanan adalah sesuatu yang tidak berharga dan boleh dibuang begitu saja. Pola pikir ini perlu diubah. Perubahan ini jelas tidak dapat dicapai dengan satu solusi saja.

Sebaliknya, beragam solusi diperlukan untuk budaya dan konteks yang berbeda di seluruh dunia. Artinya, kita harus melakukan pendekatan umum untuk mengadopsi cara-cara baru untuk mengurangi kerugian dan limbah pangan. Dengan begitu, kita dapat memberi kesempatan bagi banyak orang untuk berpendapat dan menciptakan gerakan-gerakan yang dapata dipertahankan karena keberagamannya.

Ketiga, perlunya langkah nyata, bukan sekadar minat dan kesadaran. Kita tahu bahwa banyak bukti yang menunjukkan bahwa langkah nyata juga bisa memberikan manfaat bagi usaha. TDi sini, diperlukan juga tuntutan moral yang, sepengetahuan saya, merupakan faktor penting bagi sebagian besar pemimpin di sektor swasta dan publik. Sangat jelas ironinya, mengetahui bahwa satu miliar ton makanan terbuang sia-sia, sementara hampir 800 juta orang di dunia kekurangan gizi. Pada akhirnya, diperlukan langkah tegas untuk membuat perbedaan. Seperti yang diungkapkan dalam laporan terakhir, langkah yang besar perlu diambil oleh aktor-aktor besar, diiringi dengan langkah nyata dari jutaan penduduk dunia mulai dari petani hingga konsumen.

Pada Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada tanggal 16 Oktober, mengurangi setengah kerugian dan limbah pangan bukan hal yang mudah, namun tetap mungkin terwujud. Kita telah melihat sederet pencapaian penting dan kemajuan yang nyata. Sekarang saatnya untuk memahami bahwa kita memiliki tanggung jawab bersama untuk bertindak dan yakinlah bahwa masing-masing dari kita adalah bagian dari solusi tersebut.