Dalam seminggu terakhir, saya makan di restoran yang hanya menyediakan sedotan kertas, berbelanja di toko yang mendorong penggunaan tas belanja yang dapat digunakan kembali, dan berdiskusi dengan beberapa teman tentang cara mereka mengurangi sampah plastik di rumah. Dunia akhirnya menyadari bahwa pembuangan plastik memiliki konsekuensi.

Yang luar biasa adalah seberapa cepat masyarakat mengubah sikap mereka terhadap sampah plastik dan seberapa cepat perilaku mereka berubah. Bagaimana jika kita bisa meniru transisi cepat ini dan menciptakan momen penting untuk masalah yang sama pentingnya—yaitu limbah pangan?

<p>Konsumen semakin keberatan dengan sampah plastik, khususnya karena bahaya yang ditimbulkan terhadap laut. Foto: hhach/Pixabay</p>

Konsumen semakin keberatan dengan sampah plastik, khususnya karena bahaya yang ditimbulkan terhadap laut. Foto: hhach/Pixabay

Lebih dari sepertiga pangan yang diproduksi di dunia tidak pernah dikonsumsi. Sebaliknya, pangan tersebut membusuk di perkebunan, rusak dalam perjalanan ke pasar, atau berakhir di tempat sampah. Pada saat yang sama, 815 juta orang kelaparan, perekonomian global mengalami kerugian $940 miliar per tahun akibat kerugian dan limbah pangan, dan pangan yang membusuk adalah kontributor signifikan terhadap pemanasan global. Kami tidak memiliki foto lautan yang dibanjiri pangan seperti halnya dengan foto lautan yang dibanjiri kantong plastik dan botol, tetapi kerusakan yang ditimbulkan nyata. Jika pangan yang hilang dan terbuang adalah sebuah negara, ia adalah penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia.

Pengurangan limbah pangan sebesar 50 persen adalah target yang sangat ambisius, tetapi menjadi tetapi menjadi salah satu target yang ingin dicapai oleh dunia pada 2030. Fakta bahwa belum ada negara yang berhasil mencapai pengurangan sebesar ini menunjukkan bahwa pola pikir kita tentang pangan perlu diubah, yakni bahwa pangan yang tidak dikonsumsi adalah limbah – dan memberikan dampak yang sangat nyata dan sangat berbahaya bagi manusia dan planet Bumi.

Inggris berhasil mengurangi limbah pangan rumah tangga sebesar 21 persen dalam lima tahun, perubahan positif terjadi saat individu dan keluarga mengubah pola pikir mereka dan cara mereka mengonsumsi pangan, serta kemudian mengubah kebiasaan mereka. Replikasi perubahan perilaku skala besar seperti ini akan membutuhkan perubahan sikap dari sisi kita, serta retailer dan perusahaan agar perilaku kita dapat berubah (atau tidak).

<p>Lebih dari sepertiga pangan dunia hilang atau terbuang. Foto: US EPA/Flickr</p>

Lebih dari sepertiga pangan dunia hilang atau terbuang. Foto: US EPA/Flickr

Langkah awal yang dapat diambil adalah mengadopsi kebiasaan baru untuk mengurangi limbah pangan, seperti menyiapkan daftar belanja agar Anda hanya membeli hal-hal yang dibutuhkan dari supermarket dan mengetahui cara untuk menyimpan berbagai jenis pangan agar tetap segar untuk waktu yang lebih lama, termasuk merencanakan menu makanan agar Anda memasak dan menyiapkan volume yang tepat, menggunakan freezer untuk penyimpanan, atau menyiapkan rencana untuk menggunakan sisa pangan. Seiring waktu, perilaku kita akan lebih berfokus pada perencanaan alih-alih memastikan bahwa kulkas selalu penuh.

Retailer juga berperan penting karena mereka memengaruhi keputusan tentang hal-hal yang dibeli oleh konsumen. Berapa banyak dari kita yang pergi ke supermarket dan pulang membawa barang-barang yang tidak ada dalam daftar belanja karena ada penawaran khusus atau karena promosi yang ditawarkan oleh retailer atau brand?

Akan tetapi, ini adalah tanda-tanda yang menjanjikan. Retailer dan bisnis pangan lainnya terkadang mengakhiri penawaran spesial beli satu dapat satu gratis untuk produk pangan yang mudah rusak agar konsumen tidak membeli sesuatu yang kemungkinan besar akan tidak sempat mereka gunakan. Selain itu, para retailer juga menambahkan petunjuk di kemasan tentang cara memasak dan menyimpan makanan agar pembeli mengetahui cara penyimpanan dan penggunaan. Ini adalah inisiatif yang bagus, tetapi perlu ditingkatkan skalanya.

Upaya besar-besaran juga sedang dilakukan untuk menyederhanakan label tanggal kedaluwarsa di seluruh dunia, agar konsumen lebih tahu tentang pangan yang masih aman untuk dikonsumsi. Cara ini akan mencegah kita untuk membuang makanan yang masih bisa dikonsumsi. Tahun lalu, The Consumer Goods Forum mengeluarkan "call to action" global bagi retailer dan produsen pangan untuk menyederhanakan label tanggal pada tahun 2020. Komitmen mereka adalah agar perusahaan melakukan tiga langkah utama: 1) berkomitmen agar produk pangan tidak diberi lebih dari satu label tanggal; 2) beralih ke dua opsi label: satu tanggal kedaluwarsa untuk bahan pangan yang mudah rusak (misalnya, “Used by") dan satu indikator kualitas pangan untuk bahan pangan yang tidak mudah rusak (misalnya, “Best if used by”); dan 3) mengedukasi konsumen agar dapat memahami label tanggal. Pengumuman ini didasarkan pada upaya nasional untuk menyederhanakan label tanggal yang sudah mulai dijalankan di Amerika Serikat, Inggris dan Jepang, serta menjadi langkah besar untuk memberdayakan masyarakat agar mengurangi limbah pangan.

Kebiasaan memang sulit diubah, tetapi dapat diubah dengan cepat juga. Belum lama ini kita menjalani kehidupan tanpa memikirkan tentang bagaimana ketergantungan kita terhadap plastik merusak lingkungan. Selain itu, mengemudi di bawah pengaruh alkohol sebelumnya juga dapat diterima. Di tahun 1979, Departemen Transportasi Inggris melaporkan bahwa setengah dari pengemudi laki-laki dan hampir dua pertiga dari pengemudi laki-laki muda mengakui bahwa mereka mengemudi dalam keadaan mabuk setiap minggunya. Akan tetapi, di tahun 2014, 92 persen pengemudi beranggapan bahwa mengemudi di bawah pengaruh alkohol tidak dapat diterima. Itu perlu dipikirkan.

Kita perlu menyadari bahwa bahan pangan sebaiknya tidak dibuang sembarangan. Semakin cepat kita mengubah pandangan dan kebiasaan kita terkait limbah pangan, semakin baik bagi planet Bumi – dan manusia – di masa mendatang.