Komitmen Anti-Deforestasi APP (Asia Pulp & Paper): Tanda Industri yang Berubah?
Asia Pulp & Paper (APP), salah satu perusahaan kertas terbesar di dunia, mengumumkan awal bulan ini bahwa mereka tidak akan menebang lagi hutan alami di Indonesia dan akan meminta komitmen yang sama dari pemasok-pemasok mereka. Pengumuman tersebut diterima secara hati-hati oleh Greenpeace, Rainforest Action Network, World Wildlife Fund, dan NGO lainnya yang telah melakukan kampanye untuk mengubah kebijakan hutan APP.
Tentu saja, kebijakan baru APP – yang mencakup pengambilan material yang hanya bersumber dari pohon budidaya, menghentikan pembukaan lahan gambut yang kaya karbon, dan meningkatkan keterlibatan masyarakat lokal – tergolong signifikan, untuk dunia bisnis dan konservasi hutan. APP dan pemasoknya mengelola lebih dari 2.5 juta hektar lahan di Indonesia dan menghasilkan lebih dari 15 juta ton bubur kertas, kertas, dan pembungkus setiap harinya di seluruh dunia. Langkah tegas dari APP dapat mengindikasikan bahwa industri ini tengah bergerak menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Pertanyaannya adalah apakah APP akan melanjutkan pengumuman positif ini dengan aksi nyata di lapangan. Perusahaan ini tidak memiliki rekam jejak yang bagus, gagal melaksanakan komitmen-komitmen mereka sebelumnya untuk mengakhiri deforestasi.
Namun demikian, kali ini keadaan telah berubah, yang meningkatkan peluang keberhasilan komitmen APP. Tuntutan untuk meningkatkan kinerja perusahaan yang terjadi dengan sangat cepat dan teknologi yang semakin canggih dapat menciptakan lingkungan yang tepat bagi keberhasilan komitmen APP – dan perusahaan-perusahaan lainnya.
Lingkungan Bisnis yang Berubah
Industri produk hutan sedang mengalami perubahan yang sangat cepat, mengalami transformasi yang disebabkan oleh inovasi-inovasi teknologi, praktik-praktik korporasi baru, dan basis konsumen yang semakin peduli. Beberapa perkembangan kunci meliputi:
1) Rantai Pasokan Global berada di bawah Pengawasan Ketat
Saat ini perusahaan tidak dapat lagi membeli komoditas dari pemasok tanpa adanya uji ketuntasan. Semakin banyak pemimpin bisnis menyadari bahwa rantai pasokan mereka berada di bawah pengawasan yang ketat.
APP telah merasakan situasi ini secara langsung. Selama satu dekade terakhir, lebih dari 100 perusahaan besar berhenti membeli produk APP karena alasan-alasan lingkungan, termasuk Staples, Office Depot, dan Disney. Dengan semakin banyaknya konsumen yang menuntut standar dan transparansi yang lebih tinggi, terdapat insentif yang kuat bagi perusahaan agar menjadi mitra yang terpercaya dan mengelola lebih baik rantai pasokan mereka (kebijakan baru APP juga berlaku untuk pemasok mereka di Indonesia dan Cina).
Kebijakan Konservasi Hutan APP
Efektif 1 Februari, 2013, APP akan:
-
Menghentikan seluruh pembukaan terhadap hutan alami, seperti yang diidentifikasi melalui penilaian independen dari wilayah dengan nilai konservasi tinggi dan cadangan karbon tinggi. Menurut kebijakan ini, “tidak akan ada pembukaan lebih lanjut terhadap wilayah yang diidentifikasi sebagai hutan.”
-
Mengimplementasi sebuah program pengelolaan lahan gambut baru untuk mengurangi dan menghindari emisi gas rumah kaca dari lahan gambut. Hal ini mencakup moratorium terhadap infrastruktur baru di lahan gambut.
-
Mengimplementasi praktik pendekatan sosial dan masyarakat baru, termasuk menghormati persetujuan yang bebas dan didapatkan sebelumnya dari masyarakat lokal dan pribumi
Baca kebijakan selengkapnya.
Terlebih lagi, perusahaan harus menghadapi peraturan baru yang dibuat untuk memberantas perdagangan kayu ilegal, seperti US Lacey Act, European Union Timber Regulation, dan Illegal Logging Prohibition di Australia. Contohnya baru-baru ini, Gibson Guitar menghadapi tuntutan hukum berdasarkan Lacey Act karena mengimpor kayu ilegal ke dalam Amerika Serikat.
2) “Mata di Langit” untuk Hutan
Pengawasan, secara historis, merupakan batu sandungan bagi komitmen-komitmen “no-deforestation”. Perusahaan seperti APP bekerja di wilayah-wilayah yang terpencil, dan akan menjadi sangat mahal untuk mengirimkan kelompok audit ke dalam hutan untuk memverifikasi klaim perusahaan. Teknologi satelit menawarkan sebuah cara mengawasi hutan dari jarak jauh, namun citra satelit dapat menjadi sangat mahal, susah untuk dianalisis, dan tidak diperbaharui secara rutin.
Cobalah Global Forest Watch 2.0, sistem pengawasan hutan yang diperbaharui dalam waktu yang hampir seketika yang akan diluncurkan musim semi ini oleh WRI dan beberapa mitra global. Sistem yang mudah digunakan dan gratis ini menyediakan peta-peta interaktif mengenai hutan-hutan di seluruh dunia yang diperbaharui setiap 16 hari. Sistem seperti GFW 2.0 akan memungkinkan siapapun, di manapun mengawasi APP dan komitmennya, dengan peralatan yang sesederhana komputer dan koneksi internet.
Pendekatan terhadap pengawasan hutan yang transparan dan terjangkau ini akan mendukung usaha Eyes on the Forest di Indonesia dan memperkuat usaha The Forest Trust, Greenpeace, dan NGO lainnya dalam mengawasi konsesi APP.
3) Serat di bawah Mikroskop
Serangkaian teknologi baru yang dikenal sebagai analisis serat memungkinkan perusahaan dan kelompok pengawas menguji produk untuk mencari “mixed tropical hardwoods”, atau MTH, yang biasanya mengindikasikan kayu yang diambil dari hutan tropis alami. Laboratorium menggunakan mikroskop berkekuatan tinggi dan melakukan pengujian untuk menentukan komposisi kayu, termasuk apakah sebuah kertas dibuat dari kayu budidaya atau kayu yang tumbuh secara liar, dan dalam beberapa kasus, apakah kertas tersebut mengandung spesies yang langka atau dilindungi.
Analisis serat telah digunakan dan dipromosikan oleh kelompok-kelompok seperti Greenpeace, Rainforest Action Network, dan World Wildlife Foundation untuk mengawasi rantai pasokan. Saat ini, perusahaan-perusahaan mengirimkan sendiri sampel mereka ke lab untuk memverifikasi kandungan kayu di dalam kertas mereka. Seiring dengan perkembangan praktik ini, APP dapat berekspektasi bahwa produk-produknya akan diuji secara ketat.
Melawan Deforestasi
Perkembangan di industri produksi hutan sudah signifikan, namun masih banyak yang perlu dilakukan. Bumi masih kehilangan hutan sebanyak 13 juta hektar setiap tahunnya, sebuah wilayah seluas Inggris. Di Indonesia, moratorium konsesi baru di hutan alami dan lahan gambut akan berakhir tahun ini, dan masih belum jelas apakah kebijakan yang sangat penting ini akan diperpanjang.
Pemerintah juga memiliki peran yang penting. Di lapangan, tempat APP dan pemasoknya beroperasi, kita membutuhkan penegakkan hukum di tingkat lokal yang lebih konsisten, serta definisi hak properti yang lebih jelas dan pengakuan kepentingan masyarakat lokal.
Banyak yang dipertaruhkan, jika APP sukses mengimplementasikan Kebijakan Konservasi Hutan, akan menjadi sebuah momentum bagi perusahaan dan pemerintah lainnya untuk melakukan reformasi. Komitmen kepada hutan-hutan di dunia telah dibuat – sekarang kita harus memastikan bahwa komitmen tersebut benar-benar tercapai.