Kopi Toratima dan Valuasi Jasa Lingkungan
Artikel ini awalnya dipublikasikan di Koran Tempo.
Kopi luwak yang sudah menjadi komoditas premium saat ini mendapat saingan yang tidak kalah eksotisnya, yaitu kopi toratima dari kawasan sekitar Taman Nasional Lore Lindu di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Toratima adalah bahasa Kulawi, dituturkan di Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala, yang artinya dipungut. Biji kopi toratima dipungut oleh petani di tanah setelah dimuntahkan oleh mamalia nokturnal endemik di Sulawesi, yaitu kuskus kerdil (Stigocucus celebensis). Hewan tersebut mengunyah buah kopi terbaik dari tiap tandan buah kopi, menelan kulit buahnya, dan membuang biji kopi yang sudah terkupas ke tanah.
Kopi toratima berasal dari kebun kopi rakyat yang berkembang subur di sekitar wilayah hutan konservasi Taman Nasional Lore Lindu. Tanaman kopi menghasilkan buah melalui penyerbukan yang dilakukan oleh lebah yang menghuni kawasan hutan tersebut. Berdasarkan penelitian Priess et.al (2007), jasa lingkungan yang dihasilkan oleh keanekaragaman hayati kawasan hutan konservasi Lore Lindu dalam bentuk penyerbukan lebah pada tanaman kopi adalah setara dengan 46 Euro atau sekitar 740 ribu rupiah per hektar hutan per tahun. Bentuk jasa lingkungan yang sangat spesifik seperti ini dapat ditemukan dalam bentuk yang berbeda-beda di seantero wilayah hutan Nusantara.
Sementara itu, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15/2012 tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan memberikan valuasi jasa lingkungan keanekaragaman hayati yang sama rata untuk semua hutan di Indonesia, yakni sebesar 9,45 dolar Amerika atau sekitar 127 ribu rupiah per hektar hutan. Penyamarataan valuasi untuk semua hutan di Indonesia tentu tidak sejalan dengan kenyataan bahwa jasa lingkungan berbasis keanekaragaman hayati sangat banyak macamnya dan bernilai tinggi.
Peraturan tersebut juga menyebutkan nilai jasa lingkungan kawasan hutan untuk penyediaan air adalah sebesar 37,97 dolar Amerika atau setara 512 ribu rupiah per hektar per tahun. Namun, penelitian Van Beukering et.al (2003) menunjukkan bahwa jasa lingkungan kawasan hutan konservasi di Taman Nasional Gunung Leuser untuk penyediaan air mencapai sekitar 76 dolar Amerika atau kurang lebih satu juta rupiah per hektar per tahun.
Lebih lanjut dalam tulisan yang sama, Van Beukering et.al (2003) menyebutkan bahwa dalam periode tahun 2000-2030, atas dasar tiga skenario, yaitu deforestasi, konservasi hutan, dan pemanfaatan hutan secara selektif, nilai manfaat ekonomi di Taman Nasional Gunung Leuser berturut-turut adalah 6.958, 9.538 dan 9.100 juta dolar Amerika. Hal ini menunjukkan bahwa dalam skenario konservasi, kawasan hutan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser yang mencapai 792,7 ribu hektar memiliki jasa lingkungan senilai kurang lebih 400 dolar Amerika per hektar per tahun. Angka ini hampir empat kali lipat lebih besar daripada valuasi jasa lingkungan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15/2012, yaitu sebesar 106 dolar Amerika.
Dengan penetapan valuasi jasa lingkungan atas keberadaan hutan yang relatif rendah dalam peraturan tersebut, tidak heran jika muncul pemikiran untuk mengalihfungsikan kawasan hutan untuk kepentingan budidaya secara maksimal. Sesuai UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, luasan minimal kawasan hutan yang harus dipertahankan di Indonesia adalah 30 persen, atau seluas sekitar 36,2 juta hektar. Padahal, alih fungsi hutan yang sedemikian luas untuk kepentingan budidaya hendaknya mencermati nilai valuasi jasa lingkungan yang sebenarnya.
Nilai valuasi jasa lingkungan yang besar dapat menjadi pertimbangan kuat dalam menjalankan skema pendanaan berbasis jasa lingkungan melalui Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+), suatu inisiatif pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta peningkatan cadangan karbon. Indonesia adalah salah satu negara yang secara konsisten dan kuat mendorong skema REDD+ dalam penanganan perubahan iklim.
Kabar baiknya, Presiden Joko Widodo bulan November ini telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup yang memandatkan dilaksanakannya perhitungan ekonomi akan cadangan atau aset sumber daya alam dan lingkungan hidup. Peraturan ini tentu merefleksikan pergeseran pandangan yang signifikan tentang pentingnya lingkungan hidup dan jasa lingkungan. Diharapkan paling lambat dalam dua tahun ke depan, dengan adanya perhitungan ekonomi tersebut, Indonesia akan memiliki valuasi jasa lingkungan yang lebih kokoh dan menyeluruh.
Sifat kokoh dan menyeluruh valuasi jasa lingkungan hanya dapat diperoleh dengan berlandaskan pada penelitian, seperti contoh yang ditunjukkan pada penelitian di Taman Nasional Lore Lindu dan Taman Nasional Gunung Leuser. Sejalan dengan semakin kuat dan tajamnya kapasitas penelitian terkait jasa lingkungan dan dampak pembangunan terhadap lingkungan, rujukan atau standar valuasi akan semakin akurat dalam menggambarkan nilai aset sumber daya alam dan lingkungan kita. Dalam mencapai tujuan ini, pemerintah perlu memimpin kegiatan penelitian valuasi jasa lingkungan dan mengoordinasi kolaborasi yang melibatkan para peneliti dari segenap lembaga penelitian yang ada di Indonesia.
Memahami dan menghargai jasa lingkungan akan keberadaan kawasan hutan yang memungkinkan lebah untuk melaksanakan peran alamiahnya menyerbuki kebun-kebun kopi di sekitar kawasan hutan Lore Lindu, atau juga kebun-kebun kopi di sekitar kawasan hutan Wamena, Gunung Leuser, Kerinci Seblat, akan memastikan kesejahteraan masyarakat yang hidup dengan bertumpu pada keberadaan kawasan hutan tersebut. Hal itu akan memastikan pula bahwa kita tetap dapat menikmati kopi toratima, kopi blue korintji, kopi mandailing, kopi luwak, dan kopi eksotis asli Indonesia lainnya.