Tulisan ini awalnya dipublikasikan di The Jakarta Post.

Sebagai pengguna jalan, seringkali kita menempatkan diri pada kondisi berisiko sangat tinggi. Kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian dan luka, yang telah menjadi masalah parah selama beberapa decade terakhir, terus menghantui pengguna jalan, khususnya pejalan kaki.

Secara global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sebanyak 1,25 juta orang meninggal di jalan setiap tahunnya, dan hal ini sebagian besar terjadi di negara berkembang, sehingga menjadi penyebab kematian tertinggi ke sembilan. Jika tidak ada tindakan yang diambil, WHO memprediksi bahwa kematian akibat kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab kematian tertinggi ke tujuh pada tahun 2030.

Kematian dan cedera akibat kecelakaan lalu lintas telah merugikan Indonesia sebesar 2,9 persen dari total Pendapatan Domestik Bruto (PDB), sebagaimana diestimasikan oleh Bank Pembangunan Asia (ADB). Karena itu keselamatan lalu lintas, yang sampai saat ini belum mendapatkan perhatian yang memadai, harus menjadi prioritas dalam perencanaan dan evaluasi proyek terkait transportasi.

Sebuah ringkasan dari EMBARQ World Resource Institute (WRI) yang berjudul “Saving Lives with Sustainable Transport” menunjukkan penggunaan kendaraan bermotor sebagai suatu cara kuat untuk memprediksi kecelakaan lalu lintas, suatu pendekatan untuk keselamatan lalu lintas. Penelitian yang mengkaji berbagai kota di seluruh dunia menunjukkan bahwa negara bagian atau kota dengan kilometer jarak tempuh kendaraan per kapita yang tinggi mengalami tingkat fatalitas akibat kecelakaan lalu lintas yang lebih tinggi. Selain itu, publikasi tersebut menunjukkan bahwa penggunaan transportasi publik mempengaruhi tingkat kematian akibat kecelakaan lalu lintas, yaitu semakin besar penggunaan transportasi publik, maka tingkat fatalitas juga menjadi lebih rendah.

Selain itu, data EMBARQ WRI tahun 2011 ini juga menunjukkan bahwa kota yang berorientasi kendaraan bermotor seperti Jakarta dan Atlanta memiliki tingkat kematian akibat kecelakaan masing-masing sebesar 6,4 dan 9,7 per 100,000 penduduk. Angka ini lebih tinggi dari kota berorientasi transportasi umum seperti Tokyo dengan tingkat kematian akibat kecelakaan sebesar 1,3 per 100,000 penduduk.

Sebagian besar kota di Indonesia mengalami peningkatan motorisasi tinggi, khususnya kendaraan pribadi, sehingga menjadi suatu tantangan dalam keselamatan lalu lintas. Sebagai contoh, jumlah komuter yang mengendarai sepeda motor di Jakarta meningkat drastic sebanyak 20 persen dalam waktu delapan tahun saja, menurut penelitian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Lantas, tindakan apa yang perlu diambil untuk mengurangi jumlah kendaraan pribadi dan kecelakaan lalu lintas?

Pertama, penggunaan transportasi publik perlu ditingkatkan. Beberapa kota di Indonesia telah melakukan perbaikan terhadap transportasi publik untuk mendorong penduduknya menggunakan transportasi publik. Namun, prinsip berkelanjutan, yaitu terus berlansungnya jasa pelayanan transportasi publik, belum diterapkan pada sistem baru ini. Hal ini terlihat pada kurangnya perusahaan komersial yang mengelola jaringan dan kurangnya insentif yang ada untuk meningkatkan penghasilan, yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas transportasi publik. Selain itu, jaringan rute yang masih terfragmentasi yang belum dapat mengakomodasikan kebutuhan perjalanan publik menyulitkan komuter mencapai tujuan mereka.

Akibatnya transportasi publik masih termajinalisasi dan kendaraan roda empat dan roda dua menjadi populer bagi sebagian besar komuter. Bahkan, sepeda motor menghasilkan dampak berlawanan terkait keselamatan. Di Bandung, sepeda motor merupakan 62 persen moda transportasi yang digunakan di kota tersebut dan mengakibatkan 72 persen kecelakaan lalu lintas, membuat pengendara sepeda motor sebagai pengguna jalan yang paling rentan. Peningkatan pemanfaatan transportasi publik dan membuat transportasi publik menjadi pilihan utama adalah kunci dalam menurunkan kematian akibat kecelakaan lalu lintas.

Bagaimana kota-kota di Indonesia agar dapat mendukung pergeseran dari kendaraan pribadi menuju transportasi publik adalah suatu tugas besar. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mendorong publik untuk berpindah dari kendaraan pribadi menuju transportasi publik adalah dengan mengadakan peningkatkan transportasi publik terintegrasi. Sebagai contoh, perlu dikembangkan rute transportasi publik yang memungkinkan dilakukannya perpindahan dengan mudah serta trotoar untuk pejalan kaki agar mudah mengakses halte bus.

Dalam segi struktur kelembagaan, perlu ditetapkan suatu perusahaan komersil yang mengelola jaringan tersebut dan fokus dengan peningkatan kualitasnya. Pada saat yang bersamaan, perbaikan terhadap transportasi publik perlu dipadukan dengan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, antara lain dengan meningkatkan biaya parkir dan membatasi ruang parkir, khususnya di wilayah pusat kota. Suatu solusi yang lebih radikal adalah mengenakan pajak karbon bagi kendaraan pribadi.

Yang kedua, transportasi publik harus dilengkapi dengan elemen infrastruktur yang memastikan keselamatan publik, seperti lajur prioritas bagi bus, penyeberangan pejalan kaki, dan geometri persimpangan jalan yang diperbaiki. Publikasi ringkasan Saving Lives with Sustainable Transport menggarisbawahi bahwa pada negera berkembang, transportasi umum dengan sendirinya tidak dapat menghasilkan keselamatan lalu lintas yang maksimal. Elemen infrastruktur yang lebih aman juga perlu diterapkan.

Latin Amerika adalah suatu contoh dimana sistem Bus Rapid Transit (BRT) telah memberikan manfaat signifikan bagi keselamatan publik dari kombinasi perbaikan geometri jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL), lajur khusus bus, dan konsolidasi operator. Namun di Indonesia elemen desain yang aman saat ini masih kurang dalam perbaikan sistem transportasi publik, dan hal ini dapat memperparah jumlah kematian dan cedera akibat kecelakaan lalu lintas. Dengan demikian, perlu disediakan struktur transportasi publik yang lebih aman yang diintegrasikan dengan rancangan infrastruktur pejalan kaki dan pesepeda yang lebih aman, konsolidasi antara operator yang dapat mengurangi persaingan pasar, pelatihan bagi pengemudi, dan perawatan kendaraan.

Kita tidak lagi dapat membiarkan hilangnya nyawa dan berkurangnya PDB kita karena kematian dan cedera parah akibat kecelakaan lalu lintas. Dengan adanya hubungan erat antara transportasi publik dan keselamatan lalu lintas, ada kebutuhan pembangunan pendekatan perencanaan terintegrasi antara peningkatan transportasi publik dan aspek keselamatan lalu lintas. Peningkatan transportasi publik dan keselamatan lalu lintas harus disorot dalam agenda kebijakan antara pembuat keputusan untuk memperoleh tujuan bersama guna menurunkan tingkat kematian dan cedera akibat kecelakaan lalu lintas.