Peatland Governance Series

Pada tahun 2015, Indonesia mengalami tingkat kebakaran terbesar di dunia, yang lebih dari 50 persennya terjadi di lahan gambut. Sejak saat itu, Indonesia telah melipatgandakan upaya perlindungan dan pemulihan ekosistem ini sebagai salah satu ekosistem paling kaya karbon di dunia yang sangat sering digunakan untuk memperluas pertanian. Mengubah cara Indonesia mengelola lahan gambut sangat penting dalam mencapai komitmen nasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencegah kerugian kebakaran lainnya, termasuk penutupan sekolah, masalah pernapasan dan kematian dini. Dalam bagian kedua dari Seri Tata Kelola Lahan Gambut, kami menjelaskan metode yang digunakan untuk memetakan lahan gambut sebagai langkah pertama untuk memperbaiki pengelolaan lahan gambut di Indonesia.

Pada pertemuan COP ke-23 di Bonn pada bulan November, Menteri Lingkungan dan Kehutanan Indonesia (MenLHK) Siti Nurbaya mengatakan bahwa Indonesia merupakan sumber informasi dunia tentang tata kelola lahan gambut. Sebagai pusat perhatian dunia, Indonesia harus memberikan kinerja yang lebih baik untuk memastikan perlindungan lahan gambut yang sehat dan pemulihan lahan gambut yang terdegradasi. Namun, hal ini tidak dapat dilakukan tanpa mengetahui lokasi, jenis, luas dan kedalaman gambut di Indonesia, penyebab degradasi dan kondisi hidrologisnya. Oleh karena itu, proses pengelolaan lahan gambut harus diawali dengan pemetaan.

Pemerintah, sektor swasta dan peneliti menggunakan beberapa teknik pemetaan yang berbeda, tergantung dari informasi yang mereka butuhkan.

Light Detection and Ranging (LiDAR)

LiDAR adalah metode penginderaan jarak jauh menggunakan laser untuk mengukur jarak dari sensor LiDAR ke suatu benda di permukaan bumi. Metode ini menghasilkan peta yang sangat rinci yang menunjukkan elevasi permukaan gambut dan aliran air.

<p>Pemetaan elevasi permukaan dan drainase menggunakan LiDAR dapat membantu menentukan aliran air gambut. Foto oleh Badan Restorasi Lahan Gambut</p>

Pemetaan elevasi permukaan dan drainase menggunakan LiDAR dapat membantu menentukan aliran air gambut. Foto oleh Badan Restorasi Lahan Gambut

Pemetaan elevasi permukaan dapat membantu menentukan kedalaman lahan gambut; lahan gambut yang lebih tinggi dari sekitarnya mengindikasikan akumulasi tanah. Informasi ini sangat penting karena semakin dalam gambut, semakin banyak karbon yang disimpannya. Gambut berbentuk kubah biasanya memiliki tingkat kedalaman yang cukup tinggi, setidaknya 300 sentimeter. Jika lokasi kubah gambut sudah diketahui, kita dapat memprioritaskan pelestarian kubah dan karbon yang disimpannya.

Sementara itu, pola aliran air dapat mengidentifikasi tempat saluran drainase, yang biasanya digunakan untuk mengeringkan lahan gambut sebelum terbakar dan dialihkan bagi pertanian. Bahkan saat tidak terbakar, lahan gambut yang dikeringkan merupakan sumber emisi yang cukup besar karena karbon dilepaskan saat mikroba memulai proses pembusukan bahan organik di dalam tanah. Jika lokasi kanal ini diketahui, drainase dapat ditutup dalam upaya restorasi untuk meningkatkan permukaan air gambut dan mencegah emisi dengan lebih efektif.

Pesawat yang dilengkapi LiDAR juga dapat membawa kamera optik untuk mengambil foto dari udara, yang dapat digunakan untuk memetakan lahan gambut hijau, terdegradasi, terbakar atau yang dikembangkan untuk pertanian.

Di Indonesia saat ini, LiDAR banyak digunakan untuk restorasi lahan gambut. Badan Restorasi Lahan Gambut (BRG), bekerja sama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG), Universitas Gadjah Mada, perusahaan pemetaan dan kementerian terkait lainnya, menggunakan LiDAR untuk memetakan lahan gambut yang dikeringkan. Mereka menggunakan informasi ini untuk memulihkan empat unit hidrologi lahan gambut, daerah yang dibatasi oleh sungai atau perairan lainnya dan memiliki sifat ekologi penting, di seluruh Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan Riau.

Citra Satelit

Citra satelit digunakan untuk membedakan lahan gambut dari jenis lahan lainnya berdasarkan warna, pola vegetasi dan luas perairan. Kementerian Pertanian menggabungkan gambar satelit dengan data spasial lainnya di lahan gambut, termasuk peta historis cakupan gambut dan data survei ketebalan gambut, untuk memetakan lahan gambut di Indonesia dalam skala 1: 250.000 (1 sentimeter pada peta setara dengan 2,5 kilometer di atas tanah). Metode ini memiliki cakupan hutan dan konsesi yang luas sehingga sangat berguna untuk perencanaan skala nasional, seperti pengembangan peta moratorium hutan nasional.

Pengeboran

Pengeboran, di mana tabung berongga dimasukkan ke tanah untuk mengumpulkan sampel tanah dari kedalaman yang berbeda, terutama digunakan untuk mengukur ketebalan gambut dan mengumpulkan informasi tentang sifat fisik dan kimia tanah. KLHK, BRG dan universitas lokal telah menggunakan metode ini untuk memetakan ketebalan dan karakteristik gambut, seperti tingkat keasaman dan kerapatan curah, yang kemudian digunakan untuk menentukan area perlindungan dan pemanfaatan. Metode ini membutuhkan banyak waktu dan tenaga kerja, terutama untuk cakupan daerah yang luas, sehingga biasanya digunakan berbarengan dengan LiDAR dan citra satelit.

Cara yang lebih baik untuk memetakan gambut

Teknik pemetaan ini hanya permulaan. Berbagai teknologi dan metode inovatif masih dapat dikembangkan agar pemetaan lahan gambut dapat dilakukan dengan lebih akurat, terjangkau, efisien dan terukur. Indonesian Peat Prize, yang diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial adalah sebuah kompetisi yang mencoba mendorong inovasi ini. Peserta lomba menggunakan berbagai teknologi, mulai dari elektromagnetik hingga pembelajaran mesin dan radar.

Teknologi dan metodologi pemetaan lahan gambut terus berkembang bersama sehingga kemampuan kita untuk mengelola lahan gambut secara berkelanjutan juga terus meningkat. Mendapatkan data dan informasi yang akurat merupakan langkah kunci pertama bagi Indonesia untuk memenuhi target restorasi dan perlindungan lahan gambut.