Tiongkok merupakan salah satu pasar ekspor kelapa sawit terbesar Indonesia. Arus perkembangan perdagangan kelapa sawit antara kedua negara ini semakin berkembang dan meningkat sejak berlakunya perjanjian ASEAN-Tiongkok Free Trade Area (ACFTA). Perjanjian ACFTA merupakan kesepakatan perdagangan bebas antara negara-negara anggota ASEAN dengan Tiongkok untuk mendorong pertumbuhan perekonomian dan menciptakan kemakmuran bersama masyarakat kedua negara.

Dengan diterapkannya ACFTA, peluang pasar ekspor-impor antara Indonesia dan Tiongkok meningkat. Hal ini tentu saja membuat Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar dunia lebih leluasa dalam mengekspor produk turunan kelapa sawitnya ke Tiongkok, karena minyak sawit di Tiongkok sepenuhnya bergantung pada impor. Menurut bricdata.cn, Indonesia merupakan sumber utama kelapa sawit di Tiongkok, disusul oleh Malaysia.

Sinyal Permintaan Produk yang Lebih Hijau di Tiongkok

Sejak tahun 2018, Tiongkok telah mengirimkan sinyal bahwa mereka sedang menyongsong industri yang lebih hijau berdasarkan konsep ecological civilization yang sering disebut sebagai pembangunan berkelanjutan dengan karakteristik Tiongkok.

Laporan The Green Future Index pada 2022 menunjukkan, Tiongkok berhasil memperoleh peringkat ke-26, naik hampir 20 peringkat dari tahun sebelumnya. Peringkat ini dibuat berdasarkan indikator kemampuan negara dalam mengembangkan keberlanjutan dan rendah karbon dalam cakupan energi bersih, industri, pertanian, dan masyarakat melalui investasi energi terbarukan, inovasi, dan finansial hijau. Dalam setahun, Tiongkok telah menyalip negara-negara seperti Republik Ceko, Luksemburg, dan Singapura.

Hal serupa juga terjadi dalam industri komoditas lunak seperti minyak sawit, yang ditunjukkan melalui sinyalemen berikut.

Menurut Laporan Konsumsi Berkelanjutan Tiongkok (2021), 54% masyarakat Tiongkok mengartikan implementasi dual carbon sebagai penggunaan produk hijau. Selain itu, masyarakat juga menunjukkan ketertarikan untuk membeli produk yang lebih premium, seperti produk hijau, meskipun harganya lebih mahal.

Dibanding tahun sebelumnya, bersamaan dengan dicetuskannya tujuan dual carbon pada tahun 2021, persentase masyarakat yang keberatan membayar lebih untuk produk premium berkurang dan persentase warga yang rela mengeluarkan harga lebih mahal demi produk premium bertambah.
Ketertarikan publik Tiongkok terhadap komitmen dual carbon ternyata juga menghijaukan Hari Belanja Nasional (11.11) tahun 2021. Situs belanja daring seperti Alibaba, Tianmao, dan Jingdong terlihat mendukung kebijakan dual carbon dengan menyediakan konsep belanja yang lebih ramah lingkungan. Bahkan jasa pengemasan paket Baojie pun ikut andil dengan menggunakan material pengemasan bersertifikat “Mudah Didaur Ulang”.

Dari sini terlihat bahwa Tiongkok cukup konsisten dalam memberikan sinyal-sinyal perubahan menuju industri hijau. Sinyalemen yang muncul dari pernyataan pemangku kebijakan, komitmen industri, dan publik Tiongkok ini tidak boleh dipandang sebelah mata.

Bagaimana Indonesia Harus Bersiap-siap?

Dengan menguatnya sinyal dari Tiongkok, tentunya industri kelapa sawit di Indonesia harus bersiap-siap. Para pemangku kepentingan Indonesia telah melakukan berbagai upaya dalam menghijaukan industri sawit dalam beberapa tahun terakhir, seperti moratorium perkebunan kelapa sawit tahun 2018, Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB), Peraturan Presiden tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia yang diundangkan pada 16 Maret 2020, membentuk CPOPC, dan lain sebagainya.

Namun, masih banyak yang bisa ditingkatkan untuk mewujudkan industri sawit yang berkelanjutan dan menjawab sinyal hijau dari Tiongkok. Berikut 3 hal yang dapat dilakukan:

Pertama, melanjutkan penguatan dan keberterimaan ISPO secara nasional.

Indonesia telah memiliki standarisasi sertifikasi sawit berkelanjutan, yaitu Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Menurut data Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tahun 2021, jumlah sertifikat ISPO yang diterbitkan telah mencapai sekitar 760 sertifikat dengan total luas areal wilayah cakupan 5,8 juta Ha.

Namun, dalam hal penerimaan oleh pasar di Tiongkok, saat ini ISPO tertinggal dari Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO), standardisasi sawit berkelanjutan dari Malaysia. MSPO telah diakui oleh Tiongkok sebagai bagian dari standar sertifikasi pangan hijau mereka, oleh karena itu saatnya Indonesia mengejar ketertinggalan dengan memperkuat ISPO agar dapat diakui oleh Tiongkok, dan bahkan bisa menjadi benchmark bagi negara lain.

Di dalam negeri, kepatuhan terhadap ISPO perlu ditingkatkan dengan memperketat sanksi bagi perusahaan yang belum menerapkan ISPO dan yang melanggar aturan dalam pembukaan lahan baru. Harapannya, keberterimaan ISPO dapat meningkatkan upaya penyediaan pasokan kelapa sawit yang berkelanjutan dan mengurangi dampak deforestasi di Indonesia. Untuk mendukung komitmen terhadap perlindungan hutan, sejumlah platform publik seperti Global Forest Watch (GFW) dapat menjadi alternatif untuk pemantauan kerusakan hutan di sepanjang rantai pasok produksi minyak kelapa sawit.

Kedua, harmonisasi ISPO dengan standar global untuk memperkuat komitmen NDPE

Prinsip No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE) merupakan komitmen yang dibuat untuk memutus hubungan antara deforestasi dan kelapa sawit. Prinsip ini telah diadopsi banyak perusahaan sawit untuk mengurangi deforestasi di rantai pasoknya secara global.

ISPO perlu diperkuat agar bisa menjadi standar yang inklusif dan adaptif terhadap isu lingkungan dan sosial secara global seperti praktik regenerative agriculture, transparansi data, traceability, terutama komitmen terhadap prinsip No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE).

Untuk memperkuat komitmen NDPE tersebut dan mewujudkan rantai pasok yang bertanggung jawab, perusahaan dan para pelaku pasar lainnya dapat mengadopsi modul Accountability Framework (AF), sebuah pedoman dan panduan praktik yang telah diakui secara global untuk menetapkan, menerapkan, memantau, dan mendorong akuntabilitas komitmen rantai pasok yang lebih berkelanjutan. AF juga bisa memberikan asistensi teknis melalui penilaian mandiri untuk mengevaluasi implementasi komitmen berkelanjutan perusahaan dan para pelaku pasar.

Harapannya, harmonisasi antara ISPO dan standar global seperti AF dapat lebih lagi mendorong industri kelapa sawit dalam mengadopsi, memperkuat, dan mengimplementasikan komitmen NDPE mereka dengan seluruh pelaku rantai pasok dan cakupan operasional bisnis mereka.

Ketiga, beri perhatian lebih untuk para pekebun swadaya.

Dari seluruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia, pekebun swadaya mengelola 42% dari total areal. Secara kuantitas, perkebunan swadaya terus meningkat, tetapi belum dibarengi dengan peningkatan kapasitas yang sepadan. Para pekebun swadaya masih menghadapi berbagai keterbatasan intrinsik (kelembagaan, biaya, pengetahuan, dll) dan belum mendapatkan gambaran yang jelas terkait insentif maupun disinsentif dari menjadi pekebun yang baik dan berkelanjutan. Oleh karena itu, sistem penyuluhan dan pendampingan masyarakat yang secara intensif mengawal pekebun swadaya mencapai standar keberlanjutan harus diperkuat.

Tiga hal ini bisa menjadi prioritas dalam upaya bersama mewujudkan industri kelapa sawit yang hijau dan lebih berkelanjutan. Selain itu, upaya tersebut juga bisa memastikan Indonesia siap ketika Tiongkok benar-benar menuntut produk turunan kelapa sawit impor yang berkelanjutan, sehingga hubungan perdagangan komoditas antara Tiongkok dan Indonesia bisa terus berlanjut dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.