Artikel ini awalnya dipublikasikan di TheCityFix.com.


Di Beijing, Chennai dan Fortaleza, tingkat kematian akibat kecelakaan lalu lintas adalah 20-27,2 kematian per 100.000 penduduk. Apa kesamaan yang dimiliki kota-kota ini? Mereka memiliki jalur lalu lintas yang lebarnya lebih dari 3,6 meter (11,8 kaki). Para perencana transportasi dan insinyur meyakini bahwa jalur lalu lintas yang lebih luas memastikan arus lalu lintas yang aman dan bebas macet. Namun, penelitian akademis terbaru, di Cities Safer by Design, dari WRI Ross Center for Sustainable Cities, menunjukkan bahwa jalur yang lebih luas sebenarnya lebih berbahaya daripada jalur yang lebih sempit. Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana keadaan kota-kota ini, tim Health and Road Safety team dari WRI Ross Center for Sustainable Cities memutuskan untuk membandingkan lebar jalan di beberapa kota-kota di dunia dengan tingkat kematian akibat kecelakaan lalu lintas.

Berapa Lebar Ideal Sebuah Jalur Lalu Lintas?

Penelitian WRI menunjukkan bahwa kota-kota dengan lebar jalur 2,8-3,25 meter (9,2 sampai 10,6 kaki), seperti Amsterdam, Kopenhagen dan Tokyo, memiliki tingkat kecelakaan fatal terendah per 100.000 penduduk. Namun, banyak kota, khususnya di negara berkembang, memiliki jalur yang lebih lebar dan tingkat kematian yang lebih tinggi (lihat Gambar 1).

New Delhi, Mumbai dan São Paulo memiliki jalur yang lebih lebar, mulai dari 3,25 meter sampai 3,6 meter (10,6 sampai 11,8 kaki), yang menyebabkan tingkat kematian 6,11-11,8 penduduk per 100.000. Sementara itu, Beijing, Chennai dan Fortaleza memiliki tingkat kematian tertinggi, yakni 20-27,2 kematian per 100.000, dengan lebar jalur 3,6 meter (11,8 kaki) atau lebih.

Tetapi, Mengapa Jalur yang Lebih Luas Justru Dianggap Lebih Aman?

Selama berpuluh-puluh tahun, para insinyur dan perencana transportasi menganggap jalur yang lebih luas lebih aman, karena jalur yang lebar menyediakan ruang manuver yang lebih banyak di dan dianggap membantu mencegah mobil menyelip ke sisi jalan. Namun, di lingkungan perkotaan, hal ini berarti mobil bisa melaju lebih cepat, dan, ketika mobil melaju lebih cepat, kemungkinan kecelakaan dan cedera meningkat. Misalnya, jika sebuah mobil melaju dengan kecepatan 30 km / jam (18,6 mph), pejalan kaki memiliki kemungkinan selamat 90 persen, namun jika mobil melaju sejauh 50 km / jam (31 mph), hanya ada 15 persen kemungkinan pejalan kaki yang tertabrak akan selamat (lihat gambar 2).

Jalur lalu lintas yang sempit, ditambah dengan batas kecepatan yang lebih rendah, bisa menumbuhkan rasa kesadaran yang lebih besar diantara pengemudi. Jalur sempit juga memastikan jarak penyeberangan di persimpangan jalan yang akan ditempuh pejalan kaki lebih kecil, sehingga mengurangi risiko kecelakaan.

Apakah Jalur yang Lebih Lebar Membantu Mengurangi Kemacetan?

Pada tahun 1963, Lewis Mumford menyatakan: "Melebarkan jalan untuk mengurangi kemacetan sama saja dengan melonggarkan sabuk pengaman Anda untuk mengurangi obesitas." Faktanya, meningkatkan ruang jalan dengan memiliki jalur yang lebih lebar tidak mengurangi kemacetan dikarenakan adanya rebound effects. Lebih banyak ruang jalan justru menyebabkan kemacetan yang lebih besar. Penelitian menunjukkan bahwa jalur jalanan selebar 3 meter memiliki 93 persen kapasitas jalan selebar 3,6 meter - bukan perbedaan yang signifikan. Selain itu, jika jalur yang lebih sempit mengurangi laju kendaraan, hal ini seharusnya tidak menimbulkan tekanan pada pergerakan kendaraan. Studi yang dilakukan belum lama ini dari Grenoble menunjukkan bahwa kendaraan pribadi hanya membutuhkan waktu 18 detik lebih lama untuk melakukan perjalanan satu kilometer di jalan dengan batas kecepatan 30km/jam dibandingkan dengan jalan dengan batas kecepatan 50km/jam. Selain itu, penundaan sinyal di persimpangan akan menyebabkan kemacetan - hal ini jarang terjadi pada arus lalu lintas blok tengah.

Bagaimana Diet Jalanan Akan Membantu?

Diet Jalanan adalah teknik untuk mempersempit lebar jalur lalu lintas untuk mencapai lingkungan pejalan kaki dan pengendara sepeda yang lebih aman dan berkelanjutan. Jika kota-kota memberlakukan jalur jalanan yang lebih sempit, ada berbagai kemungkinan untuk merancang ulang jalan-jalan kota agar lebih aman dan lebih akomodatif bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda.

Skenario 1: Penyempitan jalur jalanan dapat memberikan tempat persinggahan menyeberang atau median bagi pejalan kaki.

<p>Gambar 3. Sebelum intervensi: Jalan selebar 12 meter, dengan dua jalur. Kredit Gambar: WRI Ross Center for Sustainable Cities Health and Road Safety</p>

Gambar 3. Sebelum intervensi: Jalan selebar 12 meter, dengan dua jalur. Kredit Gambar: WRI Ross Center for Sustainable Cities Health and Road Safety

<p>Gambar 4. Setelah intervensi:Jalan selebar 12 meter, dengan dua jalur. Kredit Gambar: WRI Ross Center for Sustainable Cities Health and Road Safety</p>

Gambar 4. Setelah intervensi:Jalan selebar 12 meter, dengan dua jalur. Kredit Gambar: WRI Ross Center for Sustainable Cities Health and Road Safety

Skenario 2: Jalur yang lebih sempit dapat memberi ruang untuk membuat jalur khusus sepeda

<p>Gambar 5. Sebelum intervensi: Bagian jalan selebar 24 meter. Kredit Gambar: WRI Ross Center for Sustainable Cities Health and Road Safety</p>

Gambar 5. Sebelum intervensi: Bagian jalan selebar 24 meter. Kredit Gambar: WRI Ross Center for Sustainable Cities Health and Road Safety

<p>Gambar 6. Setelah intervensi: Bagian jalan selebar 24 meter. Kredit Gambar: WRI Ross Center for Sustainable Cities Health and Road Safety</p>

Gambar 6. Setelah intervensi: Bagian jalan selebar 24 meter. Kredit Gambar: WRI Ross Center for Sustainable Cities Health and Road Safety

Skenario 3: Jalur yang lebih sempit dapat memberi ruang untuk trotoar yang lebih luas

<p>Gambar 7. Sebelum intervensi: Bagian jalan selebar 32 meter. Kredit Gambar: WRI Ross Center for Sustainable Cities Health and Road Safety</p>

Gambar 7. Sebelum intervensi: Bagian jalan selebar 32 meter. Kredit Gambar: WRI Ross Center for Sustainable Cities Health and Road Safety

<p>Gambar 8. Setelah intervensi:  Bagian jalan selebar 32 meter. Kredit Gambar: WRI Ross Center for Sustainable Cities Health and Road Safety</p>

Gambar 8. Setelah intervensi: Bagian jalan selebar 32 meter. Kredit Gambar: WRI Ross Center for Sustainable Cities Health and Road Safety

Tetapi Mengapa Jalur dengan Lebar 3 Meter Tidak Menjadi Norma?

Sebagian besar kota di negara maju seperti Amerika Serikat mengikuti panduan perancangan jalan dari badan penetapan standar seperti Kebijakan tentang Rancang Geometri Jalan Tol dan Jalan Raya, yang diterbitkan oleh Asosiasi Pejabat Perhubungan dan Jalan Tol, yang biasa dikenal dengan Green Book atau Buku Hijau, yang sebenarnya memungkinkan lebar jalur bervariasi antara 10-12 kaki (3,0 sampai 3,6 meter). Karena buku ini hanya memberikan panduan dalam bentuk rentang angka, para insinyur cenderung merancang jalan dengan lebar jalur maksimal, dikarenakan adanya anggapan yang kurang tepat bahwa jalur yang lebih luas lebih aman dan dapat membantu mengurangi kemacetan. Banyak kota di negara berpenghasilan rendah dan menengah juga mengadopsi pendekatan ini, dengan anggapan bahwa mereka telah mengambil pendekatan yang lebih hati-hati.

Hari ini, dengan penelitian terbaru yang justru menunjukkan kebalikan dari status quo serta dengan meningkatnya minat terhadap sistem berkendara dengan sepeda, bus, dan berjalan kaki, sudah waktunya kota-kota menilai kembali bagaimana standar-standar yang mereka tetapkan dapat mendorong menjadikan kota mereka lebih aman dan lebih sehat.