Kelapa sawit merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi, kelapa sawit menunjukkan pertumbuhan PDB dan ekonomi nasional. Di sisi lain, kelapa sawit merupakan pendorong tingkat deforestasi, kebakaran hutan, eksploitasi sumber daya alam dan kerusakan lingkungan dan sosial lainnya. Upaya global untuk mengembangkan kelapa sawit secara keberlanjutan dan tanpa konflik telah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan rantai pasokan yang transparan dan dapat ditelusuri. Jika kita dapat menelusuri rantai pasokan minyak kelapa sawit, sumber utama produk minyak kelapa sawit dapat dilacak untuk memastikan bahwa produksi tersebut didapatkan dan diproduksi secara legal di daerah yang terbebas dari konflik sosial maupun lingkungan. Namun, rantai pasokan ini sangatlah kompleks. Untuk menelusuri rantai pasokan, kita harus memahami kompleksitas tersebut.

Kompleksitas Rantai Pasokan Kelapa Sawit

Perjalanan kelapa sawit dimulai dari perkebunan dan berakhir sebagai berbagai produk kelapa sawit. TBS kelapa sawit umumnya dipanen dari perkebunan dengan dua mekanisme. Pertama, perusahaan kelapa sawit memanen dari perkebunan mereka sendiri (disebut inti) dan dari perkebunan petani kecil yang dikelola oleh perusahaan (disebut plasma). Kedua, perusahaan kelapa sawit mendapatkan persediaan TBS dari pemasok pihak ketiga. Kemudian, TBS diangkut ke pabrik untuk diekstraksi sebagai Minyak Kelapa Sawit (CPO). CPO kemudian disuling sebelum diangkut ke pabrik sebagai bahan baku pangan, oleokimia atau bahan bakar nabati.

<p>Perjalanan kelapa sawit dari perkebunan hingga menjadi produk kelapa sawit.</p>

Perjalanan kelapa sawit dari perkebunan hingga menjadi produk kelapa sawit.

Perjalanan kelapa sawit dengan mekanisme pertama relatif mudah dilacak, karena perusahaan harus memenuhi berbagai peraturan dan sertifikasi seperti RSPO dan ISCC. Yang menjadi masalah adalah mekanisme kedua, di mana TBS dipasok oleh pemasok pihak ketiga yang mengumpulkan TBS dari berbagai sumber termasuk petani kecil.

Studi Kasus: Kemampuan Menelusuri Kelapa Sawit di Pabrik PTPN V

Penelitian lapangan kami di pabrik PTPN V di Rokan Hulu, Riau, Indonesia, menunjukkan kompleksitas rantai pasokan minyak kelapa sawit. Sekitar 67 persen dari total pasokan minyak kelapa sawit perusahaan dihasilkan dari perkebunan inti dan plasma perusahaan, sedangkan sisanya dipasok dari pihak ketiga. Proporsi ini terus berubah, terutama di musim penanaman kembali dan musim kemarau. Perkebunan inti dan plasma dapat dipantau penelusurannya oleh perusahaan, sementara pemasok pihak ketiga tidak semudah itu ditelusuri.

<p>Ilustrasi Pasokan TBS Pabrik Sei Tapung.</p>

Ilustrasi Pasokan TBS Pabrik Sei Tapung.

<p>Fluctuation of FFB supply in PTPN 5’s CPO Mill. (PHK-III = third party supplier, the other lines are internal sources).</p>

Fluctuation of FFB supply in PTPN 5’s CPO Mill. (PHK-III = third party supplier, the other lines are internal sources).

Untuk menyediakan pasokan TBS ke pabrik PTPN V, setiap pemasok harus memiliki kontrak pengiriman (DO). Di wilayah studi kami, setidaknya ada tiga jenis pemasok pihak ketiga. Pertama, pemegang DO yang membudidayakan TBS dari kebun mereka sendiri. Kedua, pemegang DO yang memasok TBS langsung dari petani kecil, sehingga mereka berperan sebagai perantara atau agen tangan pertama. Ketiga, pemegang DO yang memasok TBS dari perantara atau agen kecil lainnya. Mereka biasanya memiliki kapasitas keuangan yang lebih tinggi dan jaringan yang lebih luas.

<p>Ilustrasi pasokan TBS Pihak Ketiga.</p>

Ilustrasi pasokan TBS Pihak Ketiga.

Biasanya, perantara mencampur TBS dari berbagai sumber yang lalu dipilah berdasarkan kualitas sebelum dibawa ke pabrik. Transaksi antara petani kecil dan perantara ini tidak tercatat, sehingga sumber TBS sulit dilacak. Selain itu, perantara juga merupakan pelaku yang "tidak diatur". Saat ini, tidak ada sistem untuk mengawasi kegiatan mereka,meskipun mereka berperan penting dalam rantai pasokan kelapa sawit.

Kesempatan perbaikan

Beberapa perbaikan dapat dilakukan untuk membantu penelusuran. Pertama, pemerintah dapat memetakan petani mandiri-siapa mereka dan di mana perkebunan mereka berada. Kedua, pemerintah harus memberlakukan peraturan pencatatan di sepanjang rantai pasokan. Indonesia memang sudah memiliki peraturan bagi petani kecil untuk mendaftarkan perkebunan mereka melalui Surat Tanda Daftar Budi Daya (STD-B). STD-B menyebutkan identitas petani dan lokasi perkebunan sehingga dapat digunakan untuk menelusuri asal-usul TBS jika para pelaku melakukan pencatatan data secara teratur. Dukungan pabrik dapat diberikan melalui kebijakan untuk hanya menerima TBS yang dilengkapi dengan data STD-B. Mengingat biaya tambahan yang ditimbulkan dengan mekanisme ini, harus ada insentif dan disinsentif bagi para pelaku. Insentif dapat diberikan dalam bentuk harga premium, peningkatan akses kepada pupuk dan peningkatan akses kepada pinjaman bank. Saat ini, insentif hanya tersedia jika kemampuan penelusuran dibarengi dengan keberlanjutan seperti RSPO atau ISCC. Masalahnya, sumber daya yang dibutuhkan untuk memenuhi keduanya melampaui kemampuan produsen pada umumnya. Cara lain untuk mendorong kemampuan penelusuran adalah sistem disinsentif seperti pencabutan izin beroperasi atau pengecualian dari rantai pasokan. Terakhir, kemampuan penelusuran seringkali terhambat oleh kurangnya kemauan semua pelaku untuk menggunakan sistem yang diperlukan. Oleh karena itu, diperlukan sistem insentif atau disinsentif yang lebih mudah dilakukan untuk mendorong semua pelaku untuk berpartisipasi dalam mencatat dan membagikan catatan berkala mengenai asal-usul dan transaksi TBS.