A young orangutan in central Kalimantan, Indonesia. Photo by Terry Sunderland/CIFOR
A young orangutan in central Kalimantan, Indonesia. Photo by Terry Sunderland/CIFOR

Presiden Indonesia Joko Widodo menegaskan kembali komitmen kepemimpinannya terhadap perubahan iklim minggu ini dengan memperbarui moratorium hutan nasional Indonesia, yang melarang penerbitan izin baru untuk membuka wilayah-wilayah hutan yang diutamakan. Meskipun berbagai manfaat lingkungan yang ditimbulkan dari moratorium sudah terlihat dengan jelas, langkah ini juga perlu disambut sebagai kemenangan bagi para pengusaha dan produsen lokal.

Berkat adanya lahan yang luas, iklim tropis, tenaga kerja yang melimpah, dan jarak yang dekat dengan pasar-pasar utama, Indonesia memiliki posisi yang sangat bagus untuk memperoleh pemasukan dari permintaan global yang terus berkembang terhadap komoditas seperti kelapa sawit, kayu, gula, beras, kayu dan kertas. Potensi pemasukan dari produk-produk tersebut seringkali dipandang bertentangan dengan upaya-upaya seperti moratorium hutan. Namun penelitian dan pengalaman menunjukkan bahwa kebijakan tersebut sebenarnya bisa mendorong kemakmuran perekonomian pada saat ini dan di masa depan.

Menyelamatkan Hutan untuk Mendorong Produksi Komoditas

Hutan dan ekspor berbasis komoditas merupakan pendorong perekonomian yang penting bagi Indonesia, yang menyumbangkan $21 miliar bagi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan mempekerjakan hampir 4 juta orang. Pada tahun 2008 (tahun terakhir yang sudah tersedia datanya), kelapa sawit – ekspor pertanian terbesar Indonesia – sendiri menghasilkan $12,4 miliar devisa dan sekitar $1 miliar dalam bentuk pajak ekspor.

Meskipun demikian, proses produksi komoditas tersebut sering kali dikembangkan dengan cara yang mengorbankan hutan primer dan lahan gambut. Perluasan wilayah pertanian terhitung mengakibatkan dua-per-tiga deforestasi di Indonesia, dan meskipun hilangnya tutupan pohon telah melambat belakangan ini, Indonesia masih kehilangan rata-rata sekitar setengah juta hektar (lebih dari satu juta akre) hutan primer setiap tahunnya.

Karenanya, Indonesia mulai kehabisan hutannya. Jika industri hutan dan industri berbasis komoditas terus fokus pada pembukaan hutan untuk perluasan, mereka bisa menghalangi pertumbuhan jangka panjangnya sendiri. Sebaliknya, para produsen sebaiknya mulai memperbaiki cara mereka mengelola lahan pertaniannya yang sudah ada dan berinvestasi pada metode-metode perluasan yang bebas deforestasi. Dengan melindungi hutan primer dan lahan gambut, moratorium akan mendorong industri-industri tersebut untuk menciptakan perubahan-perubahan yang akan terus menjamin kesuksesan mereka.

Meningkatkan Produksi Sembari Mengurangi Pembukaan Hutan

Dengan membatasi konsesi-konsesi baru di lahan hutan yang sensitif, moratorium bisa membantu membatasi ekspansi yang kurang ramah lingkungan, dan sebaliknya memacu perusahan untuk memanfaatkan lahan yang ada dengan cara yang lebih efisien dan produktif. Hal ini sudah pernah dilakukan dengan sukses sebelumnya, di hutan Amazon di Brazil, ketika moratorium perluasan lahan pertanian kedelai secara drastis mengurangi laju deforestasi yang berkaitan dengan kedelai (lihat grafik di bawah ini). Sebelum moratorium Brazil, 30 persen ekspansi kedelai telah mengakibatkan deforestasi, setelahnya, hanya 1 persen yang mengakibatkan deforestasi. Hal yang terpenting adalah produksi kedelai berlipat ganda di seluruh wilayah tersebut selama periode yang sama ketika para petani meningkatkan panen dan menanam di lahan yang sudah dibuka sebelumnya.

Source: Macedo et al.

Sektor pertanian utama Indonesia memiliki potensi yang sama. Untuk kelapa sawit, penelitian WRI mengidentifikasi wilayah lahan terdegradasi seluas 4,5 juta hektar (11 juta akre) di Kalimantan yang berpotensi sesuai untuk produksi yang berkelanjutan berdasarkan faktor-faktor ekonomi dan lingkungan (kelayakan hukum dan sosial masih perlu dicaritahu melalui asesmen lapangan). Pembiakan selektif kelapa sawit juga bisa menciptakan tanaman yang menghasilkan 8-12 ton minyak sawit mentah per hektar (sekitar 4-5 ton per akre), sekitar 4 ton per hektar (sekitar 2 ton per akre) lebih banyak daripada jumlah rata-rata yang dihasilkan suatu industri saat ini. Disamping itu, akses terhadap modal, bahan penanaman yang baik, dan praktik-praktik agronomi lainnya bisa mendorong panen bagi para petani plasma.

Melindungi Bentang Alam Melindungi Pemasukan

Perlindungan terhadap bentang hutan merupakan hal yang sangat penting bagi vitalitas perekonomian para petani plasma. Hutan yang sehat bisa menyediakan banyak jasa ekosistem, termasuk menyediakan bahan mentah, kesuburan tanah, daur hara, dan pengendalian banjir dan erosi. Perlindungan terhadap layanan-layanan tersebut akan memperpanjang produktivitas lahan pertanian dan memastikan bahwa para petani plasma memiliki sumber pemasukan jangka panjang.

Melindungi Akses Jangka Panjang ke Pasar Internasional

Seiring dengan tekanan yang semakin meningkat secara global untuk mengatasi isu-isu perubahan iklim dan permintaan akan produk-produk yang berkelanjutan yang terus bertambah, lebih dari 250 perusahaan telah membuat komitmen bebas deforestasi, dan diperkirakan banyak perusahaan lainnya yang akan mengikuti langkah ini.

Sembilan puluh enam persen produksi kelapa sawit global sekarang berada dibawah komitmen bebas deforestasi. Aliansi Hutan Tropis (Tropical Forest Alliance) mengajak pemerintah dari 47 negara, perusahaan, dan kelompok masyarakat sipil untuk menghentikan deforestasi hutan tropis dari rantai pasokan kelapa sawit, kedelai, daging dan kayu dan kertas. Indonesia Palm Oil Pledge menyertakan empat-per-lima dari kapasitas penyulingan kelapa sawit global dibawah komitmen serupa.

Secara global, pangsa pasar komoditas yang hanya menerima produk-produk yang berkelanjutan terus tumbuh. Para pembeli di Uni Eropa dan Amerika Utara, wilayah-wilayah yang menekankan bebas deforestasi, mengimpor 20 persen dari komoditas Indonesia, sementara permintaan akan produk-produk yang dihasilkan secara berkelanjutan semakin bertambah di Asia dan wilayah lainnya. Moratorium memberikan suatu peluang untuk merangkul momentum ini dan mencegah agar Indonesia tidak terkucilkan dari rantai pasokan bebas deforestasi.

Penghapusan terhadap ekstraksi sumber daya hutan dan ekspansi pertanian ke kawasan hutan primer bisa meningkatkan daya saing untuk memenuhi permintaan tersebut. Kepatuhan yang ketat terhadap moratorium yang kuat dan diawasi dengan baik bisa menghapuskan deforestasi dari rantai pasokan, sehingga memudahkan para produsen untuk memenui kriteria terkait perubahan tata guna lahan sebagaimana dijelaskan dalam program-program sertifikasi seperti RSPO dan FSC. Sebagai gantinya, para produsen Indonesia bisa menikmati proses yang lebih efisien – yang sebaliknya bisa makan waktu dan mahal bagi banyak perusahaan dan terutama petani plasma – untuk menjangkau para pembeli yang menyaratkan sertifikasi.

Lingkungan dan Ekonomi: Kawan bukan Lawan

Kemakmuran ekonomi tidak harus berkompetisi dengan kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk melindungi hutan dan menghentikan perubahan iklim. Kebijakan-kebijakan yang dirancang dengan baik dan ditegakkan dengan kuat bisa membantu beberapa negara untuk mencapai target iklim mereka, sembari mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Moratorium merupakan contoh utama. Bagi Indonesia, pengurangan emisi dan menciptakan sebuah sistem yang mendorong vitalitas perekonomian jangka panjang di industri kehutanan dan komoditas bisa menghasilkan jalan tengah yang membahagiakan bagi peluang ekonomi dan perlindungan hutan.