Postingan blog ini awalnya diterbitkan untuk The Jakarta Post tanggal 11 September 2015.

Tampaknya pesawat yang kita semua tumpangi sedang oleng dan akan segera jatuh, dan kita membuat kelas bisnis dan kelas ekonomi berkelahi, bukannya menyelamatkan pesawat ini,” kata Felipe Calderon, ketua Global Commission on the Economy and Climate pada suatu konferensi internasional di Jakarta beberapa bulan yang lalu, ketika menjelaskan tentang perdebatan mengenai siapa yang harus membayar dan bertindak untuk mengatasi perubahan iklim.

Memang benar bahwa politik perubahan iklim masih sangat kontroversial dan diwarnai oleh berbagai ketidakpastian, walaupun sudah ada temuan-temuan ilmiah dari Panel antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)) yang menyimpulkan bahwa kegiatan manusia bertanggung jawab atas dan semakin memperburuk pemanasan global.

Saat ini, ketika para pemimpin dunia tengah berjuang melawan kemerosotan ekonomi, migrasi dan gerakan Negara Islam (Islamic State (IS)), ketegangan geopolitik dan berbagai permasalahan mendesak lainnya, banyak orang kesulitan untuk memusatkan perhatian mereka terhadap isu perubahan iklim, jangankan membuat komitmen nasional untuk mengurangi emisi.

Hal ini berbahaya karena tindakan kolektif bisa berpotensi membawa bencana untuk semua, dan jendela peluang yang sangat sempit untuk mengontrol perubahan iklim akan terlewatkan. Ketimbang mundur ke belakang, berbagai negara harus melangkah maju.

Pada tahun 2009, Indonesia membuat langkah yang berani dengan secara sukarela berjanji untuk mencapai pengurangan emisi sebanyak 26 persen dari skenario business-as-usual pada tahun 2020, atau 41 persen dengan dukungan internasional. Sebagai negara berkembang dengan banyak peluang menjanjikan untuk memajukan perekonomian dan pembangunannya, komunitas internasional menyambut Indonesia atas keberaniannya menetapkan target tersebut, dan hal ini kemudian membawa perubahan besar terhadap negosiasi-negosiasi perubahan iklim yang mentok pada saat itu. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) segera diterbitkan untuk mendampingi implementasinya.

Namun, untuk benar-benar memahami arti kontribusi tersebut terhadap planet ini secara keseluruhan, kita perlu mundur selangkah dan melihat gambaran besarnya.

Dibawah Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC), berbagai negara telah sepakat untuk membatasi peningkatan temperatur global hingga 2°C di atas level pra-industri. Jika kita gagal mencapainya, kita akan menjadi generasi yang menyaksikan peningkatan tajam ketinggian air laut yang akan menenggelamkan ribuan pulau kecil. Selain itu, akan terjadi pula kegagalan pada pertanian yang diakibatkan oleh kekeringan yang semakin sering terjadi dan berbagai keadaan katastropik lainnya.

Untuk menanggapi hal ini, beberapa negara telah sepakat untuk membuat perjanjian iklim internasional pada akhir Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties (COP21)) UNFCCC di Paris pada bulan Desember. Menjelang konferensi tersebut, masing-masing negara akan mengumpulkan rencana aksi perubahan iklim pasca-2020 secara terbuka, yang dikenal sebagai Kontribusi Nasional yang Diniatkan (Intended Nationally Determined Contributions (INDC)). Komitmen-komitmen tersebut akan sangat menentukan apakah dunia akan mencapai suatu perjanjian ambisius pada tahun 2015 dan pada akhirnya akan mulai mengambil langkah menuju masa depan yang rendah karbon dan tangguh terhadap iklim.

Menurut CAIT Climate Data Explorer yang dikembangkan oleh World Resources Institute, Cina dan AS – peringkat satu dan dua penghasil emisi di dunia – berniat untuk mencapai target mitigasi emisi yang cukup ambisius yaitu mencapai 60 sampai dengan 65 persen per unit GDP dari jumlah emisi tahun 2005 pada tahun 2030, dan 26 sampai dengan 28 persen dari jumlah emisi tahun 2005 pada tahun 2025.

Hal ini merupakan perubahan yang sangat signifikan, terutama mengingat bahwa hanya sedikit yang dilakukan oleh negara-negara ini dalam hal pengurangan emisi.

Dengan melanjutkan kepemimpinannya yang terdahulu, Indonesia sekarang sudah memberi sinyal bahwa Indonesia berniat membuat janji yang cukup penting yaitu 29 persen pengurangan dibanding skenario business-as-usual pada tahun 2030. Adil rasanya untuk mengatakan bahwa komitmen baru ini dilakukan berdasarkan metode yang relatif lebih kokoh dan lebih inklusif terhadap partisipasi publik, yang diharapkan akan menghasilkan dukungan yang lebih kuat dari para pemangku kepentingan untuk mengimplementasikan janji ini ke depannya.

Sejauh ini, 61 negara (termasuk 28 dari Uni Eropa) telah mengumpulkan INDC mereka masing-masing, dan kami sedang menunggu beberapa komitmen yang berdasarkan itikad baik lainnya dalam beberapa bulan ke depan. INDC, tentu saja, bukanlah langkah akhir: negara-negara yang mengumpulkan INDC-nya harus memastikan bahwa target-target emisi yang ditetapkan akan terserap ke dalam seluruh departemen pemerintahan dan sektor-sektor ekonomi di masing-masing negara. Implementasi dan pencapaian kemungkinan akan lebih sulit daripada ketika memformulasikan janji-janji tersebut.

Beberapa komponen utama INDC mencakup konsep-konsep keadilan dan ambisi. Negara-negara diharapkan untuk membuat target yang sesuai dengan batas 2°C, sementara tetap memungkinkan pertumbuhan dan pembangunan. Ada pihak-pihak yang kurang bersedia untuk melangkah sejauh itu, dan hal ini perlu ditanggapi dengan cara yang konstruktif oleh komunitas internasional. Mempermalukan mereka yang tidak mau berpartisipasi tidak membantu siapapun; salah satu cara yang lebih efektif adalah menciptakan sistem internasional baru yang menghadirkan insentif bagi langkah yang berani untuk mengurangi emisi, dan melarang praktek-praktek business-as-usual.

Apakah hal ini berarti bahwa kita akhirnya akan melakukan sesuatu terhadap pesawat yang hampir jatuh tadi. Mungkin, namun pada saat ini, upaya kita masih belum cukup untuk mengangkat pesawat tersebut kembali ke atas agar selamat.

Sekarang adalah waktu untuk kenegarawanan. Dari segala hal yang tidak berjalan dengan baik di dunia kita yang sedang mengalami turbulensi, setidaknya komunitas negara akhirnya bisa meluruskan berbagai teka-teki iklim di Paris pada bulan Desember.

Lihat lebih lanjut di The Jakarta Post.